Memendam sebuah perasaan tak terbalas memang sangat sesak. Menahan segala perasaan yang ada. Setiap hari melihat orang yang disukai dan selalu bertegur sapa. Namun, lebih sakit lagi jika mengetahui jika orang yang disukai telah memiliki cinta lain. Seolah bertepuk sebelah tangan. Terkikis sebelum terkumpul, dan layu sebelum berkembang. Itulah yang dialami oleh kedua anak manusia. Fazella dan Adnan. Sama-sama saling menyukai, sama-sama saling memendam rasa. Menutupi perasaan masing-masing dengan sebuah ikatan persaudaraan. Namun, saat salah satu dari mereka mengatakan hal yang buruk. Betapa sakitnya hal itu.
Fazella menghela napasnya yang terasa sesak. Padahal ia sudah berusaha menyemangati dirinya sendiri agar bisa memendam perasaannya pada Adnan. Ia juga bertekad ingin menerima cinta Marcello, tapi kenyataannya tak semudah yang ia bayangkan. Bertatap muka dan bersinggungan dengan Adnan membuat hatinya sesak.
“Seharusnya aku bisa menyembuhkan lukaku ini, toh belum terungkap, tapi ke apa sulit sekali. Kenapa sakit sekali,” gumam Fazella.
Tak ingin berlama-lama dan membuat yang lain tidak nyaman, ia memilih keluar dari kamar mandi.
“Maafkan aku, Fa.”
Fazella terlinjak kaget, saat mendapati Adnan berada di depan pintu kamar mandi. Sebisa mungkin Fazella menahar gejolak di hatinya.
“Ck. Ngagetin anak orang saja. Gak tau apa kalau aku ini sedang merajuk, heh? Gak usah membujukku, kalau bukan dengan uang.” Terdengar ketus memang, Fazella mencoba menjadi dirinya yang seperti biasa di depan Adnan.
“Aku sengaja mengatakan itu. Karena aku kesal dipojokan terus oleh Umi.”
Fazella mengangkat sebelah bibirnya. “Ya terus? Kalau kesal sama Umi, harus aku gitu yang jadi alasan? Iya aku beban, aku dekil aku jelak, terus terang saja. Aku sakit hati.”
“Maafkan aku ya, Fa. Aku–“
“Sudahlah. Seharusnya Mas Adnan itu peka kalau aku ini merajuk. Dan mulai hari itu, aku tidak akan lagi membebani Mas Adnan. Untung masih ada Mas Azlan. Dah ah. Mau lanjut makan. Lapar!”
Adnan, hanya bisa menghela napasnya saja. Ia sedikit merasa lega karena sudah meminta maaf pada Fazella.
“Kayaknya jika kali ini kamu tidak jujur pada dia. Dia akan menjadi milik Marcello. Dan saat itu terjadi, jangan harap kamu bisa merebut Fazella dari pria itu. Karena Fazella memiliki impian menikah muda. Dan bagusnya, Marcello menyukai Fazella.” Tepat setelah mengatakan itu pada saudara kembarnya, Azlan pun meninggalkan Adnan yang tengah merasakan perih di hatinya.
Di meja makan semua kembali menikmati masakan Viana. Begitu juga dengan Adnan yang juga sudah berada di kursinya. Tak ada yang tau apa yang terjadi antara adnan Fazella, kecuali Azlan.
“Zel, kamu nginep aja deh. Soal ulangan kamu bisa belajar sama aku,” ucap Ayesha saat mereka sudah selesai makan.
“Aku males ketemu Mas Adnan. Pingin nyakar muka keringnya itu,” ucap Fazella.
Dan hal itu mampu membuat semua orang yang ada disana menatap Adnan dan Fazella. Namun, hanya Azlan yang tahu maksud ucapan Fazella.
“Zel? Dia sudah minta maaf apa belum padamu?” tanya Ragarta.
“Sudah, Bi, tapi aku tetap aja kesal sama Mas Adnan!”
“Tunggu! Apa yang aku lewatkan?” tanya Fayes.
“Mas tau gak?” Fazella mendekati Fayes dan bergelayut di lengan pemuda tampan itu. Hal membuat Adnan cemburu dalam diam. “Masa Mas Adnan ngatain aku dekil, jelek dan juga aku ini beban baginya! Kejam gak sih? Kejam banget kan? Makanya aku benci sama dia. Males banget aku!”
Ragarta dan Viana hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan Fazella. Namun bagi Adnan dan Azlan kata ‘BENCI’ yang keluar dari mulut Fazella itu adalah nyata, bukan sekedar ucapan belaka.
“Dasar bocah labil. Itu memang nyata. Kamu itu dekil jelek dan juga beban. Gitu saja ngambek,” ucap Fayes.
“Ish. Umi, Abi. Lihat sekarang Mas Fayes juga ngatain aku. Eh tapi ya. Aku difitnah juga sama Mas Adnan. Katanya aku pacaran loh. Emang pacarku siapa?”
Adnan berdehem mendengar pertanyaan Fazella. “Marcello.”
Kini semua mata menatap Fazella. “Apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Fazella.
“Siapa Marcello?”
“Kamu beneran pacaran sama Marcello anak kampus kami?”
“Fazella?”
Percayalah, ingin rasanya Fazella tenggelam kali ini. Selain itu ia juga ingin membawa Adnan tenggelam juga, karena mulut pria yang ia benci sekaligus ia cintai itu mengatakan soal Marcello.
“Gak kok. Aku Cuma kenal aja sama kak Cello. Dia kan teman Mas Adnan dan juga Mas Azlan. Jadi aku kenal juga toh?”
“Dia sudah nembak kamu. Kamu terima?”
Andai saja Fazella berada di luar rumah hanya berdua dengan Adnan. Ia akan langsung memukul kepala pria minim eskpresi itu
“Mana ada dia nembak aku? Gak ad ya . Aku masih menyukai pria lain bukan dia.”
“Kamu tidak boleh menyukai pria mana pun, Fa.”
“Kenapa? Kan Cuma suka bukan berarti pacaran. Laguan pria yang aku sukai itu tidak menyukaiku!”
“Maka dari itu berhentilah menyukai pria bodoh itu. Kamu jangan sampai sakit hati.”
“Biarin. Suka-suka aku, perasaan juga perasaanku. Ngapain Mas Adnan yang repot.”
“POKOKNYA JANGAN MENYUKAI PRIA MANA PUN!”
“JANGAN MENGTURKU. MAS ADNAN TIDAK BERHAK MENGATUR PERASAANKU!”
“AKU BERHAK MENGTURMU, KARENA AKU MENYUKAIMU!”
“AKU TIDAK PEDULI BIARKU MAS ADNAN–! Tunggu dulu, apa? Mas Adnan bilang barusan? Mas Adnan menyukaiku?”
Adnan menutup wajahnya, ia kelepasan bicara. Bahkan ia tak sadar mengatakan hal itu, dan sialnya lagi ia mengatakan itu di depan keluarganya. KELUARGANYA. Bayangkan bagaimana reaksi mereka? Mereka melongo, kecuali Azlan. Azlan tersenyum seraya menikmati buah yang ada di sana.
“A–aku salah bicara!”
“ADNAN, DUDUK!”
Adnan duduk kembali saat ia akan pergi, suara Uminya begitu menakutkan.
Sedangkan Fazella, ia menggigit bibirnya seraya menunduk. Ntah apa yang ia rasakan saat ini. Bahagia kah? Kecewa kah? Atau sakit? Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Fazella saat ini.
“Aku ada telepon, aku angkat telepon dulu,” ucap Fayes. Ia tahu situasi kali ini sedang tidak kondusif. Meskipun ia penasaran dengan apa yang terjadi, tapi ia memilih untuk pergi dari sana dulu
“Aku juga mau pergi ke kamar dulu.” Begitu juga dengan Ayesha. Ayesha tetap pergi meskipun Fazella menatapnya dengan tatapan memohon untuk tetap berada di sana.
“Ayesha, bawa Fazella juga. Adnan kamu tetap di sini.” Ayesha kembali dan menarik tangan Fazella.
“Az. Apa yang terjadi? Adnan menyukai Fazella?” tanya Fayes.
“Seperti dugaanmu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak SD.”
“Hah? Masa iya?”
“Gak percaya ya sudah!” ucap Azlan, seraya pergi menuju kamarnya.
“Eh, tunggu dulu ceritain dong. Kok bisa sih?” Azlan mengacuhkan Fayes dan terus berjalan menuju kamarnya. Sepupunya itu pasti akan kepo sekepo-keponya.
Sementara itu di ruang keluarga, ada Adnan yang merasakan suasana mencekam. Pasalnya ia tengah berada di depan Umi dan Abinya.
“Apa benar Adnan?”
“Mi–“
“Adnan Setyo Anam? Apa benar?”
“Astagfirullah.”