Act 17-1

1231 Words
                                                                                      By The Fire Ari Waktu kian berlalu, jam tanganku kini menunjukan pukul 04:15. Tak lama lagi, mentari akan menggantikan api dari barat daya ini dalam menerangi hari. Kami telah melampaui kota Cianjur, dan sedang menyusuri jalan nasional yang menghubungkan dua kota. Jalan di sini mulai padat, tak seperti di kota Cianjur yang kini menjadi kota mati, secara harfiah. Di kedua sisi jalan dipenuhi oleh mobil yang ditinggal begitu saja dengan pintu terbuka, dan semuanya mengarah ke kota Sukabumi. Tampaknya, semua orang mencoba masuk dan tak ada satupun orang yang ingin meninggalkan kota pusat evakuasi tersebut. Hanya bagian tengah jalan yang kosong dan bisa kami tempuh, Wisnu bilang fungsinya untuk jalur kendaraan darurat. "Menurut lo kenapa ini?" tanya Baron. "Macet kali ya, antri panjang gini... Akhirnya pada frustasi, panik, terus jalan kaki deh. Kita udah hampir 1 kilometer loh ini, gak abis-abis antrian yang mau masuk Sukabumi," tebakku. "Gimana kalo... Ada gelombang recs dari Cianjur, terus mereka panik dan berhamburan keluar?" sahut Reka. "Duh, maaf ya Bar... Abis kaya di film-film sih kalo liat kaya begini." "Kalo karena recs, kenapa gak ada mobil yang berantakan? Maksud gue, kenapa gak pada nyoba berhamburan keluar jalan aspal dulu pake mobil? Ini rapih gini loh antriannya," terka Baron. "By the way... Iya santai Rek, inget yang tadi gue bilang." "Kriit!" Wisnu menginjak penuh rem secara tiba-tiba, efek inersianya mendorong tubuh kami ke depan. "Aduh! Kenapa?" Tanyaku yang terkejut, aku sedang menoleh ke belakang dan berbincang kala ia menginjak pedal rem. "Oh... Crap," keluh Baron. "Jangan liat... Jangan liat...." Oceh Wisnu, melihat apa yang ada di depan kami. "Aaah sial! Senjata, senjata! Siapin semua senjata!" perintahnya.                                                                                             ***** Sely "E-eh!"  "Dug!"  Ibu membentur dasbor mobil, beruntung sikut kanannya melindungi kepala. Seisi mobil pun terdorong ke depan, kala Ayah menginjak rem secara mendadak. "Bikin celaka banget sih ngeremnya si Wisnu?" omel Ayah. Semakin mendekat ke Sukabumi, semakin tebal pula kabut asap asap kebakaran besar yang sedang kami hampiri. Jarak pandang yang pendek, memaksa Ayah untuk bereaksi cepat saat mobil yang ditumpangi Ari berhenti mendadak. Sangat sulit untuk melihat apa yang ada di depan mobil Ari, bahkan mobilnya pun terkadang tampak seperti siluet dari sudut pandang kami. "Udah tau asepnya tebel begini... Padahal udah dikasih tau, nyalain aja lampunya kalo udah deket ke titik api. Tapi pada ngey–" Oceh Ayah yang kemudian terhenti. "Ya ampun... Rom? Gi- Gimana ini." Ucap Ibu dengan terbata-bata. Kabut asap di depan kami perlahan memudar, siluet puluhan tubuh dan kepala yang memadati jalan mulai tampak. Semakin tipis kabut, semakin banyak siluet yang terlihat... Kami berada tepat di belakang gelombang besar recs. "Enggak lagi..." pikirku. Aku menoleh ke samping kanan tempat Dinda dan Fitri duduk bersamaku, mata mereka terbuka lebar dan terpaku ke depan. Tangan Fitri menggenggam erat sandaran kursi pengemudi, wajahnya seakan ingin merintih. Dinda menyadari itu, lalu segera merangkul kepala Fitri ke pundaknya. Aku mengalihkan pandangan ke depan, dan melihat Ibu baru saja memasang sabuk pengamannya, lalu telapak tangannya yang tersisa menggenggam paha Ayah. "I-ini... Kita kejebak?" tanya Dinda. "Gaak. Gak lagi," jawab Ayah. "Aduh, Rom keluarnya gimana ini? Kebelakang juga gak keliatan." Kata Ibu sambil menoleh ke bagian belakang mobil. "Yah, itu mereka udah mundur!" Seruku, melihat mobil Ari mulai bergerak ke belakang sementara puluhan recs mulai mengincar mobilnya. Ayah pun segera mengganti gigi ke R, lalu menginjak pedal gas dan membawa kami mundur tanpa bisa melihat apapun.  "Aldi, Arfan, buka aja coba pintu belakangnya! Kalian senterin ke belakang biar bisa liat," perintah Ayah. Mereka bergerak secepat yang otot mereka mampu lakukan. Aldi menjaga kesejajaran pintu belakang agar tak terbuka terlalu lebar, dan beresiko menabrak mobil lain yang terbengkalai. Sementara Arfan bersandar di seberang Aldi, menyorot dua senter ke belakang untuk memperjauh jarak pandang. Mobil kami bergerak mundur sedikit lebih cepat, menembus kabut asap yang semakin lama kian memenuhi kabin mobil. Paru-paruku mulai terasa sempit, tatkala kami dikejar gerombolan recs untuk kesekian kalinya. "Itu ada celah!" Seru Aldi, setelah kami berjalan mundur selama entah berapa menit. Ketegangan ini melepaskan perhatianku pada waktu. "Yah, ada celah di kiri mobil!" Ujarku, menyamambung laporan Aldi. "Oke, oke keliatan." Balas Ayah, sambil fokus melihat ke belakang. Kami tepat berada di celah yang ada di sisi kiri mobil, cukup sulit mencari ruang di antara antrian panjang kendaraan yang sebagian besar berplat B ini. Ayah mulai memutar stir secara hati-hati, menempatkan mobil kami di antara dua kendaraan terbengkalai yang berjarak. "WRAAARGH!"  Raungan belasan recs yang tiba-tiba muncul dari sisi jalan sesaat kami memasuki celah ini. "Aah! Anj–" umpat Aldi. "Aldi!" jerit Dinda. "Tembak, tembaaak!" jerit Aldi. "Dar! Dar!" Arfan melepaskan tembakan, sementara aku dan Dinda berusaha meraih pistol kami.                                                                                            ***** Ari  “E-eh, berhenti! Mereka mau puter balik,” ucap Baron. Hampir bersamaan dengan ucapannya, tubuhku sedikit terdorong ke belakang tatkala Wisnu menginjak pedal rem secara dadakan. (Bunyi letusan pistol) “Lah, kenapa itu mereka? Gak keliatan gini,” keluh Wisnu. “Wah, kacau!” kata Baron. “Kenapa?” Tanyaku dan Reka bersamaan. Kabut asap tebal mengelilingi tiap jengkal ruang di sekitar kami, membatasi jarak pandang kami pada radius satu meter. Baron duduk di kursi belakang sebelah kiri, memberinya pengelihatan yang sedikit lebih jauh dari siapapun di mobil ini. “Recs pada mau terobos masuk lewat pintu belakang, dan pintunya kebuka. Crap, ayo lah kita bantu!” Balas Baron, lalu menyiapkan senapannya dan menarik gagang pintu. “Eh, tunggu dulu!” Tahan Wisnu yang segera menyusulnya. “Kalian bertiga handle mereka, gua siap-siap di sini buat tahan yang di sana.” Ujar Wisnu, jarinya menunjuk ke depan mobil kami. “Oke!”– Baron mengacungkan tangan dan ibu jarinya pada Wisnu –“Ri, kita maju bareng! Reka, tetep di belakang kita dan lindungin sisi belakang ya?” perintah Baron. Aku dan Reka tak mengucap balasan, anggukan kepala rasanya sudah cukup. Sensasi membakar pada kulit segera terasa sesaat kami menginjakan kaki di luar, hidungku tak mampu mencium bau lagi, kelopak mataku pun enggan membuka lebih dari satu detik, sementara paru-paru rasanya kian menyempit dalam tiap tarikan nafasku. Semakin lama berada di tengah kabut asap ini, tampaknya dapat mendatangkan ajal lebih cepat dari yang seharusnya. “Dar! Dar!” Bunyi tembakan kembali timbul dari dalam mobil yang dikendarai Ayah, jerit histeria di latar juga mengiringi. Ayah beberapa kali memacu mobil itu, namun sesuatu menahan mobil mereka untuk maju. Bunyi logam yang beradu terdengar nyaring tiap kali ia berusaha mengeluarkan mobilnya dari sana. Kami tiba di sisi kiri mobil tua itu, belasan recs tampak menumpuk di pintu belakang yang terbuka, dan berusaha meraih siapapun yang ada di sana. Beberapa recs menyadari kehadiran aku, Baron, dan Reka, mereka sontak menghampiri kami melalui celah sempit di antara mobil Ayah dan mobil kapsul lain di depanku. Laras senapanku segera mengarah pada kening salah satu recs. “Dar!” Tembakan pertama meletus dari senapan Baron, menjatuhkan recs yang barusan kubidik. Pisirku pun segera bersejajar dengan kening recs lain, tembakanku dengan cepat melubangi kening dan merubuhkannya. Tembakan demi tembakan terus terlontar, tumpukan tubuh recs yang kami tembak kini menghentikan laju mereka melalui celah di antara mobil. “Dug!” “Oi!” Panggilku sambil menggedur jendela pintu tengah. Sely segera membuka jendela, memberiku pandangan lebih jelas pada suasana di dalam mobil. Aldi dan Arfan berada di bagian belakang mobil, menempel serapat mungkin pada kursi tengah untuk menghindari tangan-tangan recs. Dinda tampak merangkul tubuh Aldi dari kursi tengah, sementara pistol mereka saling bergantian menghujam belasan recs di b****g mobil mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD