Act 1-1

1739 Words
                                                                                        Yang Hilang Berbagai jalan kutempuh, berkali-kali memutar arah, mengelilingi jalan, mencari jalur lain yang tak ditutupi kerumunan mayat berjalan. Beruntung, motor yang aku ambil bukan motor berknalpot bising. Sialnya, lika-liku yang harus dilalui membuat motor ini kehabisan bensin, dan tempat tujuanku masih jauh dari sini. "Bu...?" panggilku. Ibu tak membalas, kepalanya menunduk, ditutupi oleh kedua tangannya. "Bu? Ayo bu, udah gabisa jalan lagi motornya." Ia tampak layu dan shock, aku khawatir jika dia kehilangan semangat hidupnya. "Bu, aku tau ibu kaget, sakit... Iya sakit, aku juga sakit nerimanya, tapi sekarang gada waktu buat nyeselin yang udah kejadian. Aku juga lemes bu, mau nangis juga dari tadi, gimanapun dia tetep ade aku, 8 tahun sering main sama aku... Bu ayo bu please, aku gamau kehilangan keluarga terakhir aku," ujar ku. Ibu mulai terbangun, ia menatapku dengan tatapan kosong dan mata yang lebam. Begitu ia turun dari motor, ibu langsung memelukku. Tak lama kita berpelukan, aku langsung mengajaknya untuk pergi dari sini. Kaki Ibu yang masih nyeri memperlambat gerakan kita, aku harus membopong tangannya di pundak. Gumprang!  Suara kaca-kaca yang dipecahkan oleh orang-orang.  Jalan tempat kami berhenti relatif aman dari mayat hidup, tapi mungkin tidak untuk lama. Orang-orang menjarah bangunan-bangunan di sekitar kami, sulit sekali mencari bangunan yang masih tertutup dan aman. "Orang masih aja nyuri, apa gak tau apa yang bakal mereka hadapin? Ga bakal berguna itu tv, kipas, kulkas,"  keluhku. Aku lalu bertanya pada Ibu, "Bu gimana ini bu? Ga ada yang aman." "Istirahat dulu aja di situ Ri, gapapa di halaman aja kan ada tenda itu." Ibu menunjuk sebuah tenda di depan sebuah ruko. Kami berjalan ke sana, aku membantu ibu untuk duduk dan melihat sekitar. "Bu, liat tuh... Ruko di sebrang ketutup gitu," ujarku. Ibu melihat ke arah yang aku tunjuk. Ia membalas, "Kacanya pecah semua gitu Ri." "Kacanya doang, itu pintunya masih utuh." "Yaudah ayo kita ke situ," jawab ibu. Kita menyebrangi jalan, menuju ruko di sebrang kami. Tanpa melihat-lihat lewat jendela terlebih dahulu, aku langsung mendorong pintu itu. "HEI! MAU APA KAMU!" bentak seorang pria.  Ia tampak berumur tiga puluhan tahun yang mengangkat sebilah clurit ke arahku. "Maaf! Maaf mas! Kita ga maksud!" Jawab ibu yang terkejut. "IBU SAYA TERLUKA! TURUNIN ITU CLURIT!" Teriakku membalasnya. "GA BISA! KELUAR KALIAN! KITA GA NERIMA ORANG!" balas pria itu. "HEI! HEI!" Seorang lelaki lain berumur lima puluhan tahun, berusaha menghentikan pertikaian. "Woy! Udah mas udah!" Sahut lelaki lain yang umurnya nampak masih berkepala dua. "Tenang dong mas! Itu ibu-ibu kasian!" tegurnya. Beberapa orang lain muncul, dan memenuhi pintu masuk bangunan ini. "Udah udah masuk aja bu, mas gapapa," kata lelaki berumur lima puluhan tadi. Ketegangan mulai mereda. Beberapa anak seumuran Selly menghampiri, dan mempersilahkan kami masuk. "Ibu kenapa?" tanya salah seorang perempuan. Ia adalah satu dari dua perempuan seumuran Sely, satu lagi yang seumuran adalah laki-laki. Mereka mengenakan seragam serba putih. "Ini kakinya... tadi terkilir pas lompat nak," terang ibu. "Nama saya Ririn bu, ini Lutfhi dan ini Trisna, kita mahasiswa keperawatan kok tenang aja kita bantu ya." Kata salah satu perempuan bernama Ririn. Tubuhnya persis seperti Sely. Wajahnya pun mirip, putih, hidung mancung, alis lentik, bibir merona beserta lesung pipinya. Sumpah, dia mirip dengan Sely, bedanya Sely tak berkerudung. Melihatnya membuat otakku terus memikirkan nasib adik perempuanku itu. Sementara Trisna sedikit agak gemuk, dan Luthfie tampak jelas model laki-laki keperawatan yang rapih. Ah, baik sekali mereka. Aku menghitung ada total sepuluh orang di dalam sini, beberapa mempersenjatai diri dengan parang, clurit, dan pisau dapur. Aku bisa membaca wajah-wajah lelah yang dipenuhi ketakutan, dan kesedihan pada diri mereka. Sementara Ibu diberi pertolongan oleh Ririn dan kawannya, aku melihat pria yang meneriakiku tadi berbincang bersama seorang bapak lima puluhan tahun sambil memandangi kami. Aku memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan mereka. Rupanya mereka yang memilih berkonfrontasi dengan kami, tepat setelah kaki Ibu sedikit diobati. "Masih untung kamu kita terima masuk," singgung pria itu. "Itu pak Lukman, dia temannya pak Gongon yang punya tempat ini," terang Lutfhi. "Biarin aja Bu, dia pikir yang khawatir sama keluarganya cuma dia," lanjut Ririn. "Apa kabar kita yang ga tau sama sekali nasib keluarga," keluh Lutfhi. "Iya, iya... terima kasih ya dek... Oh iya nama saya Melani, panggil aja mbak Mel," Ibu memperkenalkan diri. Umur Ibu masih empat puluh dua tahun, ia lebih nyaman dipanggil "Mbak" ketimbang "Bu". "Makasih ya kalian...." Ucapku untuk pertolongan mereka. "Kalian darimana? Kenapa berakhir disini?" Tanya seorang perempuan yang seumuran denganku. "Dari Pasar Rebo, tadinya mau keluar dari Jakarta tapi keburu kacau begini, mayat-mayat pada jalan sendiri dari RSUD..." balasku. "Wah hampir sama kaya kita sih, ada di dekat rumah sakit pas wabah pecah," sahut lelaki teman perempuan tadi. "Saya Reka," perempuan sebayaku itu memperkenalkan diri. Perawakannya manis dengan warna mata coklat, hidung yang tak mancung tapi tidak pesek juga, bibirnya tipis dan rambutnya hitam sepanjang bahu. Entah mengapa ada vibe Bandung yang ia pancarkan. Kawan Reka memperkenalkan diri, "Saya Baron. Kami jurnalis TV."  "Tadi pagi kami lagi liput truk-truk yang angkut mayat, eh pada bangkit lagi mayatnya coba? Kita rekam sendiri itu mayat makanin orang. Gila!" Baron mencuri waktu bercerita.  Yang satu ini sedikit lebih tinggi dariku, build tubuhnya bidang, mirip denganku. Ia berkacamata gaya 1980-an, hidungnya tampak lebih bagus dariku, dengan wajah yang dipenuhi bulu-bulu tipis dari kumis hingga janggut, dan ia memiliki alis yang tebal.  "Saya juga lihat sendiri makhluk itu. Mayat... hidup lagi, badan hancur, ditebas parang berkali-kali pun gak mati," balasku. "Maksudnya gimana? Zombie gitu?" campur Lutfhi. "Iya. Zombie. Masa sih manusia hidup, dibacok gitu masih jalan tanpa ngerasa sakit?"–balasku–"Emang kalian belum liat makhluk-makhluk itu?" Tanyaku pada Luthfi, Ririn dan Trisna yang mengaku belum melihat mayat-mayat berjalan. "Bener sih... Saya juga liat sendiri mayat-mayat bangun lagi dari kantung mayat waktu liput di rumah sakit. Udah bukan orang lagi, virus ini... Mereka ga bikin kita jadi kanibal gila kaya kata pemerintah. They were literally a walking dead,"  (Mereka mayat berjalan secara harfiah,) lanjut Reka. "Yaudah sekarang istirahat dulu aja yah dik, bu..." kata pak Gongon.  Ia tersenyum, sembari menghampiri untuk membawakan kami air minum. "Terima kasih banyak pak," ucapku dan Ibu. "Oh ya, nama saya Ari. Makasih udah terima kita ya," sambungku. Kami pun beristirahat. Ketika hari semakin larut, kami berganti jaga, dan meminimalisir penggunaan lampu agar tidak menarik perhatian orang, atau mungkin mayat juga.                                                                                             ***** Di malam hari, aku berkenalan lebih dalam dengan Reka dan Baron yang kebetulan kebagian jaga. "Hai," sapaku. Aku menghampiri Reka dan Baron yang tengah duduk di sofa biru, yang juga sedang digunakan untuk penahan pintu masuk. "Hai! Sini duduk-duduk." Sambut mereka dengan senyum lebar. "Jadi... gimana?" tanya Baron. "Apanya," balasku. "Gue-elu gapapa ya? Lo kayanya seumuran kita deh," kata Reka. "Iya... kayanya sih," balasku. "Cerita dong cerita, lo itu... Siapa sih?" Kata Reka sambil terkikih. Aku membalas, "Cuma mahasiswa tingkat akhir aja yang dulu sempet mau jadi tentara. Haha, naif kan? Kalian?" "Gue mah udah lupa rasanya kuliah," pamer Baron. "Wah? Umur berapa emang?" tanyaku. Baron menjawab, "Gue dua enam, tua kan?"  "Kating gue ini dia, gue dua tiga loh, baru kemaren-kemaren wisudaan,"–terang Reka sambil meletakan tangannya ke pundak Baron– "Kalo lo... Gue tebak. Hmm... Pasti... Dua puluh satu ya?" tebak Reka. "Dua-dua sih... Gak lulus-lulus gua, males banget selesaiin skripsi," elakku. "Sayang banget loh, kita beda setahun tapi gue udah kerja gini," ceramah Reka. "Ah. Iya sih, tapi kayanya... Udah ga pengaruh lagi itu sekarang," tandasku. "Hehe bener kok. Salah satu hal positif dari pandemi gini... Ga ada lagi skripsi." Canda Baron dengan humornya yang sedikit gelap. "Eh iya lo kan mantan calon tantara tuh, bisalah ya nanti-nanti mah lindungin kita hehe. Badan udah tentara banget tuh ga kaya Baron lari dikit aja ngos-ngosan," goda Reka. "Eh? Apaan badan sama gitu, gue buncit dikit aja! Lagian ngos-ngosan kan bawa kamera berat nyet," respon Baron. Aku terkikih-kikih mendengar candaan harian yang biasa saja itu. "Pft... Badan tentara," Aku bergumam setelah tawa kecil tadi. "Ironi," pikirku. "Eh, apa?" Tanya Reka yang membaca gerakan bibirku. "Eng... ga..." jawabku. "Apaan? Bilang aja," ujar Baron. "Engga, ironis aja. Kalaupun badan tentara, tapi keluarga sendiri aja ga kejaga." "Hah? Kenapa Bro?" "Di Pasar Rebo... Adik terkecil gue... Aduh ga kuat gue buat ingetnya juga, masih delapan tahun dia,"–Aku terbata-bata, mengingat kejadian tadi sore– "dan gue juga ada ayah sama adik cewe seumuran Ririn. Tapi mobil mereka kesangkut tiang listrik di pinggir jalan, mayat-mayat itu terlanjur kerumunin mobilnya... Gue... gabisa bantu," tuturku. "Oh... I'm..." (Oh... Aku...)–Reka terhenti lalu menatap Baron yang memandanginya– "WE're sorry to hear that... But hear me out, at some point we're all going to lose someone right?" (KITA turut berduka... Tapi dengerin gue, pada akhirnya kita akan kehilangan seseorang ya gak?) koreksi Reka. "Gak bermaksud kasih lo toxic possitivity, tapi lo masih punya ibu yang bisa lo lindungin. Gue gak tau apa yang lo saksikan ya, tapi... fokus buat menjaga yang masih ada, kalau bisa," tambah Reka. Aku sedikit mengerutkan bibirku ke pipi, tapi aku sadar apa yang ia katakan benar. Untuk sekarang, tak ada hal yang bisa aku, atau mereka lakukan untuk mengobati diriku dari kejadian tadi sore. "Lo liat ada orang lain gak waktu mobil mereka tabrak tiang?" tanya Baron. Aku menjawab, "Ada orang dimana-mana, ada tentara sama polisi juga yang pada lari dari gerombolan mayat. Gue sempet lihat ada polisi yang naik ke atap-atap bangunan sih, dan gue masih denger suara tembakan setelah gue cabut." "See? There's hope," ujar Reka. "Iya, bisa aja mereka diselamatin polisi atau tentara kan? Lo nanti kasih tau ini ke ibu lo, biar dia gak rapuh lagi," saran Baron. Aku menerima sarannya dengan mengangguk-anggukan kepala. Lalu bertanya, "How about you guys? You guys alright?" (Bagaimana dengan kalian? Kalian baik-baik saja?) "Keluarga gue di Bandung semua Ri, gue rasa gue baik-baik aja tau Bandung jadi ibu kota pemerintah darurat," jawab Reka. "Tentara semua ya isinya?" sahutku. "Sebelum jadi ibu kota darurat juga udah kota militer apa lagi sekarang... Gue berharap aja aman sih. Kayanya keluarga gue yang gak baik-baik aja tuh, mikirin gue yang bego mau aja disuruh korporat tetep liput di masa darurat gini," balas Reka. "l***e korporat emang." Gurau Baron, Reka melempar kepalan kertas ke wajahnya. "Kalo keluarga gue, kabar terakhir keluarga gue lagi di jalan tol mau ke Sukabumi. Gatau tuh kapan sampenya kalau jalan tol macet total gak bergerak gitu. Waduh kayanya gue mesti mulai terima juga kemungkinan kalau amit-amit mereka ga akan berhasil sampe," lanjut Baron, "Kita hidup, kita selamat, itu yang paling penting. Dan Lo? Lo masih punya ibu di samping lo buat dilindungin. Itu udah cukup berharga kok buat kita yang terjebak di kota sialan ini," tambah Reka. Aku tersenyum lebar pada mereka, bebanku sedikit terlepas dari percakapan ini. "Makasih ya," ucapku. "Since you're here now, i guess we're in it together?" Kata Baron sambil mengulurkan tangan kanannya padaku, aku tentu menjabatnya. "Omong-omong, berarti harusnya lo ke Sukabumi juga dong Bar?" tanyaku. "Harusnya..." jawab Baron. "Keluarga gue... Uhm. Ibu Melani sama gue, kita juga kebagian Sukabumi. Mau bareng sama kita?" tawarku. Reka dan Baron saling menatap sejenak. "Ayo,"–Reka dan Baron mengangguk–"kapan kita jalan?" ujar Baron. Aku menjawab, "Secepatnya, kalo ibu gue udah mendingan." "Gimana-gimana rencana lo?" tanya Baron. "Cari mobil gede, kuat, dan bahan bakarnya Solar. Orang pasti kebanyakan cari bensin di SPBU, solar cuma buat kendaraan besar. Siapa juga yang pake bis non-pemerintah sekarang?" saranku. Baron bertanya, "Apaan? Bis? Kalo ga bis ya–" "Elf," potongku. "Mikrobis, di jasa shuttle pasti ada aja yang kesimpen. Di sini shuttle terdekat dimana? Kita curi. Hehe." "Bekasi paling. Gue tau tempatnya, pusat cabang Bekasi itu, pasti banyak mobil shuttle-nya,"  "Mau ke sana?" "Ayo. Jauh tapi, minimal colong motor dulu kita." "Tapi, gue perlu ke tempat lain dulu sebelum ke sana. Kalo adik gue selamat, dia bakal ke tempat itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD