Lupa Ingatan

1068 Words
Wanita itu hanya diam mematung di ambang pintu. Dalam dekapannya ada sebuah map merah yang tadi pagi kucari kesana-kemari. Ia tersenyum tipis, mendekat setelah menghembuskan napas lebih dulu. "Maaf menganggu. Aku hanya ingin mengantarkan berkasmu yang tertinggal," katanya sambil menyerahkan map merah tersebut. Aku hanya diam. Sudah sejak tadi perhatianku hanya tertuju padanya, perasaan bersalah itu tiba-tiba saja datang. "Kalau begitu, aku pulang dulu," katanya lagi. Ia kemudian berbalik dan beranjak, tapi aku tahu sebelum ia benar-benar berbalik dirinya sempat melirik ke arah Jihye yang entah sejak kapan sudah menggandeng tanganku dengan posesif. Sadar dengan situasi, cepat-cepat ku lepaskan tautan tangan Jihye dan hendak mengejar Hyeri jika saja tanganku ditahan oleh Jihye lebih dulu. "Kamu mau ke mana?" tanya nya. Tanpa mengatakan apapun ku hempaskan tangannya dan guna mengejar Hyeri yang ku yakini masih belum jauh dari sini. Benar saja, saat aku berjalan ke luar perusahaan aku bisa melihat Hyeri yang tengah berjalan cepat sembari menghapus air matanya sendiri. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku terus memaki dalam hati. Langkah ku terasa kian cepat. Kini aku menyadari sesuatu, apa yang ku lakukan selama ini adalah salah. Menjauh dari Hyeri bukanlah sebuah solusi, yang ada hanya kian menambah masalah. Dan saat ini, akan ku selesaikan semuanya dengan cepat. Hyeri menyeberang jalan, namun disaat bersamaan ada sebuah truck pengangkut barang yang melintas. Tanpa pikir panjang aku segera mendorong tubuh kecilnya ke arah trotoar, hingga tanpa sengaja tubuhku terpental karena bersenggolan dengan truck tersebut. Aku tidak bisa merasakan apapun, rasanya seperti mati rasa. Yang bisa ku ingat saat itu hanyalah, kepalaku yang terasa berkunang, juga jeritan Hyeri dan beberapa orang lainnya sebelum semuanya menjadi gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Saat aku membuka mata, yang ku lihat hanyalah langit-langit kamar berwarna putih dengan ruangan berbau obat-obatan yang cukup menyengat. Saat aku berusaha untuk duduk, rasa nyeri pada kepala begitu menggangu. Juga selang infus yang entah sejak kapan menancap di tangan kiriku. Aku menatap sekeliling, sampai perhatian ku tertuju pada seorang wanita yang tengah tertidur di samping ranjang dengan dua lengannya yang ia jadikan bantalan. Aku mengamatinya sejenak, melihat dengan seksama siapa kira-kira wanita ini. Tapi sepertinya aksi ku malah membangunkannya. Ia menatapku dengan terkejut, terpaku selama beberapa saat sebelum kemudian air mata mulai turun membasahi pipinya. Dia menangis. Aku cukup panik dibuatnya, ku coba menenangkan sebisanya tapi yang ada ia kian hebat menangis. Aku jadi kebingungan sendiri. "Syukurlah, kamu bangun. Aku takut, aku minta maaf." Ia berkata dengan sesenggukan. Aku yang tidak mengerti apa maksudnya hanya bisa terdiam, kenapa ia meminta maaf? Cukup lama ia menangis, baru setelahnya ia teringat untuk memanggil seorang dokter. "Kondisi Tuan Jinyoung sudah lebih baik dari sebelumnya, hanya perlu melakukan beberapa pemeriksaan dasar dan sudah boleh kembali ke rumah," jelas pria dengan jas putih tersebut. Setelah dokter dan perawat mempermisikan diri, wanita itu dengan cepat menggengam tanganku. Wajah sembabnya masih saja terlihat jelas, dan entah kenapa hal itu justru terlihat menggemaskan. "Maafkan aku, semuanya terjadi karena aku." Ia berkata dengan kepala tertunduk. Aku tidak mengerti, kenapa ia meminta maaf? Dan sebenarnya, siapa dia? "Maaf Nona. Tapi aku benar-benar tidak mengerti, siapa kamu dan kenapa kamu meminta maaf? Lalu, aku kenapa? Dan di mana keluargaku, kenapa hanya ada kamu. Atau hanya kamu keluarga ku?" tanyaku runut. Jujur saja aku tidak tahu, atau mungkin lupa. Yang jelas, aku begitu penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku sebelumnya. "Kamu mengalami amnesia setelah kecelakaan lima hari yang lalu, dan setelah itu kamu mengalami koma dan baru tersadar hari ini." Jujur saja aku terkejut bukan main. Itu artinya, aku baru saja terbangun dari koma? "Lalu … siapa kamu?" Wanita itu diam, dia hanya memperhatikan ku dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ada yang salah dengan pertanyaan ku? "Kenapa kamu menangis?" Aku mencoba menghapus air matanya, namun sialnya infus ini menghalangi langkah ku. Ia dengan cepat menghapus air matanya sendiri, tersenyum tipis dan menjawab. "Aku …, aku adalah istrimu," jawabnya dengan suara lirih. Aku mengernyit, kenapa ia terlihat ragu-ragu? "Benarkah?" Bukannya aku tidak percaya. Oke, sebenarnya sedikit. Hanya saja penyampaiannya yang tampak ragu membuatku turut merasakan hal yang sama. Ia hanya mengangguk. Baru saja mulutnya terbuka, suara dobrakan pintu membuat kami berjingkat karena terkejut lebih dulu. *** Seorang wanita dengan gaun pendek berwarna maroon itu mendekat dengan wajah angkuhnya. Siapa lagi? Aku tidak mengenalnya. Ia menatap ke arah perempuan yang sejak bersama ku dengan pandangan remeh, belum lagi tatapannya yang terlihat begitu sinis. "Dia memang istrimu. Tapi kalian dalam proses cerai," ia berucap dengan lantang. Satu hal lain yang mengejutkan ku hari ini. Kenapa? Kenapa kami bercerai? Ia menggeleng pelan, tatapannya seolah mengatakan jika apa yang wanita maroon katakan itu tidaklah benar. "Jika kamu ingin tahu, alasan kalian bercerai adalah karena dia," si wanita maroon menunjuk ke arah wanita lainnya. "Berselingkuh dengan sahabat baikmu sendiri. Dan satu fakta lainnya, keberadaan mu di rumah sakit ini hingga koma selama lima hari adalah karena kamu yang ingin memperbaiki hubungan kalian, sampai rela mengejarnya yang pergi bersama selingkuhannya itu dan kemudian tertabrak kendaraan," jelasnya lagi. Aku langsung mengalihkan pandangan ku ke arah wanita dengan cardigan berwarna coklat itu. Ia kembali menggeleng, air mata itu sudah turun dari pelupuk matanya. "Kenapa? Kamu tidak percaya? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Jinyoung. Aku tidak ingin kamu terus dikelabuhi oleh wanita licik seperti Hyeri," kata si wanita maroon lagi. Semakin memikirkannya kepalaku justru terasa pening, seperti ada sesuatu yang berdengung keras dalam telinga. Aku merintih kesakitan, si wanita cardigan atau Hyeri segera beranjak, tidak lama kemudian ia kembali dengan seorang dokter yang langsung memeriksa keadaan ku. *** Beberapa hari berlalu, wanita maroon yang ku tahu bernama Jihye masih sering datang. Juga Hyeri yang setia merawatku setiap hari. Aku tidak tahu siapa yang benar semenjak pertengkaran hari itu, yang jelas aku bersyukur dengan adanya Hyeri di sampingku. Wanita itu begitu mengerti diriku dan kebutuhan ku. Aku jadi ragu, apa ia benar-benar telah berselingkuh dariku? Hyeri baru saja kembali dari kamar kecil saat ia terkejut mendapati Jihye sudah ada di sana. Iya, memang beberapa saat yang lalu wanita itu datang dengan alasan ingin menjemputku pulang. Ia dengan segera merebut tas yang dibawa Hyeri saat itu. Berjalan cepat dan hendak menarik tanganku untuk ikut bersamanya. Aku bergeming, melirik sekilas ke arah Hyeri yang hanya menunduk dengan wajah memerah. "Jinyoung, ada apa? Ayo pulang," katanya. Aku menggeleng, ku ambil lagi tas yang ada di genggaman Jihye dan mendekat ke arah Hyeri. "Aku akan pulang bersamanya." Entah. Aku hanya menuruti kata hatiku saja saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD