CHAPTER I : Beginning of an End

1972 Words
Beep! Beep Beep! Suara klakson memecah riuh antrean kendaraan, yang sama sekali terhenti. "Mohon untuk masyarakat memberikan jalan! Ayo dimohon bantuannya! Kondisi darurat!"  suara dengan nada sedikit panik dari Megaphone ku dengar. Bersamaan dengan nyaring sirine yang keras. "Yah? Itu mobil tentaranya kenapa?" tanya Aji. "Kurang tau Ji, kayanya mulai ga bener nih... Aduh kapan ini jalannya," jawab Ayah. "Yah Aji takut...." "Tenang ya Ji ya kalo ada apa-apa kan ada mamah sama kak Sely, jangan pernah lepas dari kita ya!" Aji adalah Adik laki-lakiku, umurnya masih delapan tahun. Kami sedang berada di dalam mobil, berusaha meninggalkan kota laknat ini. Menyertai Aji, ada Sely, Adik perempuanku yang lebih tua dari Aji. Umur Sely hanya beda tiga tahun dariku, kami berdua telah duduk di bangku perkuliahan. Terakhir, ada Ibu. Melani namanya, ia adalah manajer kantor cabang pembantu sebuah bank swasta di daerah Cikini. Kabut kepanikan nampak mengelilingi mereka, ketika para tentara mulai menyebut keadaan darurat. Kami sudah terjebak kemacetan di dalam tol Pasar Rebo, Jakarta Timur sejak dua jam tadi dan hanya maju kurang dari 100 meter. Aku? Tetap scroll Twitter mencari perkembangan up-to-date evakuasi skala besar Jakarta Raya, serta kota-kota lain di negeri ini maupun luar. "Ri! Masih aja kamu main HP?"-tegur Ayah-"Itu lihat sekitar." Aku biasa dipanggil Ari. Laki-laki dua puluh dua tahun, yang masih terjebak di tingkat akhir perkuliahan. Agak kesal dengar teguran itu, sepertinya jika aku yang memantau perkembangan situasi tak berguna di baginya. Bibirku hendak mengeja balasan, namun tiba-tiba sebuah helikopter serbu jenis Apache, terbang rendah dan menetap tepat di atas mobil kami. Sementara iring-iringan kendaraan tempur TNI tadi, masih terjebak kemacetan tak jauh dari pintu keluar tol. "Yah? Bawa senjata lengkap itu heli," ujarku. Ayah terpelongo dengan wajah panik, melihat helikopter bersenjata lengkap terbang statik di atas kami. Moncong helikopter itu mengarah tepat ke RSUD Pasar Rebo, yang terletak di barat laut kami. "Yah?"–Ibu memeluk kepala Aji, tangannya menggenggam lengan Sely–"Yah udah kita keluar aja... Yah! Keluar aja kita, lari!" Ibu dan Sely telah melampaui panik, sementara Aji bisu ketakutan, dan bersembunyi di balik pelukan Ibu. "Keluar mau kemana! Mau lari kemana! Mau jalan kita sampe ketemu hutan?!" balas Ayah. Mobil-mobil di depan kami mulai bergerak, dan Ayah sontak menginjak gas, meski tetap berada di bawah kecepatan 50 Kilometer per jam (Kmpj). Baru sekitar 400 meter dari tempat kami terhenti tadi, suara sangat keras terdengar dari belakang mobil kami. Dag! Dag! Dag! Dag! Dag! Dag! Bunyi rentetan meriam, diikuti dengan suara ledakan beruntun dari arah barat laut. Blar! Blar! Blar! Suara itu begitu keras, kaca mobil kami bergetar hebat. Pengendara mobil di jalan tol pun terdampak panik, dalam lima detik lebih dari 20 mobil saling bertabrakan. Begitupula mobil kami yang tertabrak dari sisi kanan belakang. Adrenalinku terpompa, bagaimana tidak? Mobil kami hampir kehilangan kendali, dan helikopter tadi benar-benar melontarkan tembakan berkali-kali ke arah rumah sakit. "Yah cepet maju yah!" Ujar Ibu, suaranya dipenuhi ketakutan. Ayah diam seribu bahasa, pandangannya fokus ke jalanan, berusaha menghindari mobil-mobil lain. Pengendara lain pun melaju cepat, saling menyalip di antara mobil yang terhenti akibat tabrakan. Dag! Dag! Dag! Dag! Dag! Dag! Untuk keenam kalinya bunyi rentetan meriam itu terdengar. Kali ini, diikuti dengan desis suara benda yang terbang memecah kecepatan suara. Whoosh! Aku menoleh ke belakang, helikopter tadi memuntahkan meriam di moncongnya, beserta roket ke area RSUD. Ledakan kuat menyapu siapapun yang berada di laju tembakan. Belum lewat satu Kilometer, arus lalu lintas di hadapan kami kembali terhenti. Klakson berdering ratusan kali dari semua mobil yang bisa dipandang. Ayah membuka pintu mobil kami dan berdiri di belakang pintu sambil melihat kesegala penjuru angin, aku reflek mengikutinya. Gemuruh tembakan dari senapan dan jeritan ribuan orang memenuhi telingaku. Aku melihat beberapa mobil melaju dari arah belakang kami dengan kecepatan tinggi, menggunakan jalur seberang, melawan arah. "Nekat gila," pikirku, para pengendara itu melawan arah sementara iring-iringan kendaraan tempur (ranpur) tengah melaju ke sesuai jalurnya. Mobil-mobil itu menggunakan bahu kiri dan kanan jalur seberang, sementara ranpur roda rantai dengan meriam 30mm bagai memecah ombak di tengah jalan. Aku melihat keadaan di dalam mobil, Aji melalui momen paling menyeramkan yang ia alami, Ibu dan Sely saling menatap sambil memperhatikan sekitar. Baru sekejap aku melihat keadaan mereka, helikopter serbu tadi rupanya telah memutar moncongnya ke arah kami. Dua sampai tiga roket melintas di atas kepala, disusul ledakan besar di area pemukiman sebelah kiri mobil kami. Gendang telingaku serasa hampir pecah. "Keluar! Keluar!" perintah Ayah.  Ia membuka pintu belakang dengan gegabah. "Astaga! Gimana yah! Kemana?" balas Ibu. Aku jarang sekali melihatnya sepanik itu. Ayah tak membalas. Ia menggendong Aji di tangannya, sambil menarik tangan Ibu untuk lari menjauh dari titik ledakan. Jujur, rasa panikku saat ini sudah tak dapat disembunyikan lagi. Aku mengikuti Ayah, sambil sesekali melihat ke belakang. "Ari! Bantu Ibu itu lewatin pembatas jalannya!" perintah Ayah. Aku dan Sely membantu Ibu melompati Separator jalan tol. Disaat yang sama, ratusan pengendara lain juga meninggalkan kendaraan mereka dan melompati separator. Kami semua mencoba menyebrang ke sisi lain jalan tol. "Masyarakat yang berada di bawah segera naik! Segera naik! Keluar dari Jalan tol! Cepat, kami lindungi! Hindari arah barat! Cari area yang aman." Perintah prajurit yang berada di atas ranpur roda rantai melalui pengeras suara. "Kontak! Kontak!" Teriak salah seorang prajurit yang terdengar lewat pengeras suara. Dar! Dar! Dar! Dar! Suara meriam 30mm dan senapan mesin, segera menyalak di belakang kami. Aku melihat ke arah belakang, mayat-mayat berhamburan jatuh dari jalan raya yang letaknya lebih tinggi, ke jalan tol. Para tentara membanjiri orang-orang di seberang lain jalan tol dengan tembakan mematikan. "Apa-apaan ini," gumamku. Bagian tubuh manusia berceceran kemana-mana akibat tembakan meriam dan senapan tantara di kendaraan tempur tadi. Aku tak percaya apa yang mataku saksikan. Kami berhasil memanjat ke sisi jalan tol, naik ke jalan raya yang diramaikan kendaraan serta orang yang berhamburan. "Aduh!" jerit Ibu. Ibu terjatuh saat melompati selokan di pinggir jalan raya. "Kenapa?" tanya Ayah. "Kaki yah... Sakit!" balas Ibu. Pergelangan kakinya terkilir, insting mendorongku untuk langsung mengangkatnya, dan membopongnya di pundak dibantu Sely. "Udah yah! Ayo jalan aja! Ibu sama kita!" ucapku. "Gabisa ri! Makin parah nanti, mending cari mobil aja!" balasnya. "Nyuri mobil orang yah?" tanya Sely. Ayah membalas, "Liat sekeliling Sel! Mau selamat apa mati?" "Iya tapi kan jalanannya-" protes Sely. Kami sadar, jalanan dipenuhi mobil yang ditinggalkan pemiliknya. "Ri tunggu di sini jaga Ibu. Ayah cari mobil yang kebuka," perintah Ayah.  Ia memotong ucapan Sely, tak membalasnya. "Aku ikut aja!" sahutku. "Gabisa! Siapa yang jaga Ibu sama Sely?" balas Ayah. "Sely aja yang nemenin Ayah," sahut Sely. Aku terdiam, "Berani juga Sely kalo udah begini," pikirku. Ayah membawa Aji dan Sely mencari mobil yang bisa dijarah, aku mencoba memberi pertolongan pertama untuk pergelangan kaki Ibu. "Ri... Kamu anak pertama Ibu, udah dewasa kamu, tolong jaga adik-adik kamu ya," pesan Ibu. "Hah? Apasih ini cuma keseleo juga," pikirku. Tapi melihat situasi sekitar, kaki keseleo sepertinya bisa jadi ajal juga. Ibu bilang, "Kasih tau Aji kalo nanti Ibu...." "Apasih bu, udah kita semua bakal selamat! Bentar lagi juga Ayah-" aku terhenti. "Aaaaaa! Tolong! Tolong!" jerit seorang wanita. Ia dihimpit ke mobil di depanku oleh dua orang. Aku mengira itu adalah pemerkosaan, "Yang bener aja." Aku memberanikan diri, berniat menolong perempuan malang itu. Prak! Bunyi retakan tulang. Dua orang pemuda lain muncul, dan menebas tubuh kedua orang yang menghimpit wanita itu dengan golok. Punggung kedua orang yang mengimpit wanita itu teriris, darah membanjiri tubuhnya. Aku mengurungkan niatku untuk membantu, dua orang pemuda itu berusaha mengangkat perempuan tadi, sepertinya mereka adalah teman atau keluarganya. Aku menoleh ke Ibu, matanya melotot, mulutnya terbuka seperti baru melihat pocong. Akupun ikut menengok ke arah pandangan Ibu. Kebingungan tak terpalang menyelimutiku, kakiku terasa lemas, ekspresi wajahku pun sama dengan Ibu barusan. Kedua pria yang beberapa detik lalu ditebas dengan golok bangun kembali, dan menarik kaki salah satu pemuda berparang itu. Makhluk itu mengigit, dan merobek daging pada betis pemuda itu, seperti hewan buas yang belum mencicip mangsa bertahun-tahun. Pemuda itu tersungkur, kawannya langsung menebas tubuh makhluk itu, sebanyak tiga kali. Tangannya putus, lehernya terbuka setengah akibat tebasan. Mustahilnya, ia tetap gagal mematikan makhluk itu. Keraguan terlintas di benakku. "Anjir, Gila! Zombie? Ini beneran Zombie? Yang bertebaran di Internet dari kemarin bukan hoax?" pikirku. "Bu! Bangun bu! Ayo pergi bu!" ucapku. Ibu masih terpaku menyaksikan kejadian itu. Tidak terlintas lagi niat ku untuk berhadapan dengan makhluk tadi, entah bagaimana nasib pemuda itu. Aku membopong Ibu untuk berlari menyusul Ayah, berharap tidak ada mayat yang tiba-tiba mengigitku. Mendekati sebuah persimpangan jalan, aku melihat Sely sedang melihat ke sana-kemari di samping mobil yang tengah mendorong mobil lain. "Sely! Sely!" teriakku. Suaraku tak terdengar, tertelan bising jerit manusia dan letus senjata api. Seorang lelaki berjalan tertatih-tatih mendekati Sely. "Bu," seruku.  Aku menunjuk ke Sely pada Ibu. "Lari Ri! Lari selamatin!" perintah Ibu. Aku lantas segera berlari, mendahului orang-orang yang juga tengah berlarian, meninggalkan Ibu di sebelah mobil sedan merah. "Sel! Sel!" panggilku, kali ini Sely mendengarku. Brug. Aku menendang lelaki yang tertatih itu hingga terjatuh bersamaku. Orang-orang yang berlarian, lalu menghindari aku dan lelaki itu. Aku segera bangun menghampiri, dan menggenggam Sely. Lelaki itu membalikan badannya, kakinya bersimbah darah, ia menatapku sambil memegangi luka di pahanya. Wajahnya nampak menahan sakit, rasa bersalah dengan cepat menghantuiku. Lelaki itu terluka dan aku membuatnya tersungkur, kesulitan bangun di antara gelombang demi gelombang orang yang berlarian melewatinya. "Mana Ibu Ri?" tanya Ayah. "Kamu gila Ri? Ibu luka gitu kamu tinggal sendiri? Otaknya dimana!"  bentak nya. Ia bahkan tak memberi jeda untuk aku menjawab. Adrenalin yang terpompa dalam darahku sudah membuatku tak peduli pada emosi, yang terlintas di otak hanya bagaimana cara selamat. Aku segera berlari kembali menjemput Ibu tanpa mengatakan apapun pada Ayah. "Bu?" Sapaku pada Ibu. Ia tak membalas namun tampak sedikit lega. "Si Ayah marah-marah bu," aduku. "Gara-gara tadi? Udah biarin, itu perintah Ibu kok," balasnya. Kami berjalan dengan bersama dengan boponganku, ke arah mobil curian Ayah. "Masuk cepet ke dalam mobil!" perintah Ayah. Beberapa orang dengan luka parah di sekujur tubuhnya muncul memanjat ke jalan raya dari tol. Arrrrggggh! Groaaaaaar! Tenggorokan mereka mengeluarkan suara-suara aneh, seperti orang yang berusaha menjerit tanpa pita suara. Darah berceceran keluar dari mulut mereka, tubuh mereka dipenuhi luka terbuka, beberapa hingga terlihat putih tulangnya, ada yang sudah tak memiliki tangan, ada pula yang organ dalam tubuhnya keluar dari perut terseret-seret tubuhnya. "Oke, bukan orang lagi," pikirku. Tanpa sadar sekumpulan sumpah serapah mengumandang dari mulutku, merespon apa yang mataku lihat. "Naik! ayo naik cepet!" Perintah Ayah yang panik. "Yah," panggil Ibu. "Yah jalanannya!"  Ia menyadari jalanan setelah persimpangan terhalang mobil, dan motor terbengkalai yang berserakan. Ayah sebelumnya hanya menggeser tiga mobil di depannya. "Udah masuk aja! masuk aja!" balas Ayah. Ia memaksa Sely masuk ke bangku belakang. "Gabisa Yah! Ambil motor aja! Yah!" balasku. Ayah tidak menghiraukan aku dan Ibu, ia terus memaksa kami masuk ke bangku belakang. Tanpa berfikir panjang, aku menarik Ibu yang belum masuk untuk meninggalkan mobil itu dan mengambil motor yang berserak di jalan. "WOY MAU KEMANA! WOY! g****k!" Teriak Ayah lantang. Tak sulit untuk langsung menemukan motor yang masih berfungsi dengan kunci yang terpasang. Aku langsung membantu Ibu menaiki motor, dan mengabaikan Ayah, sementara Ayah mengendarai mobil itu. Tak bergerak jauh dari tempat mobil itu ditemukan, mobil terhenti di belakang motorku. Jalan mereka terhalang kendaraan terbengkalai, dan puing kekacauan. "Yah! Keluar Yah!" teriak Ibu. "Sel! Lari! Cari motor aja!" sambungku. Aku berhenti dan hendak turun. "Ayah keluar!" paksa Ibu. Barikade Polisi pada jalur layang penghubung jalan raya yang melintas di atas jalan tol terbobol, bahkan polisi dan tantara berlarian dari tempat itu. Gerombolan mayat hidup merubuhkan barikade, mengejar dan merubuhkan polisi maupun tentara yang berlarian. Mayat-mayat itu dalam sekejap tampak kian mendekat, sementara Ayah baru membuka pintu mobil. "Ari bantuin ri! Bantuin!" Perintah Ibu panik, tenggorokannya mengempis menahan tangis takut. Aku berlari ke mobil, sementara Ayah membuka pintu belakang sebelah kanan dengan gegabah. Belasan mayat tanpa kami sadari telah berada tepat di belakang mobil. "AAAH! Ayah!! Ayah!!" "AJIII! YA AMPUN AJI!!!" Jerit tangis histeris Ibu. Dua mayat hidup mendorong pintu hingga menjatuhkan Ayah, lalu menarik keluar Aji. Ibu hanya bisa menyaksikan pemandangan terburuk dalam hidupnya... "AAAARGH! b*****t!" bentak Ayah. Ia bangun, dan langsung kembali ke bangku pengemudi, menginjak penuh gas. Aku terdiam menyaksikan tubuh kecil Aji dicabik-cabik oleh mayat itu, sementara mobil Ayah menghantam mobil-mobil lain, lalu menabrak sebuah tiang listrik hingga rubuh. Bagian bawag mobil tersangkut patahan tiang itu. Jantungku rasanya gagal memompa darah, beberapa mayat hidup kini berlari ke arahku. Aku sontak memutar badan, bergegas kembali mengemudikan motor. "Bu! Tahan bu! Relain aja bu! Ibu kuat bu kita harus pergi!" ucapku. Ibu hampir pingsan, dan terjatuh dari motor setelah menyaksikan anaknya sendiri mati secara menyeramkan. Tangan kiriku menggenggam sembari mengguncang tangan Ibu. Aku pergi begitu saja. Meninggalkan Ayah dan Sely terjebak di sana, dikerumuni makhluk-makhluk itu. Perhatianku teraliuntuk selamat, dan menjaga Ibu agar tak menyusul mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD