Ketakutan (KAMELIA POV)

1167 Words
Ya Tuhan, kakiku bergetar hebat aku bergidik ngeri melihat kemarahan Mr. Brayen. Apa aku bermimpi baru saja membangunkan seekor singa ganas? Mr. Brayen mudah sekali berubah-ubah. Padahal aku hanya meminta untuk mengunjungi kedua orang tuaku yang benar-benar kurindukan. Mr. Brayen sangat egois, kekayaannya selalu dijadikan bahan untuk mendapatkan segalanya. Tak sadar, air mataku menetes. Jelas aku ketakutan, perasaan berkecamuk didalam hati. Aku benar-benar bosan dan jenuh terkurung dirumah besar ini. Aku bingung, mengapa harus aku yang menjadi tawanannya mengapa bukan orang lain saja? Hidupku bahkan sudah sangat menderita sebelumnya. "Keluar." Perintah Mr. Brayen saat mobilnya memasuki halaman depan istananya. Aku keluar dengan perasaan was-was. Mr. Brayen terus mengamati pergerakan ku. "Dengarkan aku!." Sontak kepalaku mendongak menatapnya, dengan keberanian yang kucoba aku berhasil menatap mata coklatnya yang berkilat amarah. "Kau sudah menjadi milikku, jadi apapun harus atas izinku. Mengerti?" Kepalaku mengangguk lemah. Perkataan itu membuatku tak bersemangat melanjutkan hidup. "Masuklah." Perintahnya yang kuturuti. Aku berjalan melewati dayang-dayang yang menunduk sopan kearah ku. Aku benar-benar bagaikan burung dalam sangkar, yang di tawan sebagai peliharaan. Memasuki kamar yang menjadi tempat peristirahatan. Tak lupa menutup pintu, menumpahkan segala kesedihan disana. Air mataku lolos, membanjiri pipiku. Aku sudah tidak tahan lagi, satu hari berada dirumah ini rasanya bagai bertahun-tahun lamanya. Sungguh, bercanda bersama sahabat dan keluarga adalah hal yang kurindukan. Berkencan dengan Joes juga moment yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi. Aku baru saja tersadar, bahwa Joes melepaskan ponselnya untukku. Kuraih dalam saku, lalu mencoba mengeceknya. Aku tersenyum, setidaknya ponsel ini membantuku untuk menghalau rasa bosan. Bibirku tersungging senang, Joes langsung mengirimkanku pesan. Ya, cowok itu memang tak pernah mengingkari janjinya. Hanya aku saja, yang mengkhianati segalanya. [Ini nomorku Kamelia ~Joes] [Ya, aku akan menyimpannya] [Apa kau sedang sibuk Kamelia?] Rasanya, aku ingin segera mengatakan pada Joes, bahwa sungguh aku sedang tidak sibuk hari ini justru aku terjerat kebosanan. [Tidak, ada yang ingin kau katakan?] [Tentu, aku rindu berbincang denganmu] Oh astaga, tanpa harus membalas akupun juga memiliki rasa rindu yang sama dengan Joes. Lagi-lagi pria setan itu adalah alasan terkuat aku membuat tembok besar untuk menghalangi rinduku. [Maafkan aku Joes, aku tidak bisa bertemu denganmu karena pekerjaanku] [Tidak apa-apa, jaga kesehatan mu disana ya. Aku ada urusan sebentar] [Ya] Sebenarnya aku bisa saja kabur dari rumah ini, tetapi yang membuatku ekstra malas adalah harus melewati beberapa dayang-dayang untuk bisa mengelabui. Apalagi rumah ini sangat luas untuk kabur, berbeda lagi dengan rumahku yang hanya beberapa meter saja. Belum sampai ke jalanan aku bahkan sudah tersengal-sengal untuk menghindar. Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal bodoh seperti itu. Mungkin saja, jika pikiranku sudah jernih aku akan mendapatkan cara yang lebih baik tanpa harus melewati dayang-dayang dan pelataran rumah yang luas Saat tepat aku ingin menyimpan ponsel di bawah bantal, pintu terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang setahuku menjadi ketua di para dayang-dayang. "Hai bibi Elsa." Sapa ku sopan, aku membuang jabatan sebagai nyonya muda di hadapan wanita itu bagaimanapun juga orang tua tetaplah orang tua yang wajib dihormati. "Nyonya, jangan memanggilku seperti itu." Kata Bibi Elsa merasa tak enak Aku melangkah mendekatinya, "Bibi, itu sudah kewajibanku. Aku tidak mungkin menjadi kurang ajar karena harta." Bibi Elsa tersenyum, wanita itu memelukku dengan penuh sayang. Sungguh, aku sangat merindukan ibu dan keluargaku disana. "Aku mengerti perasaanmu nyonya, pasti kau sangat merindukan ibumu kan?" Aku mengangguk dalam pelukan, lalu mencoba melepaskan untuk menatap wajah Bibi Elsa. "BI, berhentilah memanggilku nyonya. Panggil aku dengan namaku atau kau bisa menganggapku seperti anakmu." Kataku penuh semangat, aku bahkan tidak sabar jika bibi Elsa ingin menganggapku sebagai putrinya disini. Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepalaku, "baiklah jika itu kemauanmu nak Kamelia, bibi akan dengan senang hati." Aku tersenyum senang, dan lalu memeluknya penuh sayang. Bibi Elsa kemudian membawaku untuk duduk di tepi ranjang. Menatapku penuh kasih sayang lalu mengelus rambutku. Ya, sejak awal kepindahan, sudah merasakan aura kebaikan dari bibi Elsa, bahkan ibu Elsa sangat perhatian padaku ketimbang para dayang-dayang yang lebih muda dari bibi. "Kamelia, bibi hanya ingin memberitahumu bahwa Mr.Brayen memanglah seperti itu." Aku terdiam, lalu Bibi Elsa menambahkan kalimatnya. "Mr. Brayen adalah orang yang baik. Beliau menolongku dalam kesulitan meskipun ia adalah pria tukang perintah dan semena-mena." Aku mengangguk untuk pernyataan itu, tapi aku masih mencari perbuatan-perbuatan baik Mr. Brayen yang di katakan Bibi Elsa barusan. Entah aku juga tidak mengerti, mengapa bibi Elsa tiba-tiba membicarakan masalah Mr. Brayen, apa beliau tahu jika aku tidak nyaman berada disini? Tidak betah bersama pria es kutub itu? "Kau hanya belum terbiasa, tetapi beberapa waktu kau akan mengerti bahwa semua yang dilakukan Mr. Brayen adalah yang terbaik." Sepertinya bibi Elsa terlalu fanatik dengan Mr. Brayen. Bagaimana bisa aku menganggap orang sepertinya adalah orang yang baik dan memiliki tujuan yang dermawan. "Nak, mungkin kau belum percaya. Tetapi coba pegang kata-kata bibi ya." Dengan ragu aku mengangguk, ya walaupun aku sedikit tertantang untuk membuktikan pernyataan bibi Elsa yang menurutku sangat berlebihan. "Apa kau sudah membersihkan diri?" "Belum bi, kalau begitu aku permisi dahulu untuk membersihkan diri." Bibi Elsa mengangguk, lalu memberikanku waktu untuk membersihkan diri. Bibi Elsa memilih melangkah pergi, mengurus pekerjaan yang lain. Jujur ku katakan, aku sedikit merasa tak enak hati memerintah semua para dayang-dayang. _______________________________________________________ Seharian penuh, aku hanya berkeliling istana ini. Ya, ku katakan ini bukan rumah biasa, yang luasnya hanya beberapa meter saja. Kolam renang yang luas, kebun bunga yang seperti lapangan, belum lagi halaman depan dan belakang yang asri. Tidak pantas untuk disebut rumah. Bukannya aku melebih-lebihkan, tetapi begitulah yang kurasakan. Pria itu terlampaui kaya, dan seperti mendapat musibah dengan keberadaan orang sepertiku. Bahkan sampai saat ini, aku masih berpikir. Bagaimana pria seperti Mr. Brayen yang memiliki kharisma dan kekayaan yang luar biasa bisa menyukai gadis kampung sepertiku?. Ralat! Atau kemungkinan Mr. Brayen hanya ingin berbagi menjadikanku seorang pelayan. Oh.. sungguh malangnya hidupku. Sembari menyusuri pinggiran kolam renang dengan kaki telanjang. Kurasakan hembusan angin yang menerpa rambut dan kulitku. Sore ini menjadi sore yang tenang, ya meskipun rumah ini selalu dalam keadaan tenang. Tanpa Mr. Brayen aku bisa jauh lebih leluasa dalam berekspresi, karena dengan kehadiran beliau bisa saja aku menjadi gadis yang kaku. Sulit untuk memilih bersikap karena pria tersebut yang terlampaui banyak mau. "Nyonya." Aku menoleh, karena sudah terbiasa dengan panggilan seperti itu. Mendapati Ika dayang-dayang yang aku perkirakan seumuranku berdiri tak jauh dariku. "Ada apa Ika?" Tanyaku, mendekatinya "Waktunya untuk pijatan." Alisku terangkat, aku bahkan tidak mengalami nyeri di bagian tubuh manapun. Selama disini aktivitas ku hanya duduk, makan dan berjalan. Tidak ada sama sekali aktivitas yang cukup berat bagiku. "Di rumah ini, selalu ada waktu untuk memanjangkan otot-otot nyonya." Ika berkata, mencoba menjelaskan padaku yang nampak kebingungan. Lalu aku mengangguk, ternyata seperti itu. "Baiklah, tunggu saja aku akan segera kesana." Kataku walau masih dalam suasana kebingungan. Ya, orang kaya memang selalu dengan keribetannya. "Baik nyonya." Kata Ika, lalu membungkuk dengan sopan dan setelahnya meninggalkanku. Ku akui, meski dirumah ini segala yang kubutuhkan segera terpenuhi tetap saja aku tak pernah merasa nyaman berada di kandang emas se ekor singa. Walau dihidangkan makanan daging empuk, dengan saos yang lumer tetap saja tempe goreng tipis di lumuri tepung menjadi sajian ternikmat kala dinikmati bersama keluarga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD