LFU 2

1530 Words
Rere jengah dengan pertemuan ini. Dia sudah menolak ajakan ibunya dengan dalih ingin menyelesaikan pesanan lukisan milik temannya. Namun sial, ibunya sudah mengetahui jika lukisan itu sudah selesai sejak kemarin, karena akan diambil malam nanti. "Ma, aku pulang, ya! Ngapain si aku ikut?" rengek Rere saat keluarganya baru saja duduk di sebuah restoran. Menunggu kehadiran keluarga lain. Ternyata Renata dijodohkan dengan anak teman ayah mereka. Rere bersyukur dia bukan anak pertama. Karena jika seperti itu, bisa saja dia yang dipaksa menerima pinangan keluarga itu. "Re, kamu bisa sekali aja nggak membangkang? Ini perkenalan antar keluarga, kamu juga bagian dari keluarga ini!" Suara ayahnya Agak meninggi. Rere hanya berdecak sembari mengerucutkan bibir. "Sebentar aja, ini untuk menghormati keluarga Om Vino. Nanti kalau udah kenalan, kamu boleh pulang," kata mamanya lembut. Ia tidak ingin ada perang mulut. Rere tak menjawab, ia hanya bersedekap dan melempar tatapan kesal pada Renata yang menampilkan sikap lemah lembutnya. Sikap palsu yang selalu ia tunjukan pada orangtuanya. Ah! Lagi pula kenapa pertemuannya harus diadakan di luar? Kenapa tidak di rumahnya saja. "Rere mau ke toilet!" "Tasnya nggak usah dibawa," kata ibunya sembari mengambil alih tas tangan yang Rere pegang. Ia sudah tahu apa isi otak putri keduanya itu. Apalagi jika tidak kabur. Rere yang kesal hanya menghentakkan kakinya, lalu melangkah pergi ke toilet. Memang sebenarnya dia berencana kabur, kenapa juga ibunya bisa membaca pikirannya. Rere berdecak sebal berkali-kali. Gaun yang ia kenakan juga sangat merepotkan. Dia bukan perempuan feminin seperti Renata yang betah mengenakan minidress dengan sepatu berhak tinggi seperti ini. Tapi saat ibunya memberi alasan demi kesopanan, ia sudah tidak bisa membantah. Dan terpaksa memakai pakaian yang ibunya pilih. Rere melepas heels yang menghambat jalannya. Coba saja dia membawa ponsel, sudah pasti ia akan menelpon Leon untuk menjemputnya. Kenapa juga tidak ada wartel seperti jaman dulu. Pasti akan bisa membantu disaat genting seperti ini. Rere tidak benar-benar melangkah ke toilet. Dia malah berjalan keluar area restoran lewat pintu lain. Berharap akan bertemu seseorang yang setidaknya dia kenal. Beruntung jika dia bisa minta tolong untuk diantar pulang. Atau paling tidak, dia bisa meminjam ponsel untuk menghubungi Leon. Pandangan Rere mengedar. Dan sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Bibir Rere tersungging saat melihat seseorang yang ia kenal. "Pras!" teriaknya sembari melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Laki-laki itu tersenyum, itu artinya dia mengingat Rere walaupun baru dua kali bertemu. "Rere, kan?" tanya Pras mencoba meyakinkan jika dia tidak salah mengenali orang. Rere terkekeh, harusnya dia yang memastikan jika dia tidak salah orang. Udah sok akrab lagi. Tapi apapun akan dia tempuh untuk bisa kabur dari sini. "Lo sama siapa?" tanya Rere sok akrab. "Lagi nungguin cewek gue. Lo sendiri ngapain?" tanya laki-laki yang berpakaian rapi itu sambil menahan senyum. Pasalnya Rere masih menenteng sepatu di kedua tangannya. Tapi gadis itu terlihat tidak peduli. "Gue boleh minjem hape nggak? Atau kalau enggak, gue boleh minta tolong telponin Leon buat jemput gue?" kata Rere sambil meringis tak enak. Pras rampak mengerutkan kening, tapi akhirnya mengangguk. Meski penasaran apa yang sebenarnya sedang Rere lakukan di sini, namun ia memilih untuk tidak menanyakan itu. Dia merogoh ponsel dan menghubungi temannya itu. "Setengah jam lagi dia nyampe. Gue tinggal nggak pa-pa?" "Oh nggak pa-pa! Makasih, ya!" jawab Rere cepat dan mengangguk pada wanita yang menghampiri mereka. Ia tersenyum lega sembari beringsut ke arah sudut. Di mana tak akan tampak sosoknya jika dilihat dari dalam resto. Karena sebentar lagi, ia yakin keluarganya akan sadar jika ia kabur. Setengah jam lebih Leon baru sampai di lokasi. Rere ingin marah tapi urung saat melihat wajah lelah laki-laki itu. Lagipula Leon sudah mau menjemputnya saja seharusnya dia bersyukur. Rere sempat melihat Renata yang celingukan di depan pintu kafe. Tapi untung saudaranya itu tidak melihat keberadaannya. "Sori lama, gue ada kerjaan tadi," kata Leon dengan senyum lemah. Rere meringis tak enak, dia harusnya yang minta maaf karena telah merepotkan. "Nggak pa-pa," jawabnya singkat. "Ya udah yuk pulang!" kata Leon sembari menggandeng tangan Rere. Tapi seperti biasa, gadis itu pasti akan langsung menarik tangannya. Entahlah, ada rasa tak nyaman setiap kali Leon menggandengnya. Berjalan dengan Leon saja sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan untuk Rere. Orang-orang sering memperhatikan mereka. Berbisik-bisik tentang kekontrasan yang mereka miliki. Leon memiliki kulit putih, yang memang akan terlihat sangat bersinar jika dibandingkan dengan Rere yang berkulit cokelat. Di situlah Rere sering merasa kesal. Karena kondisinya akan selalu sama jika ia berjalan dengan Renata. Mereka selalu dibandingkan karena memiliki perbedaan yang mencolok. Bahkan sering ada yang terang-terangan mengomentari. Renata memiliki kulit putih seperti ibu mereka. Tubuh tinggi seperti ayahnya. Sementara Rere kebalikannya. Tubuhnya mungil seperti ibunya sementara warna kulitnya cokelat seperti ayahnya. Kadang Rere merasa iri, kenapa semua yang baik ada pada Renata. "Kamu memangnya lagi ngapain di sini?" Rere tidak langsung menjawab, ia malah meminjam ponsel Leon saat mengingat sesuatu. "Pinjem hape lo!" Leon mengerutkan dahi bingung. "Mau ngapain?" tanyanya curiga meski tetap menyorongkan ponselnya. Rere mengetikkan pesan tanpa menjawab pertanyaan Leon. Lalu dengan senyum misterius ia mengembalikan ponsel laki-laki itu. Dengan tatapan curiga Leon membaca pesan yang baru saja Rere kirimkan. To Rena : Bilangin nyokap, gue balik duluan. Sakit perut. Leon hanya menggeleng saat sadar Rere sedang melakukan aksi kabur. Ia bisa menebak itu karena bukan kali ini saja Rere melakukan hal seperti ini. From Rena : Nanti papa marah. Keluarga Mahesa udah di parkiran. Balik Re! "Mau dibales?" tanya Leon setelah membaca pesan balasan dari Renata. Rere menggeleng, bahkan ia tak mau membaca pesan balasan dari saudaranya itu.  Merekapun segera meluncur pergi dengan motor besar Leon. Rere sempat menoleh ke arah parkiran mobil, saat merasakan seseorang tengah mengamatinya dari jauh. Namun sayang, orang itu sudah lebih dulu melangkah pergi sebelum keduanya beradu pandang. * "Mahesa siapa, Re?" tanya Leon sambil merebahkan tubuhnya di sofa apartemen laki-laki itu. Rere enggan pulang karena di rumah tidak ada orang. Lagipula mereka sudah terbiasa duduk berdua di apartemen milik Leon dan tidak pernah terjadi apa-apa. Rere percaya pada laki-laki yang terlihat kelelahan itu. "Kerjaan kamu udah selesai?" tanya Rere, mengabaikan pertanyaan Leon tentang Mahesa. Ia melirik tumpukan kertas yang berada di meja kerja laki-laki itu. "Udah," jawab Leon sembari membuka mata. Lantas duduk dan memperhatikan Rere yang sedang menyeruput teh hangatnya.  "Lo belum jawab pertanyaan gue, Mahesa siapa?" "Mahesa? Siapa?" Rere malah terlihat bingung. "Tadi Rena bilang keluarga Mahesa udah dateng, Mahesa siapa? Dan, tadi ada acara apa sampai lo kabur?" Rere mengangkat bahunya acuh. "Calon suaminya Rena kali, gue juga nggak tahu siapa Mahesa. Tadi itu acara perjodohan Rena sama anak temen papa," jelas Rere cuek. Lalu memilih berdiri dan mengambil camilan di kulkas. "Masih jaman dijodoh-jodohin?" tanya Leon sembari memperhatikan pergerakan yang Rere lakukan. "Masih kali, untung aja gue bukan anak pertama." "Memang kenapa kalau lo anak pertama?" tanya Leon cepat. "Bisa jadi gue yang dijodohin, kan?" "Dan lo pasti bakalan nolak mentah-mentah." Rere hanya menampakan cengirannya. Sementara Leon tersenyum lega, ia ikut bahagia karena bukan Rere yang dijodohkan. Kalau hal itu terjadi. Dia yang akan patah hati. * Sementara di restoran tempat dua keluarga itu akan bertemu, sedikit terjadi ketegangan di salah satu keluarga. "Udah Pa, nanti biar Mama yang bicara sama Rere, nggak usah dimarahin terus anak itu. Lagipula, yang paling penting di acara ini kan Rena," kata Winda mencoba menenangkan suaminya yang marah saat Renata menunjukkan pesan dari Rere yang meminjam ponsel Leon. "Anak itu, Papa bingung. Kenapa susah sekali diatur," geram Firman sembari mengatur emosinya. Rere yang pembangkang memang sudah biasa. Namun selalu saja berhasil membuat ayahnya marah. "Udah Pa, itu keluarga Mas Vino udah dateng," kata Winda sembari tersenyum lega saat melihat kehadiran keluarga yang mereka tunggu. Renata yang dari tadi diam, akhirnya ikut menoleh ke arah empat orang yang sedang berjalan ke arah mereka. Dia belum pernah bertemu ataupun melihat foto laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Tapi saat melihat dua pria yang berjalan di belakang dua orangtuanya. Renata langsung bisa mengenali mana yang bernama Mahesa. Ia tersenyum senang, jika awalnya ia sedih dan kesal karena perjodohan ini. Namun saat melihat seperti apa Mahesa, ia merasa bersyukur karena tidak pernah membangkang. Meski berat menjadi anak manis penurut, karena artinya ia harus melakukan apapun itu perintah orangtuanya. Entah ia suka ataupun tidak, tentu saja itu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Terkadang ia iri pada adiknya, dia selalu berani mengemukakan apa yang ia suka dan tak suka. Rere yang pemberani, pintar bergaul dengan siapapun. Selalu mendapat teman yang setia. Tidak pernah didekati hanya karena ketertarikan fisik saja. Rere selalu mendapat cinta yang tulus. Itu yang selalu membuat Renata sering ingin bertukar tempat dengan saudarinya itu. Sambutan hangat terlihat pada kedua keluarga itu. Mereka berpelukan dan saling menanyakan kabar sebagaimana mestinya kawan lama yang sudah tidak lama bertemu. Hingga sampai pada perkenalan kedua anak yang akan dijodohkan. "Renata," kata wanita berusia duapuluh enam tahun itu dengan wajah merona. Sedang laki-laki yang kini menjabat tangannya hanya tersenyum tipis. Bahkan terkesan dingin. "Mahesa," sahutnya tanpa semangat. Berbeda dengan adik laki-lakinya yang tampak lebih semangat memperkenalkan diri. Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu seperti dengan sengaja menyerobot tangan Renata dengan senyum tengil.  "Kalau gue, Adrian," katanya. Renata hanya tersenyum sumbang. Lalu kembali mengembangkan senyum manis pada Mahesa yang memilih duduk di sampingnya. Namun laki-laki itu tidak terlihat berminat dengan pertemuan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD