1. Nyaris

1750 Words
"Pa, nanggung banget pindah sekarang, sumpah!" Byantara menghempas bokongnya di sofa single di hadapan Damar. "Setahun lagi aku selesai SMA. Setelah itu terserah, mau pindah kemanapun ayo aja. Tapi jangan sekarang. Temen-temenku di sini semua." "Nanti kamu bakal ketemu teman baru juga, kan, di sana." Damar menanggapi kekesalan anaknya dengan santai. Ia melanjutkan membaca berita online melalui iPadnya. "Tapi gak gampang, Pa. Harus penyesuaian, adaptasi, belum lagi kebiasaan anak sana yang beda dengan anak-anak di sini." "Kebiasaan mana yang beda? Sama-sama makan nasi, sama-sama minum air, sama-sama suka yang cantik," Damar terkekeh saat menyebut kalimat terakhirnya. "Atau, kamu diam-diam udah punya pacar, jadinya gak mau LDR an?" Damar menatap serius putra sulungnya. "Apaan sih, Pa? Pacaran aja gak pernah!" ketusnya pelan. "Bagus kalau begitu, gak usah pacar-pacaran. Ada yang cocok, langsung aja ajak nikah," Damar kembali tertawa melihat wajah sang anak yang mendadak masam. Sejak kelas empat Sekolah Dasar ia sudah menetap di kota ini. Kala itu dia tak masalah dibawa pindah orang tuanya kemana pun. Hanya saja di awal-awal masuk sekolah, Byantara selalu mengeluh tak punya teman, karena bahasa menjadi kendala komunikasi mereka. Walau di dalam kelas proses belajar mengajar menggunakan bahasa Indonesia, tapi di luar kelas mereka menggunakan bahasa daerah yang Byan tak mengerti artinya. Namun ia kini sudah nyaman dengan kota ini, dengan situasinya, bahasanya, orang-orangnya. Rasanya berat untuk pindah dan kemudian harus beradaptasi kembali di tempat baru. "Mumpung pengunduran diri papa udah disetujui dan ini tahun ajaran baru, pas banget kan, untuk memulai hidup yang serba baru?" Damar mendengar sulungnya itu menghela nafas berat. "Kerjaan papa di sini udah selesai. Saatnya mengabdi pada perusahaan keluarga kita. Kasihan Mami Dee, udah capek, mau resign katanya. Kamu juga belajar yang bener, biar nanti bisa gantiin papa." Byantara memejamkan matanya, meresapi kalimat yang diucapkan sang papa. Ia paham, telah lama Danisha, tantenya, meminta Papanya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan keluarganya yang bergerak dibidang ekspor impor mebel dan furniture itu. Namun baru sekarang dapat terealisasi. Byantara yakin, sekuat apapun keinginannya untuk tetap tinggal di kota ini, itu tak akan berhasil, apalagi bila sampai harus berdebat dengan sang mama. Pasrah, adalah jalan terbaik. --- "Kenapa di sekolah ini sih, Buk? Gak ada temenku yang mendaftar SMA di sini. Mana jauh lagi dari rumah," Aysha sekali lagi mengajukan keberatan pada sang ibu. "Ini kan sekolah bagus. Ibu, Aunty Shafa dan Aunty Dee, dulu kami bertiga sekolah di sini, ketemunya di sini. Fasilitasnya lengkap, ekskulnya banyak. Ibu yakin, kamu bakal betah dan bakal tambah pinter sekolah di sini." Aysha mendengus mendengar jawaban Ara. Ia padahal sudah sepakat dengan teman-teman SMP nya untuk mendaftar di sekolah yang sama, agar bisa melanjutkan persahabatan mereka. Namun apa daya, sang ibu malah mendaftarkannya di SMA Tunas Bangsa milik keluarga Shafa, sahabat sang ibu. Ara mengetuk pintu ruang kantor kepala sekolah yang setengahnya merupakan kaca gelap tembus pandang. Dari luar tampak Shafa menoleh ke arah pintu dan melambaikan tangannya meminta Ara masuk. Ara merangkul lengan Aysha untuk ikut masuk dengannya. "Hai, Ra, hai, Sayang. Kenapa cemberut, nih, anak gadis aunty?" Shafa menyambut kedatangan Ara dan Aysha dengan saling mencium pipi keduanya bergantian. "Masih ngambek, merasa kejauhan kalau sekolah di sini," Ara tertawa pelan sambil menoleh ke arah Aysha. "Maaf ya Aunty, Aysha seneng kok ama sekolahnya, hanya saja karena jauh, teman Aysha gak ada yang daftar sampai ke sini. Jadinya nanti Aysha gak punya temen deh." Shafa tertawa mendengar jawaban Aysha, ia menyilahkan tamunya untuk duduk di sofa agar dapat mengobrol lebih santai. "Aunty paham banget tuh, soal cari temen baru. Gampang-gampang susah. Tapi, 'kan kamu anaknya supel, gampang disukai juga, in sha Allah gak akan ada masalah," senyum Shafa pada Aysha. "Oh iya Fa, gue numpang ngisi daya ponsel bentar dong, Fa, sambil kita ngobrol," Ara mengeluarkan ponselnya kemudian diserahkannya pada Aysha. "Lu ada charger nya kan, Fa?" "Ada tuh, di bawah meja, Ay. Yang kabel putih paling atas, untuk iPhone." Aysha beranjak menuju meja kerja Shafa, untuk mengisi daya ponsel Ibunya itu. Ia harus berjongkok, karena ternyata, kabel berwarna putihnya ada dua, "Jadi, mereka daftar disini juga?" Ara bertanya pelan pada Shafa. Shafa mengangguk sekali. "Hari ini juga mau ke sini antar berkas. Baru otewe sih, tadi emaknya nelpon." Ara mengguman pelan. "Terus, Bang Farraz jadi datang, Fa?" "Jadi, lusa in sha Allah. Personil lengkap ama anak bini nya, mereka mau sekalian lanjut liburan keluarga ke Bali, kalau gak salah. Mumpung belum mulai sekolah." Aysha sudah kembali ke kursi, ia mendengarkan percakapan kedua orang dewasa di depannya sambil bermain dengan ponselnya. "Gue selalu suka lihat wajah Bang Farraz, teduh banget. Ya, gak sih?" "Lu emang naksir dia dari dulu, kan?" kekeh Shafa menggoda Ara. Ara dan Aysha ikut tertawa. "Emang iya, Buk?" "Gak naksir lah, cuma suka terpesona gitu setiap kali ketemu," jawab Ara sambil tertawa geli. "Bilangin Ayah, ah!" canda Aysha. "Bilang aja! Ayah tau, kok!" "Masa sih, Buk? Ayah posesif gitu, gak ngambek dia?" Aysha menoleh tak yakin. "Ayah pertama kali manjangin brewoknya karena apa? Karena ibu yang minta, ibu bilang, pengin lihat gantengan siapa, antara Ayah dengan Uncle Farraz, kalau brewokan," cengir Ara pada Aysha yang memutar matanya, melihat tingkah sang ibu. Di tengah percakapan ke sana ke mari sambil menunggu Aysha yang telah selesai mencoba seragam sekolahnya, ponsel Aysha berbunyi, menampilkan nama 'Ayah' sebagai penelpon. Aysha yang baru keluar dari kamar mandi segera menghampiri ponselnya yang terletak di atas meja. "Panjang umur nih. Assalamualaikum, Yah." [...] "Bentar Yah, gak kedengeran. Coba ulang." Aysha mengaktifkan speaker ponselnya agar Ibunya mendengar. "Istri ayah, mana? Ponselnya dari tadi di hubungi gak aktif terus." Terdengar suara Samudra di ujung telpon. Shafa dan Ara tertawa mendengar kalimat Samudra yang mencari istrinya. "Dibawa Chris Hemsworth ke Australia," ledek Shafa, sengaja ia mengeraskan suaranya agar terdengar Samudra. Aysha balas tertawa. "Kami lagi di sekolah, Yah. Ini Ibuk lagi ngobrol ama Aunty Shafa. Ponselnya habis daya, lagi charging." "Oo ... tanya Ibu dong, masak gak? Ayah pengin makan siang di rumah." Ara yang mendengar pertanyaan Samudra, tersenyum sambil mengangguk kepada Aysha. "Diiih, Ayah modus nih, pengin makan siang di rumah, padahal kangen sama Ibuk, 'kan?" ejek Aysha tertawa. Aysha sudah paham sekali kebucinan ayahnya pada sang ibu. Di rumah saja, ayahnya itu akan ribet sendiri bila tak tahu posisi ibunya sedang apa dan di mana walaupun yakin masih berada di dalam rumah. Terdengar tawa renyah sang ayah dari seberang telpon. "Ayah setengah jam lagi jalan dari kantor. Kalian buruan pulang ya. Tanya Ibu mau dibawain apa?" "Aku gak ditanya, mau apa? Masa Ibuk doang?" Aysha cemberut menatap ponselnya. Lalu menyerahkan ponselnya pada Ara. "Hai, Love!" sapa Ara pelan sambil mematikan speaker ponsel Aysha. "Ayah sama Ibuk, sama aja lebaynya," dumel Aysha. "Dari dulu emang begitu ya, Aunt?" Shafa terkekeh, "Ayah kamu sih, dari dulu emang bucinnya ibu kamu. Sementara, ibu kamu, jaman kuliah dulu bawaannya jutek, kayak kamu." Aysha membulatkan matanya saat dibilang jutek seperti Ibunya. "Aysha jutek aja banyak yang nyebelin Aunt, apalagi kalau welcome?" Shafa kembali tertawa. Aysha memang tumbuh menjadi gadis yang cantik, kulit putih dan senyum manis berlesung pipi Samudra menurun padanya, ditambah hidung bangir dan mata coklat indah Ara, benar-benar perpaduan yang nyaris sempurna. "Oke, Fa. Kami balik dulu deh. Berkas udah lengkap semua brarti ya?" Ara baranjak dari sofa dan merapikan pakaiannya. "Iya, udah semua. Tinggal si SKHU ini aja kok yang kurang. Baju seragam sekolah dan olah raga tadi udah pas ya." Shafa pun bangkit diikuti dengan Aysha yang mengangguk mengiyakan. "Sampai ketemu dua minggu lagi di sekolah, siswi Aunty yang cantik," ujar Shafa sambil mencium pipi Aysha. "Siap, Aunt." Aysha tersenyum sambil menyipitkan matanya. Salah satu alasan Samudra menitipkan Aysha bersekolah di sekolah milik keluarga Shafa adalah agar Aysha selalu dalam pengawasan. Samudra cukup khawatir dengan penampilan dan fisik Aysha yang sejak SMP sudah menjadi incaran kaum adam, bahkan yang berstatus mahasiswa. Tinggi badannya yang berada di angka 166cm, membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Untung sifat ketus dan jutek Ara ada padanya, sehingga Samudra bisa sedikit bernafas lega. --- "Hai, Kak Sheila, lama gak ketemu. Dua atau tiga tahun kayaknya, ya?" Shafa menyambut kedatangan Sheila di kantornya, memeluknya sepintas dan saling mencium pipi. "Ini juga si ganteng, udah tinggi menjulang aja. 180cm?" Byantara tersenyum sambil menyambut uluran tangan Shafa. "185, Tan," ringisnya. "Uhh, mantab! Bisa masuk klub basket atau volley nanti. Biar tim sekolah kita makin solid." Shafa kemudian mempersilahkan tamunya duduk di sofa. "Ara, baru aja pulang, kalau tadi datang lebih cepat bisa ketemu sekalian." "Oya? Kami udah dari tadi sampai sebenarnya, tapi Byan pengen lihat-lihat, jadinya kami tadi ditemenin satpam keliling dulu." "Oo gitu. Suka gak, Byan?" Shafa tersenyum, menoleh pada Byantara. "Suka Tante, apalagi ada kolam renangnya," jawabnya sambil membalas senyum Shafa. "Dia hobi banget renang," ucap Sheila menambahkan. Seseorang mengetuk pintu ruangan Shafa dan memberikan goodie bag berisi perlengkapan seragam sekolah yang akan dicoba Byantara. "Nah, ini dicoba dulu. Biar tau pas enggaknya. Di kamar mandi sini aja, kayak Aysha tadi." Byantara sedikit terkesiap saat mendengar Shafa menyebut nama Aysha, namun dengan cepat ia menormalkan lagi reaksinya. Walau tak pernah bertemu sejak hari di mana ia dan keluarganya pindah ke Surabaya, sembilan tahun yang lalu, namun ia tak pernah lupa dengan satu nama itu. 'Masih dengar namanya aja, reaksi perut gue udah aneh, apalagi kalau ketemu orangnya'. Byantara menggelengkan kepalanya pelan sambil memasuki toilet khusus di ruangan kepala sekolah itu. Seseorang mengetuk pintu ruangan Shafa dan melongokkan kepalanya sambil membuka pintu. "Loh, kok balik lagi, Ay?" Shafa menoleh ke arah pintu dan bergegas berdiri. "Ponsel ibuk yang charging tadi, lupa dibawa." Kikik Aysha sambil melangkah masuk. "Lah, iya!" Shafa ikut tertawa. "Eh ini, ada Tante Sheila, ingat, kan? Salim dulu." Aysha tersenyum, ia sejujurnya tak begitu mengingat wajah wanita di depannya ini. Namun, samar-samar seperti mengingat namanya. Meskipun demikian, ia bergegas mendatangi Sheila yang tampaknya sangat senang bertemu dengannya. "Masha Allah, cantik banget anaknya Ara! Tiba-tiba ketemu udah gede aja," ucap Sheila sambil memberikan pelukan yang disambut ringisan oleh Aysha. "Teringat dulu waktu masih kecil, kesana kemari gandengan ama Byan, kalian lucu banget!" tambah Sheila lagi, dibelainya halus pipi Aysha yang seketika memerah begitu nama Byantara disebut. Aysha menelan salivanya susah payah. "Emm ... maaf Tante, Aysha buru-buru, Ibuk nunggu di mobil," senyumnya sambil menggenggam tangan Sheila. "Aysha ambil ponselnya, ya, Aunt," tambahnya lagi sambil menoleh ke arah Shafa. Ternyata Shafa telah lebih dulu mengambil ponsel Ara yang telah terisi daya dan menyerahkannya pada Aysha. "Makasi, Aunty. Aysha pulang ya. Tante Sheila, Aysha duluan ya," ucapnya kemudian sambil beranjak menuju pintu keluar. Tepat saat Aysha menutup kembali pintu kantor Shafa, pintu toilet di ruangan itu pun terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD