Act 11-2

820 Words
Ari Aku membuka selaput mataku, bau busuk menyerbak masuk ke rongga hidung, kulitku mati rasa. Hal terakhir yang ku ingat sebelum terpejam, aku berada di dalam sebuah kantung tidur, melelapkan diri setelah hari yang panjang. Aku menoleh ke kanan, semua orang menghilang, tempat yang padat ini berubah menjadi hampa, bahkan hembus angin tak dapat kurasakan. "Enggh," gumamku. Aku menyadari ada yang aneh, sekujur tubuh tidak bisa kugerakan kecuali kepala dan leher ini. Mulutku terbuka dengan sendirinya, tenggorokan seperti terkunci tak mampu bersua. Dadaku tiba-tiba terasa berat dan panas. Sejurus dengan segala upayaku menggerakan badan, kepala kutolehkan ke kanan dan kiri. Sesosok hitam berdiri di balik pohon pisang di  sebelah kiriku. Tubuhnya tegap, tidak ada yang bisa kulihat darinya kecuali bentuk humanoid. "Aggh! Aggh!" Mulutku terkunci pada posisi terbuka, tak bisa mengeluarkan sepotong katapun. Sosok itu mulai berjalan ke arahku, aku berusaha menggerakan badan sekuat mungkin. "AAAGH!" Mulutku tak lagi terkunci, aku sontak membalikan tubuhku menghadap ke tanah. Tanganku meraba-raba ke samping, mencari senapan MCX yang kusimpan tepat di sebelah kantung tidurku, di antara aku dan Baron. Aku segera berdiri setelah meraih senapan itu, lalu memutar tubuh dan mengarahkan laras ke sosok tadi. "What the hell," Ucapku, menyadari sekelilingku. Mayat hidup dimana-mana, orang-orang di sekitarku digerogoti dalam tidur. Jerit ketakutan dan tangis tiba-tiba merasuki gendang telingaku, kesepian sontak berubah jadi keramaian yang mengerikan. "AAH!!" Pekik suara tak asing yang berasal dari arah datangnya sosok hitam yang kulihat tadi. Sesosok mayat hidup menimpa Fitri, ia berusaha menggigit lehernya. "Dinda! Awas minggir!" perintahku.  Dinda yang tidur di sebelah Fitri langsung terbangun mendengar jeritannya, gesturnya nampak linglung. "Ah sialan," gumamku. Posisi kepala mayat hidup itu dengan Fitri terlalu berdekatan, bidikan bersih tidak tersedia untukku. Dag! Reka muncul entah darimana, menghantam kepala mayat itu dari samping dengan palu. Mayat itu terkapar, Reka kembali menghantam keningnya hingga tengkoraknya pecah ke dalam. "RI!" panggil seseorang. "Jangan pake tembakan!" Bentak Baron dari belakang, yang sedang berusaha mencabut pisaunya dari kepala mayat. "SELY! SELY!" Suara Ibu memanggil Sely. Aku menoleh ke Ibu yang berada dekat dengan Baron, ia dan Ayah pun sedang bertarung mempertaruhkan hidup mereka melawan mayat hidup, yang entah datang dari mana. "ARI! ITU SELY!" Jerit histeris Ibu, sementara kedua tangannya sedang menahan tubuh mayat hidup di depannya. Aku mencari Sely di antara gelap malam dan kericuhan ini, bermodal arah wajah Ibu ketika ia memanggilku. "SEL!" Panggilku ketika melihatnya Sely tampak membeku. Dia berdiri, terdiam tanpa menggenggam senjata apapun, pandangannya terpaku pada sesosok mayat anak kecil. Mayat hidup kecil itu berjalan tertatih-tatih mendekati Sely, tanpa ada sedikitpun perlawanan dari Sely. Dar! Tembakan pertamaku merobohkan mayat anak kecil itu. "Ri! Senjata!" tegur Baron. "Persetan." Gumamku tanpa menghiraukan Baron, lalu berlari menghampiri Sely. Aku menggenggam kedua pundak Sely, dan mengarahkan tubuhnya kepadaku. "Sel!" Bentakku dengan suara tinggi. "Lu gila? Kenapa diem aja?!" Omelku, tanpa dihiraunya. Ia tampak seperti orang yang kesurupan, wajah dan bibirnya pucat, matanya memandang ke kejauhan tanpa melihat ke mataku sedikitpun. Aku menggenggam kedua pipinya dengan tangan kiriku dan menggoyang-goyangkan kepalanya. "SEL!" Panggilku tepat di depan wajahnya. Matanya tiba-tiba memandangku, ekspresi terkejut nampak pada wajahnya ketika ia memandangku. Ia lalu melihat ke sekitar dan segera menyadari kekacauan ini. "Sel lo kenapa!" Ujarku sembari menggoyang tubuhnya. "Eh? Eng... Engga." Jawabnya terbata-bata sementara tangannya meraih pistol yang tersimpan di tas pinggangnya. Sore tadi, kami membagikan senjata yang kami rampas. Kesepuluh dari kami kini memegang senjata masing-masing, dari senapan, shotgun, dan pistol. "Jangan pake pistol." Perintahku sambil menahan tangan kanannya. "Liat sekitar, bisa bedain nembak orang sama nembak mayat gak?" Ujarku khawatir dengan kondisi setengah sadarnya. Aku mengerti mengapa Baron tidak menganjurkan menggunakan senjata api, orang dan mayat hidup berbaur dalam kesesakan di sekitar kami. Melihat kondisi Sely, ia bisa salah memuntahkan peluru ke kepala orang ketimbang ke kepala mayat hidup. Lebih mengkhawatirkan lagi jika orang pertama yang ia bunuh bukan sebagai pertahanan diri, tapi kelalaian. Hingga saat ini, Sely belum membunuh satupun orang. Tembakan yang dia lontar pada bandit dan polisi hanya melumpuhkan, dengan sengaja diarahkan ke kaki dan rompi. "AAAH TOLOONG!" Jerit seorang wanita seumuran Ibu. Ia terjatuh di dekatku dan Sely, sesosok mayat hidup menimpanya. "MAH! MAH! TIDAK!!" Teriakan panik seorang lelaki yang tebakanku adalah suaminya, ia tak dapat membantu kekasihnya karena sesosok mayat hidup lain tengah berusaha menggigit dirinya sendiri. "Sel, bantuin Ibu sama yang lain!" perintahku. "Gue mau bantuin dulu." Ucapku sambil menjulangkan daguku ke arah wanita tadi. Sely segera menghampiri Ibu untuk membantu melindunginya. Pisau komando baru hasil jarahan kutarik dari sarung pisau di pinggangku, sambil menghampiri wanita itu. Brug! Aku menendang mayat hidup yang menimpanya hingga terlentang di sebelah wanita itu, lehernya lalu ku injak dengan kaki kanan sementara pisau ini ku angkat setinggi kepalaku. Srak! Bunyi bilah belati menembus tengkorak kepalanya mayat ini. Lelaki tadi benar suaminya, ia pun menghampiri dan memeluk wanita yang kuselamatkan. Lelaki itu memandangku, lalu menganggukan kepalanya sambil tersenyum, aku tentu membalas senyumnya. Lima orang lain menghampiri mereka berdua, yang tak lain adalah keluarganya. Aku segera menghampiri Ibu dan yang lain untuk bergabung. Mereka telah membentuk formasi lingkaran dan menyingkirkan semua mayat hidup yang berupaya menyerang dari segala arah. "Mantap, efektif banget." Sebutku dalam hati, sementara aku bergabung melengkapi formasi. Aku melihat kelompok penyintas lain juga mengadopsi strategi ini, meski sebagian lain ketar-ketir tak terarah dikejar mayat hidup. Melihat kelompokku sendiri, satu persatu menumbangkan mayat yang menghampiri. Belasan mayat menumpuk di sekitar kami, meyakinkanku pada potensi kemampuan orang-orang di kelompok ini ketika kami bekerja sama.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD