Act 11-1

1240 Words
                                                                                    Truth May Hurt Sely Perlahan, kami berjalan keluar dari rindangnya pepohonan, menuju mobil kami. Api berkobar dari dalam mobil dan mengeluarkan asap pekat, sementara seluruh bagian luarnya telah menghitam. "Gimana cara kita pergi nanti," pikirku. Sepertinya polisi yang dikirim untuk mengejar warga, sengaja membakar seluruh kendaraan yang terparkir di jalan. Sebuah upaya bumi hangus, agar kami terjebak di sini. Kami berjalan dengan lunglai, hasil dari kelelahan berlari, bergerak kesana kemari menghindari para polisi. Jam tanganku kini menunjukan pukul 10:00, terik matahari yang bercampur dengan panasnya residu pertempuran, melelehkan keringat  dari poriku. Bau gosong yang menyengat pun memperburuk suasana di sini. Ibu tiba-tiba tersenyum, ia lantas mempercepat gerak kakinya. Aku menoleh ke arah pandangan Ibu, Ari dengan tubuhnya yang kusam berdiri di dekat sebuah pohon rindang, sebuah senyuman haru menempel di wajahnya. Aku turut menghampiri mereka, seraya Ibu memeluk Ari. Ari memandangku, lalu membuka tangan kananny, mengundangku ke dalam pelukan, yang segeraku terima. "Kapan terakhir kita pelukan begini?" Pikirku, mengingat seberapa lama kami bertiga sudah tak sedekat ini. Mungkin salah satu keindahan yang timbul dari kekacauan ini, ialah kembali menyadari seberapa berharganya sesuatu yang tak lekang dalam waktu: keluarga. "Bener deh kata Baron..." kata Ari. Ibu memandangnya, "Kenapa?" "Kayanya kita dapat banyak keberuntungan hari ini... Gak ada satupun dari kita yang harus setor nyawa... "–Ari melepas pelukannya–"Oh iya, kita menang," tambah Ari. Ibu mengusap wajah Ari dan aku, kedua ujung bibirnya terangkat menampilkan gigi putihnya. Sebuah analogi syukur untuk keselamatan kami dari pertempuran, sekaligus tiran. "Tapi, dia juga bilang ini mungkin kartu keberuntungan kita," tambah Ari. "Uhm, oke. Yang itu gak aku anggap." Balasku, berusaha optimis. "Hehe, yaudah... Semoga aja alam gak anggap omongan Baron juga,–Ari melangkah kebelakang, sambil menggerakan kepalanya sebagai ajakan–"Jadi... Dari satu sampai lima, seberapa gak apa-apa kalian?" celoteh Ari. "Dua setengah?" balasku. "Maaf, gak setuju." Sahut Reka yang menyusul kami bersama Dinda dan Fitri. "Berapa dong?" tanya Ari. "Bisa minus gak?" Balas Reka dengan nada satirikal khasnya, dan minim ekspresi. "Hm... Bisa aja kalo mau. Tapi gak usah gue tanya angkanya kali ya? Soalnya gue percaya, gak akan lama minusnya," jawab Ari. "Gak yakin...." Sahut Fitri sambil menoleh ke mobil kami yang telah hangus, kedua tangannya di lipat di atas perut. "Kitta bakal selalu ketemu jalan lain, gak perlu yakin atau gak yakin dulu sama apapun." Sahut Ibu dengan positif. Orang-orang di sekitar kami tengah bergotong royong, membangun kemah-kemah baru di atas puing-puing pertempuran. Sebagian orang menebang pohon di sekitar, untuk membangun hunian semi-tetap. Empat jam telah berlalu, tak terdengar lagi bunyi tembakan. Entah kemana sisa polisi pergi... Yang pasti opsi mereka antara lari, atau dibasmi. Aku agak heran kenapa kami tetap bertahan di luar, jika benteng polisi memang sudah terebut.  "Mungkin rusak parah dan perlu diperbaiki dulu kali ya?" Ujarku dalam hati. "Mel!" Aku menoleh ke asal suara panggilan. Ayah berjalan menghampiri Ibu, yang segera menyambutnya dengan pelukan. Arfan dan Aldi pun ada di sini, dan langsung dihampiri Dinda dan Fitri dengan wajah lega. Keempat bersaudara itu segera saling merangkul dalam lingkaran. "Sel." Panggil Ari, setelah berbincang dengan Ibu dan Reka. "Hm?" Sahutku, sambil mengangkat kepala. Ari mendekatiku. "Pas kita di dalem, kita ketemu orang yang katanya kenal sama lo masa," terangnya. "Siapa?" "Ga kenal, Wisnu namanya deh..." Alisku mengerut, sambil mengarahkan mata dan wajahku ke sebelah kanan atas. Aku berusaha memikirkan nama yang familiar itu. "Polisi," lanjut Ari. "Oh, dia...  Tau," balasku. "Berarti Ayah tau dong harusnya?" "Iya, makanya dia kita selamatin juga karena dia tiba-tiba sebut nama lo pas liat Ayah. Ayah juga tau dia sih," balas Ari. "Dia yang kasih senjata sama ransum?" imbuhnya. "Iya, dia juga yang selamatin kita waktu di Pasar Rebo... Berjasa juga dia buat kita." "Ckckck,"–Ari menggelengkan kepalanya–"Untung ga diberedet peluru duluan sama si Ayah," ujar Ari. "Hah?" Sahutku kebingungan. "Long story short, kita serbu bangunan yang mereka jaga, dan mereka nyerah. Kita hampir bantai orang yang salah. Untung aja peluru Ayah habis, kalo enggak udah dibunuh juga si Wisnu." (singkat cerita,) kisah Ari. "Lu gimana Sel?" lanjutnya. "Apanya?" balasku. "Ada kejadian apa aja? Kaya pada beda gitu vibe-nya." Aku bersandar ke pohon, menatap Ari. "Sely mah gak apa-apa, tapi..." balasku. "Apaan?" "It's mom..." (Masalah Ibu...) "What about her?" (Kenapa dia?) "Long story short, all sort of s**t just came right to us," (Singkat cerita, segala hal buruk menimpa kami,) balasku. "Pokoknya kita ditangkep polisi, dan Ibu diintrogasi habis-habisan..." "Terus?" "Ibu dicecar habis, Reka juga dilecehin parah." "Najis." Ari mengumpat. "Emang. Ibu kayanya udah gak tahan deh, meledak dia akhirnya. Dia nyerang polisi tiba-tiba, kita juga terpaksa ikut ngelawan dong? Akhirnya ya... Kita bunuh empat polisi, duanya sama Ibu. Pas kejadian, dia kaya beda banget gitu Ri, bukan Ibu yang biasa kita kenal." "Inner demon dia keluar?" (Iblis dalam diri) tanyanya. "Iya..."–Aku duduk di tanah, Ari mengikuti di depanku–"I looked into her eyes, she's just not there..." (Aku melihat ke dalam matanya, dia tidak ada di sana) "Pandangan kosong?" Ari heran. "Enggak, bukan... Semua roh Ibu yang kita tau kaya terbang begitu aja, kaya... Cuma sekedar tubuh dengan insting bertahan hidupnya," terangku. "What makes her a human, a mom... Gak ada di sana. Kaya kesurupan, tapi enggak juga." (Yang membuat dia jadi manusia, jadi Ibu,) "Duh, dia tuh baru kehilangan anak lima hari lalu, dan dipaksa hadapin ini semua. Gue jadi khawatir dia bakal kuat apa enggak... Dia meledak gitu, pasti kaya udah dikuasain sama ketakutan dia sendiri gak sih?" kata Ari. "Iya tau kepukul banget, kita semua juga kan?"  Balasku, lalu memalingkan wajah dari Ari, seraya ingatan akan mimpi burukli kembali menghantui. "I-iya... Kita juga, lo juga. Maksud gue... Mungkin meledaknya dia itu karena udah saking takutnya kehilangan satu lagi anak, pas kalian di sana, dan pas gua di dalem benteng." Aku kembali menoleh ke Ari. "Huh. Insting seorang Ibu yang ga bisa kita pahamin sampe jadi Ibu kali ya," lanjutku. "Iya kalo diliatnya begitu. Gue lebih khawatir dia bakal punya tendensi besar buat bunuh siapapun, yang dia anggap bakal ancam kita. Gue gak mau Ibu jadi pembunuh karena overprotektif." "Gue juga gak mau kalo begitu. Emang, menurut lo berapa lama dia bakal tahan, Ri?" "Gak tau. Tapi kita bisa bantu dia buat gak sampe titik itu." "Gimana?" "Jangan mati."–Ari menepuk lututku–"Gue bakal jagain lo Sel, kita mesti saling jaga ya? Gue usahain biar jangan sampai yang jelek-jelek nimpa lo." "Iya-iya. Berlaku buat berdua ya, Kak." Balasku, dengan panggilan yang sedikit jarang kami pakai sebagai saudara kandung. "Iyalah... For her sake." (Demi kebaikan Ibu) Jawab Ari, sambil memandang Ibu dan mengusap kepalaku. "Tumben banget 'kakak', biasanya songong. Efek kepala encer?" celotehnya. "Encer apa coba?" "Itu, rambut lo ih udah panjang, basah kuyup gitu."–Ari meraba-raba rambutku–"Panas banget pasti itu kepala ya?" "Ah, biarin!"–Aku memeras keringat bercampur minyak dari rambut panjangku–"Mau digimanain lagi dong? Semoga aja kenikmatan keramas masih bisa kita rasain," harapku. "Mending dipotong deh Sel," sarannya. Rambutku panjang, ujungnya mencapai bawah bahu. Hanya setangkai karet gelang yang mengunci rambut ini tak berterbangan ke segala arah sejak hari pertama. "Sama aja kali bakal lepek juga." Balasku menolak. "Yeeh, bukan masalah itu aja... Lo masih beruntung belum kejambak mayat lapar," jawab Ari. Ia mengingatkanku ketika di mobil bersama Ayah di Pasar Rebo, "Iya juga ya," pikirku. "Sebenernya... Udah pernah, waktu di Pasar Rebo..." sahutku. "Hah? Tuh, untung masih hidup lo, hoki jarang datang dua kali. Ayo sekarang gua potong!" Perintah Ari, sambil bangun lalu menarik lenganku. "Eh." Ari terhenti. Ia mengangkat dagunya, menyuruhku menatap sesuatu. Rupanya Baron sedang berjalan menghampiri kami, bersama wajah yang tak asing. "Si polisi," pikirku. Ia tersenyum, pakaiannya kini hanya sehelai kaus dan celana olahraga. Hampir seperti orang yang berbeda jika melihatnya di luar seragam dan rompi anti peluru. "Pagi..." sapanya. Postur tubuh Wisnu ramping dan seidikit berotot, dengan pundak tegap serta d**a yang bidang. Kulitnya coklat, wajahnya mirip vokalis band d'Masiv khas wajah orang Jawa, dengan rambut cepak. "Halo," balasku. "Bersyukur banget Saya ngebantu orang yang tepat." Ucapnya sambil menjabat tanganku. "Ini sih nyawa dibayar nyawa, secara harafiah dan positif haha." Aku tersenyum balik padanya. "Saya belum pernah ucapin apa-apa, loh Mas. Terima kasih, ya. Buat semuanya... Belum tentu kita bisa ada di sini kalau Mas gak bantu saya." Ujarku, lalu selesai berjabat. "Jangan panggil 'Pak' lagi ya nanti. Saya seumuran sama dia." Balasnya sambil merujuk ke Baron. "Wisnu, omong-omong." Lanjutnya memperkenalkan diri ulang. "Oh siap, mas Wisnu." Kami pun kembali pada aktivitas kami, aku setuju untuk memotong rambutku dengan Ari. Sementara yang lain, saling membantu dengan orang sekitar untuk membangun ulang kemah yang dirusak polisi.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD