Day 2

1008 Words
Pagi yang begitu hening, hanya terdengar suara alat makan yang saling bertubrukan satu sama lain. Hyeri masih diam menyantap makanannya. Satu hal yang tak pernah berubah dari dirinya, ia tak pernah suka dengan keributan saat makan. Apalagi suara kunyahan dan kecapan. "Kau sudah selesai?" aku tergagap, kemudian mengangguk sekilas. "Aku berangkat dulu," tepat sebelum aku melangkah, suara Hyeri lebih dulu terdengar. Ia berdiri di depanku, kemudian tersenyum sembari dua tangannya memakaikan dasi bermotif garis-garis. "Kau selalu lupa memakai dasi," ujarnya lirih. "Sudah selesai, kau tampan sekarang." Aku masih saja diam. Dua bulan ke belakang, aku jadi kembali teringat akan diriku yang begitu kacau tanpa Hyeri. Sering bangun siang, tak memakai pakaian rapi saat bekerja bahkan sering melewatkan jam makan. Aku bahkan hampir dipecat gara-gara sering terlambat datang ke kantor. Tapi meski begitu, ego yang ku punya masih jauh lebih tinggi daripada perasaan ku sendiri. Aku memilih bertahan untuk menjauh sementara dari istriku, menjalani hidup kacau ku dengan pikiran yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu. "Terima kasih," kataku. "Tunggu sebentar." Hyeri dengan cepat berlari kecil ke arah dapur. Tidak lama setelahnya ia kembali dengan satu kotak makanan berwarna biru. "Aku sudah membuatkan bekal untukmu. Kau pernah bilang jika setelah menikah kau ingin membawa bekal masakan ku ke kantor, maaf ya baru kali ini aku bisa membuatkan mu bekal." Ia mengulurkan kotak tersebut, aku menerimanya dengan kaku. Ia bahkan masih ingat dengan kata-kata yang bahkan aku sendiri tidak mengingat sama sekali pernah mengatakannya. "Ya. Aku berangkat dulu," kataku kikuk. Jujur saja melihatnya bersikap biasa dan tetap tersenyum seperti itu membuatku merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang mencoba menyeruak. Kenangan masa lalu juga rasa yang dulu mungkin jadi kebanggaan untukku seolah memberontak keluar, meski sebisa mungkin ku tahan. Mungkin terkesan jahat. Tapi aku benar-benar tidak boleh goyah. Keputusan ku sudah bulat untuk berpisah. Lagipula ini hanya satu minggu dan hanya tersisa lima hari lagi untuk menyelesaikannya. "Tunggu." Ia menjegal lenganku, membuatku menoleh dan mendapati nya yang tengah melihatku dengan wajah sedikit kecewa. Ia kemudian berjalan mendekat, sampai saat dirinya berada tepat di depanku Hyeri melakukan sesuatu yang tidak ku duga. Wanita itu berjinjit dan sedikit menekan bahuku sebagai tumpuan, aku masih sadar sesaat sebelum benda kenyal dengan rasa manis itu mengecup bibirku sekilas. Hanya sebentar, tidak sampai sepuluh detik. Sebuah kecupan singkat yang mampu membuatku terdiam mematung dengan wajah bodoh. "Maaf, mungkin kau lupa. Setiap sebelum kau pergi bekerja, kau selalu mencium ku dulu." Hyeri berkata dengan kepala tertunduk. Tapi aku masih bisa melihat rona samar di wajahnya. Gila! Benar-benar gila! Aku merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan masa lalu itu terus bergemuruh seolah minta dibebaskan dengan segera. "Ah, ya. Aku lupa," sahut ku sambil menggaruk tengkuk. Suasana di antara kami begitu awkward. Dan entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan diriku sekarang. "Ka-kalau begitu, aku berangkat dulu." Sial! Kenapa suaraku jadi gagap begini? Hyeri mengangguk. Dengan cepat aku masuk ke dalam mobil dan mengendarainya dengan kecepatan sedang. Sembari menghela napas panjang, kucoba untuk menetralkan diri. Perasaanku benar-benar membuat kelabakan. *** Ku rebahkan punggung ku pada sandaran kursi. Rasanya begitu panas, gerah. Padahal pendingin udara sudah ku nyalakan dengan suhu rendah, tapi mengapa masih terasa begitu panas disini. Helaan napas panjang entah yang sudah ke berapa kali menguar dari mulutku. Rasanya masih tidak cukup bahkan meski aku telah melakukannya sejak pagi. Pekerjaan yang harusnya berjalan lancar juga terhambat. Rapat dengan beberapa investor terpaksa ditunda karena aku yang tidak ingin bekerja dengan kondisi kurang baik seperti saat ini. Tidak, aku tidak sedang sakit ataupun demam. Apa yang ku rasakan adalah imbas dari perbuatan Hyeri pagi tadi. Semuanya masih terbayang jelas dalam ingatan, dan entah mengapa hal itu membuatku sulit untuk berkonsentrasi. Ekspresi memerah juga suaranya yang mendadak mengecil masih terekam dengan jelas. Rasa manis bibir mungilnya, juga sentuhan yang sudah lama tidak ku rasakan. Semuanya membuatku begitu gila sekarang. Terdengar suara pintu diketuk dari arah luar. "Masuk." Pintu terbuka dan menampakkan seorang wanita dengan rok span selutut berwarna coklat s**u juga kemeja lengan panjang berwarna biru laut. Dia asisten ku. Sekaligus alasan dibalik menjauh nya aku dari Hyeri. "Mr, apa rapat dengan perwakilan RJ corp juga ingin anda tunda?" Sekali lagi ku hembuskan napas panjang. Penat sekali rasanya. "Untuk hari ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun dulu. Tolong jadwalkan lagi untuk besok," jawabku dengan mata terpejam. "Ada masalah?" tanya nya yang kini berjalan mendekat ke arahku. Sekali lagi aku hanya menghela napas, melihatnya sebentar sebelum kemudian kembali larut dengan pemikiran ku sendiri. Entah, aku tidak ingin mengatakan perihal permintaan Hyeri atau apapun yang terjadi antara aku dan dirinya. "Tidak ada, aku hanya lelah," jawabku malas. Ia tidak lantas beranjak dari sisiku, dirinya justru memandangiku dengan ekspresi tidak percaya. "Kau tidak bisa berbohong padaku, Mr.Park. Katakan apa yang terjadi," cecar nya. "Kau benar-benar akan meningggalkan wanita itu?" Ia bertanya lagi, dan hal itu kian membuatku pusing. "Jihye. Bisa kau keluar sebentar? Aku benar-benar sedang tidak ingin membahas ataupun berdebat dengan siapapun," ucapku mencoba memberikan pengertian. Tapi sepertinya usahaku gagal. Ia masih saja enggan untuk beranjak. Ia justru kini mendengkus dan bersedekap d**a. "Aku tidak peduli. Jawab aku sekarang." Dengan menantang Jihye duduk di atas meja kerjaku. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi takut atau khawatir jika ada orang lain yang memergoki aksinya kali ini. "Bisa kau turun dari sana? Saat ini kita sedang berada di kantor, tolong tunjukkan sikap profesional mu. Lagipula aku adalah atasan mu saat ini," kataku yang mulai merasa jengah. "Aku tidak peduli. Justru bagus, jika ada orang lain yang masuk ke dalam dan mendengar percakapan kita. Atau mungkin akan lebih bagus jika istrimu yang datang." "Kim Jihye!" Aku berteriak. Entah kenapa aku tidak suka saat ada orang lain yang meremehkan Hyeri. "Jaga bicara mu." "Kenapa? Kau masih saja mencintainya meski wanita itu telah berselingkuh darimu? Bahkan ia berselingkuh dengan teman dekat mu sendiri?" Amarah ku kian membuncah, hampir saja aku melayangkan sebuah pukulan ke arah Jihye sampai tanpa sengaja pintu ruangan ku terbuka dan menampakkan seseorang. "Hyeri." Kepalaku rasanya mau meledak saat itu juga. Semuanya, kacau. Apalagi saat aku melihat tatapan matanya yang begitu sayu. Kacau, semuanya kacau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD