Act 17-2

1614 Words
Ari “Kalian gapapa?” Tanyaku pada Aldi dan Arfan. Mereka tak membalas, seluruh perhatian mereka terfokus pada apa yang ada di belakang mobil. “Gapapa kok mereka,” jawab Sely. “Hampir kegigit aja tadi si Aldi, tapi selamat kok. We took care of him.” (Kita udah urus dia,) Terangnya sambil menunjuk mayat lelaki yang tergeletak di hadapan Aldi, dengan pisau yang menancap di kepalanya. “Bisa jalan lagi gak?” Tanyaku sambil menatap Ayah di bangku kemudi. “Gak bisa, ini pintu belakangnya ada yang kesangkut sama mobil di kanan…” jawab Ayah. “Kalian urus recs di belakang ya! Lindungin aja.” Perintahnya, lalu segera bersiap keluar dari mobil. “Eh Rom, mau kemana?” tanya Ibu. “Lepasin yang kesangkut. Emang mau apa lagi?” Jawab Ayah dengan nada muak. “Woy kalian, stop! Stop!” Ujarku pada keempat bersaudara. Sely menepuk mereka satu per satu, setelah lagi-lagi ucapanku tak terhirau. Kabut asap ini nampaknya mulai membuat mereka terdisorientasi, aku yakin tak lama lagi akupun seperti mereka akibat terlalu banyak karbondioksida dan racun yang tersuplai ke otak. “Fokusin tembakan kalian ke sisi sana,”–Aku menunjuk ke sisi kanan mobil, di mana pintu belakang mobil tersangkut–“Lindungin bokap gue dari recs. Ini yang ketumpuk di belakang mobil biar gue yang urus!” saranku. “Denger gak?” Tanyaku kembali, lantaran mereka tetap memandangi meski kalimatku telah usai. “Denger kan?” sahut Sely. Dinda mengangguk, diikuti ketiga saudaranya yang lain. Sely paling dulu membidik, satu recs yang menjulurkan tangannya dari pintu belakang yang tersangkut ia tembak, menerobos dua kaca yang berbeda. Tak lama, keempat bersaudara mulai mengarahkan tembakannya sesuai yang kusarankan. Sementara itu aku dan Baron merubuhkan satupersatu recs, membuat dinding dari tumpukan mayat tepat di belakang mobil. “Aduh, aduh!” jerit Arfan. “Kenapa Fan?” tanya Fitri. “Udah dulu nembakinnya! Kasih tau mereka, ini gue keujanan beling!” keluh Arfan. Aku pun menepuk pundak Baron dan memberi isyarat untuk berhenti, sebelum Fitri mengulang ucapan Arfan. Belasan peluru yang kami tembakkan menembus kaca mobil rupanya membawa petaka kecil pada Arfan yang bersandar di sisi kiri mobil. “Dzt! Dzt! Dzt!” Suara senapan berperedam Wisnu terdengar begitu aku dan Baron berhenti menembak. (Bunyi langkah kaki mendekat) Aku menoleh ke arah mobil temuanku. “Udah belom? Lebih lama lagi kejebak di sini, kita bakal masuk neraka beneran!” seru Wisnu. Tembakan bertubi-tubi pun ia lontar kembali, sementara siluet ratusan recs nampak dari balik tebalnya kabut asap, dan kian mendekat. “Dug!” Bunyi pintu mobil tertutup. “Beres! Cepet, balik ke mobil kalian… Kita jalan sekarang!” seru Ayah. “Brrum… Pluk, pluk.” Mobil kijang itu terbebas dari himpitan mematikan, belasan mayat yang kami tembaki sejak 5 menit terakhir pun jatuh berhamburan. Kami bergegas masuk ke mobil sedan, belasan recs kembali mengalir dari tempat di mana mobil Ayah tersangkut. Sementara itu, gelombang besar recs sudah tampak jelas wujudnya di hadapanku. “Gas yok!” Seru Baron pada Wisnu, sambil membuka masker yang sejak tadi ia pakai. “Mundur lagi kita…” oceh Wisnu. “Ikutin lampu belakang mereka aja,” balas Wisnu. Mobil kijang yang dikemudikan Ayah mulai bergerak maju, Arfan dan Aldi pun menyorot senter pada kami. “Nah itu tuh mereka nyalain senter, keliatan kan?” Tanyaku pada Wisnu. Ia membalas dengan anggukan kepala, sambil terus menoleh ke belakang dan menggeser verseneling ke-R. “Aaagh, about time!” (Aaah, akhirnya!) Seru Reka, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang dan memejamkan mata. “Gila ya?” ujar Baron. “Parah. Udah pusing banget gue! pandangan mulai gak jelas, ubun-ubun kaya mau terbang. Lima menit lagi aja di sana, pasti pingsan deh,” keluh Reka. “Lima menit lagi masih di sekitar sinipun, kita bakal tetep pingsan sampe mati keracunan. Tutup jendela keracunan, buka jendela juga keracunan…” sambungku. “Lagian kenapa pula sih kita bisa ngira kalo terobos kebakaran besar kaya gitu,”–Baron menunjuk ke arah Sukabumi–“adalah ide bagus? Ah, apa harapan gue buat ketemu keluarga gue ganggu penilaian objektif gue?” ujar Baron. “Bar, di titik ini… Gak ada satupun dari kita yang judgement-nya gak berkabut,” balas Reka. Kami terus berjalan mundur, sambil mengikuti cahaya dari mobil Ayah. Aku harap, Wisnu tak terlanjur pingsan karena keracunan asap saat kami masih berjalan mundur begini. Dengan sisa energi yang kupunya, aku berusaha fokus menilai keadaan sekitar secara terus menerus, membantu Wisnu menghindari halang rintang yang mungkin muncul dan dapat membahayakan nyawa kami. “Hoeeek, Cuh!” “Uhuk-uhuk.” Hanya suara-suara itu yang kudengar begitu melangkah keluar dari mobil. Kedua lututku segera menyentuh aspal. Dunia di sekelilingku terasa sempit dan berputar begitu cepat, bagai berada dalam mesin cuci yang menyala. Aku memejamkan kedua mata, lalu berusaha mengatur nafas yang menghembus tak teratur. Perlahan mengambil alih tempo… Hingga semakin banyak udara yang masuk melalui rongga hidungku dalam tiap hembusan. Aku kembali membuka mata, dan kini pandanganku sedikit membaik. Dengan pandangan yang masih agak kabur dan sensasi panas yang tak kunjung hilang di kerongkonganku, aku berusaha kembali berdiri. Semua orang mengalami fase yang sama denganku, Baron bahkan terkapar di belakangku. Aku berusaha melangkah ke depan untuk menemui Sely dan Ibu, dengan tubuh yang masih sempoyongan. “Sel? Bu?” Panggilku, sambil melewati Aldi dan Arfan yang sedang memuntahkan isi perut mereka di belakang mobil mereka. Sely sedang memeluk Ibu yang masih duduk di bangkunya, entah kenapa jantungku tiba-tiba berdebar lebih cepat. Sely menatapku, lalu menghampiri dengan wajahnya yang kusam, dan rambut pun seperti orang tersetrum. “I’m okay. Mom’s fine too, don’t worry.” (Aku gak apa-apa. Ibu juga, jangan khawatir.) Bisiknya, sambil memelukku dengan pakaiannya yang sudah lusuh. Kedua ujung bibirku melebar mendengarnya, tersadar keluargaku masih cukup utuh setelah semua yang kami lalui. “Pengen nerjang kebakaran besar gitu ternyata gak cerdik-cerdik banget ye?” Ucapku dengan nada meledek. Sely tertawa kecil dan berkata,   “Emang enggak… Kayanya ini ide super jelek pertama yang pernah kita ambil bareng-bareng.” “Bukan kayanya sih, emang iya. Bikin gue mikir deh, apa iya kita seputus asa ini?” ujarku. “Aaargh!” Bentak Ayah, sebelum Sely sempat membalas. Semua pandangan pun mengarah padanya, ia berjalan ke sana ke mari di antara dua mobil kami. “Kalo kita gak kaya pecundang, pilih lari dari gerombolan teroris liar itu… Kita gak bakal ada di sini, berusaha terobos kebakaran massal kaya orang bego!” omel Ayah. “Udahlah, mas. Kaya kita punya pilihan lain aja di sana….” Balas Wisnu sambil bersandar di kap mobil sedan. “Pilihan? Pilihan ada banyak, yang gak kalian punya itu keberanian!” balas Ayah. “Lu pikir tinggalin mayat kawan lu yang sejak akademi bareng terus, gak butuh keberanian? Hati-hati kalau ngomong ya,” jawab Wisnu. “Cukup!” bentak Baron. “Maaf ya mas Romi, kayanya kita gak butuh racun lagi saat ini. Emang keracunan asap kebakaran sebesar itu belom cukup apa?” omelnya. “Ya, ya, ya… Kalau dari awal kita gak sia-siakan bentengnya Wisnu, kita gak bakal keracunan begini juga. Aargh! Andai aja kalian dengerin saya… Kenapa pada gak mau dengerin saya? Dari awal… Dari awal semua ini, gak ada yang mau dengerin. Keluarga sendiri pun enggak!” Omel Ayah, lalu memutar tubuh dan wajahnya ke arahku. “Kamu…”–Ayah membidik jari telunjuknya padaku–“Kalo kamu dengerin, kita gak bakalan ada di sini! Anak saya, gak bakalan MA-TI!” ucapnya. Sely menatapku, yang terperangah menyaksikan Ayah kembali pada sifat khasnya. Darah dalam pembuluh darahku rasanya akan matang, semua beban yang tertumpuk sejauh perjalanan ini ingin ku ledakan saat ini juga. “Sekarang apa? Istri saya juga kamu potong tangannya?” lanjut Ayah. “Ba-ji–“ “Apa? Bajigur? Pfft. Dengerin ya, Yah… Selama ini Ayah selalu merasa punya kuasa, ngomel seenaknya tanpa mau denger pandangan orang. Selama ini egonya dipuasin mulu, nih sekarang aku bales ngomong.” Ujarku, memotong ocehan Ayah. “Sadar deh, Yah! Aku harus bikin pilihan, dan sampe sekarang pilihanku gak bikin aku atau Ibu mati tuh? Coba pikir pake akal sehat… Kalo kita semua ikutin Ayah dan masuk ke mobil itu, gak cuma Aji doang yang bakal mati. Bisa mi–“ Sebuah tangan menepuk pundak kiriku, aku pun menoleh ke belakang. “Jangan… Udah cukup. Istirahat aja, biarin Ibu yang bicara.” Kata Ibu, sambil menatapku dengan tangannya yang terkait perban di bawah d**a. Aku cukup mengangguk, lalu mundur beberapa langkah dan membelakangi mereka. “Kalo dulu gue bisa milih, gue gak akan setuju Ibu sama dia….” Ujar Sely, ia mengikutiku untuk menjauh dari Ayah dan yang lainnya. Aku tersenyum kecil dan membalas, “Coba aja bokap kita macem Deddy Corbuzeir ya?” “Lah, gak mau. Kontroversial,” balas Sely. “Iya, tapi lo bisa lihat kalo dia jadi sosok Ayah tuh kaya gimana? Gabungin itu sama badannya yang keker, gue yakin survival rate kita naik 30-50% hehe.” “Jadi kepikiran… Dia sama public figure terkenal lain, di mana ya sekarang? Apa masih pada selamat?” Celoteh Sely, dengan wajah yang cengar-cengir. “No idea. Sialan, nasib diri sendiri, nasib kita sekarang aja gak tau,” (Gak tau.) balasku. Kami terhening, obrolan kecil tadi tiba-tiba menguap. “What do we do now?” (Mesti apa kita sekarang?) tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku tanpa menjawab, kedua mataku terpaku pada kobaran api raksasa yang memisahkan kami dengan Sukabumi. Pada detik ini, aku dan adikku merasa hampir tersesat. Yang bisa kami lakukan hanya memandangi api itu dari jarak aman, menyerahkan nasib pada ruang dan waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD