Act 12-1

1942 Words
                                                                                        War of Rights Ari Lima mobil bak dan truk yang sebagian bekas polisi melintasi kami, orang-orang bersenjata lengkap terlihat mengisi penuh tiap kendaraan. Lima kendaraan lain membuntuti iringan kendaraan pertama, belasan cahaya lampu mobil juga tampak mendekati di belakang iringan kedua. Perasaanku mulai tak enak. (Bunyi rem mobil) Setelah lima kendaraan melewati kami, konvoy kendaraan itu bergantian berhenti, dari depan ke belakang. Orang-orang turun bergantian dari kendaraan, beberapa dari mereka membawa megaphone beserta radio handy-talky (HT). (Bunyi pengeras suara dinyalakan) Seseorang berselempang putih di hadapanku, mendekatkan HT ke mikrofon megaphone yang dibawanya. Perkumpulan orang membentang di sepanjang pinggiran jalan, mendekati rombongan mobil yang baru tiba. (Bunyi statik pengeras suara) "Selamat Pagi Bapak, Ibu, Adik-adik sekalian. Mohon mempersilahkan kami untuk memperkenalkan diri..." ujar seseorang melalui HT. Aku menoleh ke sekitar, Ibu dan Sely berdiri di sebelah kiriku, Baron di sebelah kanan, Ayah dan Wisnu baru menyusul di belakang. "Gawat...." Ucap Wisnu, kamipun menatapnya wajah cemasnya. "Sebagian besar dari kalian mungkin sudah mengenal kami sebagai pengkoordinir serangan umum kemarin. Tapi, hanya segelintir yang mengenal kami sebagai kelompok. Kami adalah bagian dari GEPAT, komando wilayah Banten." Kenal sosok yang hanya bisa kami dengar dari HT. Orang-orang terkejut, mereka saling bertatap, riuh perdebatan mulai bergema. Tak sedikit orang yang segera menjauh dari jalanan. GEPAT adalah organisasi teror yang terbentuk pada akhir 2020, sebuah koalisi gabungan beberapa kelompok teror lama yang menuntut pembubaran pemerintah berkuasa, dan Republik. "Ja-jangan bilang... Kita baru bantu mereka rebut kuasa?" Ujar Reka yang menghampiri kami dari belakang, berlawanan dengan beberapa orang yang melangkah mundur. GEPAT, singkatan untuk gerakan perlawanan umat, mulai vokal menyuarakan perlawanannya ketika kepercayaan mayoritas publik terhadap pemerintah merosot drastis, akibat manajemen pandemi yang buruk. Ketika kemarahan publik meledak setelah wacana pembagian vaksin yang diutamakan untuk pejabat negara dan keluarganya, membuka ruang untuk kelompok teror yang nyaris mati untuk berkoalisi dan menunggangi kemarahan publik. "Saya udah coba peringatkan, kalian gak mau dengerin..." keluh Wisnu. "Yang gak mau dengerin kan Ayah, bukan kita," gumamku. "Selama ini kita telah ditindas oleh pemerintahan negeri kafir ini... Hari ini, azab telah menimpa dunia, dan negeri ini! Telah tiba waktu kita merenggut kembali hak kita, menaikan derajat kita lebih tinggi dari sistem negara yang korup! Ini adalah waktu bagi kita semua untuk bangkit, kembali menegakkan keadilan di bumi Allah!" Ucap sosok di balik HT, menyuarakan kontra-propaganda. GEPAT dalam kurun waktu satu tahun telah menjadi masalah terbesar Republik, sebelum munculnya WIRE. Memporak-porandakan stabilitas nasional melalui serangan bom dan penembakan di sembilan provinsi, menyerang simbol-simbol negara dan pemerintahan, mulai dari kantor polisi, hingga kantor kecamatan. "Hak? Atau kekuasaan?" ucap Baron. "Mereka selama ini diburu, tokoh-tokohnya dikurung... Yang termarjinalisasi cuma kelompok mereka, bukan umatnya... Apa lagi yang dimaksud hak kalau bukan hak buat berkuasa?" balasku. "Pinter banget ya? Mengubah momentum kekacauan pascapandemi jadi isu keagamaan, mengatasnamakan umat, bikin orang percaya solusi utamanya cuma ubah sistem negara... Padahal, negara maju yang sekuler pun pada berhasil atasin covid kan?" sambung Ibu. "Negara bekembang bekas komunis pun berhasil, kok," imbuhku. "Iya, emang tergantung politisinya aja," lanjut Ibu. "Sekarang kita yang ditunggangin mereka buat taruhan nyawa, lawan musuh bubuyutannya di benteng. Kurang ajar! Kita mesti lawan balik nih, jangan kalah cerdik sama mereka!"  Oceh Ayah dengan nada bicara yang menanjak. "Oleh karena itu, kami akan membutuhkan kerjasama dan partisipasi warga sekalian untuk membangun keadilan mulai dari sini. Dikarenakan pertempuran kemarin, kami perlu mengamankan benteng yang porak-poranda dipenuhi mayat hidup, termasuk menciptakan keamanan di wilayah sekitar. Maka dari itu, kami mengharuskan kalian untuk menyerahkan senjata api ke..." Belum selesai ucapan orang di balik HT, makian dari orang-orang di sekitar kami mulai menggema. "Enak aja, gak akan!" "Ya! Kami gak akan jatuh ke lubang yang sama!" "Jangan berani-berani renggut kepemilikan kami!" "Mereka ini GEPAT Pak, Bu! Perjuangan mereka bukan perjuangan kita!" "GEPAT sebut diri sebagai pejuang? Gak ada perjuangan dalam membom Ibu dan anak-anaknya!" "Ya! Laknat!" Makian lantang dari sebagian orang yang saling menyahut, sementara sebagian lain simpatik makian-makian itu. Suasana berubah menjadi debat kusir, seraya sosok di balik HT lanjut bersua. "Polisi b******n kami lawan, sampah macam kalian pun akan kami lawan!"  sahut Ayah. Aku tak dapat mendengar dengan jelas ucapan dari HT, bising pertengkaran di sini semakin kronis. Anggota GEPAT yang berkerumun di sekitar mobil tampak geram. Tangan-tangan mereka menggenggam erat senapan serbu masing-masing, seakan siap melontarkan tembakan ke arah kerumunan penyintas. Beruntung kami imbang memegang senjata api rampasan dari polisi, bila tak bersenjata mungkin orang-orang di sekitarku telah bersimbah darah. Tar! Ra-ta-ta-ta-tar! Letusan senjata api bergemuruh dari arah pesisir waduk, di mana terdapat perkumpulan kemah lain. Pandangan kami, beserta semua orang di sini teralih ke asal suara. "Di sana udah ngelawan..." kata Ayah. Perdebatan berubah menjadi ketegangan, orang-orang mulai meninggalkan jalan, menuju kemahnya masing-masing. "Pergi, ayo... Sekarang!"-Wisnu berjalan mundur, telapak tangan kanannya mengawai pada kami-"Ambil senjata, cari perlindungan, bikin garis pertahanan. Siap-siap yang terburuk!" ujar Wisnu. Kami pun berjalan mengikuti Wisnu. Sesampainya di kemah, aku segera melepas menggenggam senapan MCX lalu menggendong tasku. Bersamaan dengan kami, semua orang di sekitar pun tengah bergegas mengemas barang mereka. Sebagian segera berlari memasuki kegelapan di hutan, sebagian lain bertahan dan mencari tempat berlindung. "Ini kenapa lagi?" Tanya Fitri dengan cemas. Ia dan ketiga saudaranya telah lebih dulu berkemas, Arfan dan Dinda sedang mempersiapkan senjata api. "Polisi lagi? Loyalis itu bukan?" Sambung Arfan, lalu menarik kokang AK miliknya. "Emang gak kedengeran suara dari toanya?" Balas Sely sambil memangkul tasnya. "Kedengeran suara toanya sih, ta-" jawab Arfan. "Tapi dari sini kaya orang kumur-kumur doang." Sahut Aldi, "Bukan polisi, GEPAT..." jawab Sely. "Well, shit." Jawab Aldi dan Arfan serentak, sambil saling menatap. "Siapapun mereka, kita bakal atasi bersama. Ya kan?"-Dinda berdiri, menggenggam pistol G2 dengan dua tangan sejajar di pinggang-"Sekarang, kita pergi atau bertahan nih?" kata Dinda. "Tahan."-Ayah menoleh ke Dinda-"Kita udah terlalu banyak bertaruh buat relain tempat ini ke teroris. Ini perjuangan demi hak yang sebenarnya...." Balas Ayah, yang telah siap di balik pohon pisang dengan AK-nya. "Yakin? Kita udah tinggal pergi semua ini, gak perlu nekat di sini. Kita bisa rebut lagi nan-" tanya Ibu. "Roman gak bisa kemana-mana, saya gak bisa bawa-bawa dia ke hutan itu," potong Wisnu. "Kan? Lihat sekitar kita, masih banyak yang berani lawan juga. Kita gertak dulu mereka, semoga gak harus sampe saling tembak," kata Ayah. "U-udah, Nu... Tinggalin gua aja. Mereka gabisa lawan GEPAT head on gini,"-Roman berusaha bangun dari posisi berbaring, sambil memegang senapan MCX-nya yang digenggam Wisnu-"Sini, biar gua lawan," ujarnya. "Gak usah sok heroik lah... Waktu Polsek diserang GEPAT, elu yang nekat selamatin gua. Sekarang biarin kita impas." Kenang Wisnu, tak memberi senapannya. "Lu bawa gua sampai sini juga udah imbal," balas Roman. "Abis ini baru imbal."-Wisnu menahan pundak Roman untuk tetap berbaring-"Semua obor matikan! Sorot senter kalian ke arah jalan aja!" Perintah Wisnu pada semua penyintas yang bertahan. Ucapan Wisnu diteruskan dari mulut ke mulut oleh penyintas yang bertahan, sementara obor yang menerangi perkemahan dipadamkan satu persatu. Sebagian besar dari mereka telah berlindung, sebagian lain harus membagi satu pohon untuk berdua. "Here they come," kata Baron. Aku menoleh ke arah jalan, lalu segera ber sandar di salah satu pohon kala kerumunan orang bersenjata mendekat. Senter yang direkat solatip di handguard MCX-ku, menyorot kerumunan orang bersenjata sedang menghampiri kami. Ibu dan Sely berada di sebelah kananku dengan satu pohon yang sama, di sebelah mereka ada Ayah yang menikmati satu pohon sepertiku, lalu Baron bersama Reka. Wisnu dan Roman, Dinda dan Fitri, serta Arfan dan Aldi berbagi tiga pohon di belakang kami. "Berhenti di sana, atau kami tembak!" Bentak salah seorang yang bertahan bersama kami. "Hey! Hey! Tahan dulu!" Ujar seorang pria, melangkahi rombongan GEPAT dan menghentikan laju mereka. "Tolong sama-sama tenang dulu, turunkan senjata kita. Kita gak mau ada pertumpahan darah lagi bukan?" Katanya, sambil menoleh ke arah para penyintas di kemah. "Kamu ada di pihak siapa sebenernya?" Respon ketua regu GEPAT yang berhadapan dengan kami. "Saya percaya dengan apa yang kalian perjuangkan... Tapi kalau begini kalian sama saja seperti aparat. Lihat mereka, lihat perkemahan di seberang sana. Ada anak-anak, orang tua di kemah-kemah ini. Kita semua datang ke sini berharap keamanan, bukan perang!" balasnya. "Kalau memang kalian semua mau keamanan, ikuti aturan kami. Serahkan senjata api kalian, kita bisa hindari peperangan ini," Ucap pemimpin regu GEPAT. "Hindari? Perang ini sudah dimulai!" balas salah satu penyintas di dekat Ayah. Pertempuran memang telah membara, letus senjata api terus bergemuruh dari arah pesisir waduk seraya kami berbincang. "Kami juga berhak melindungi diri kami sendiri!" ujar penyintas lain. "Siapapula yang mau hidup di bawah kuasa teroris!" lanjut Ayah. "Pst! Rom!" panggil Ibu. "Gak usah ikut-ikutan!" "Ya pergi aja dari sini kalau gak mau, anjing!" bentak salah seorang GEPAT. "Bunuh aja ayo kafir ini!" "Ya! Darahnya halal itu! Tunggu apa lagi?" "Bunuh! Bunuh! Allahukbar!" Sorak anggota GEPAT, sembari mengarahkan ujung laras senjata mereka dengan liar pada para penyintas. Mereka berkerumun hanya 20 meter di hadapan kami, bercampur dengan penyintas yang simpatik dengan GEPAT. "Tolong, tolong! Sabar dulu!" Mohon pria yang menghadang GEPAT, terhimpit di antara dua kelompok yang saling menodong senjata. DAR! "Wow!" ucapku. Bunyi tembakan keras dari arah depanku, letusannya mengagetkan semua orang. DAR! DAR-DAR! Tiga tembakan segera menyusul dari kemah kami. Kerumunan GEPAT dan simpatisannya berhamburan mencari perlindungan, sebagian lainnya sontak mencium tanah. "WEI TAHAN!" jerit Wisnu. "BUKAN DARI KITA ITU!" DAR! DAR! DAR! Tembakan balasan segera menghujani kami. "BALAS! BALAS!" Seru beberapa penyintas, dan Ayah bersamaan. Adu tembak tersulut, gelegar senjata api dari kedua sisi mengempa gendang telingaku. Aroma mesiu merambah di balik hidungku, seraya serpihan dan getah dari pohon pisang berhamburan diterpa peluru. Aku berdiri dengan laras mengarah ke tanah, menahahan tembakan dan melindungi diri dari rentetan tembakan pertama. Sesaat setelah hujan proyektil mereda, aku menampakkan seperempat tubuhku untuk membidik. Percik api berkedip-kedip dari beberapa titik, pijar senter dari anggota GEPAT yang sejajar di depanku mengaburkan pandangan. Apapun yang berada di balik percikan api dan sorotan senter sulit terlihat, bayangan hitam mengambang di dalam mataku. DAR! DAR-DAR! Aku menembaki bola cahaya putih yang sempat membutakanku. Bola cahaya dari senter itu lalu jatuh ke tanah, menandakan pemegangnya berhasil kurobohkan. Aku lekas kembali sembunyikan tubuh, sebelum ada tembakan balasan yang mengincarku. Pluk. "Eh?" Senapanku terasa lebih ringan, aku pun melirik ke bawah. Senterku terlepas dari handguard dan menggelinding beberapa inci ke sisi kanan pohonku. Aku pun reflek berlutut dan menjulurkan tangan kiri untuk meraihnya. Tak! Tzt! Tak-Tak! Lusinan peluru menghantam pohon dan tanah di sebelahku. Getah pisang terciprat, dan terasa melekat di tangan hingga wajahku. Pohon-pohon pisang ini sama sekali tidak menghentikan laju peluru, beberapa pohon tampak patah dan roboh beberapa detik menuju baku tembak. "Kampr-" "Aah!" Aku menoleh ke Ibu dan Sely. "Bu! Aduh. Diem Bu, jangan gerak! Jangan gerak!" kata Sely. Tubuh Ibu dibaringkan ke Pohon, sementara Sely mengambil pistolnya. "Mel?! Kena di mana?" teriakkan Ayah terdengar. Ibu tak membalas, tangan kanannya terlihat menggenggam lengan kirinya. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya di tengah kegelapan yang terus berkelip dari puluhan percikan api senjata, tapi aku bisa melihat kedua tangan Sely menggenggam dua pistol. Sely berdiri dan mengarahkan kedua pistol yang digenggamnya ke kedua sisi pohonnya, aku lantas nekat mengabaikan hujan peluru dan kembali membidik senapan. Dar-Dar-Dar! Dar-Dar! Belasan peluru kulepas bertubi tanpa jeda, mengarahkan tiga hingga dua peluru ke setiap percik api dari arah GEPAT yang ditangkap mataku. Bersamaan denganku, Sely juga meluapkan amarahnya lewat tembakan membabi buta dari dua pistol. Kami segera berlindung lagi setelah berhasil meredam tembakan yang mengincar kami, Sely terlihat hendak mengganti magasinnya. "Sel!" panggilku. "I'm moving forward!" "Apa?" Jawab Sely, sambil mengganti magasin. "I'M. MOVING. FORWARD!" Ucapku, sambil menggarahkan telapak tanganku ke depan. Bahasa Inggris kugunakan, berharap GEPAT tak memahami rencanaku. "What?! No!" "Give me covering fire! I'll try to flank them!" Balasku, sambil melepas tas. Aku perlahan bertiarap, lalu menatap ke Sely. "I don't want to lose you both!" "You wont! Trust me, they'll break apart as I rain them fire at close range. You ready?" "f**k! Be careful alright! Don't get shot!' pesan Sely. "Ari!" Panggil seseorang dari belakang, aku kesulitan menengoknya. "Wisnu ikut dari belakang! Gerak aja!" Pekik Wisnu, berusaha mengalahkan bisingnya pertempuran. "Now Sel!" perintahku. Sely menembakan kedua pistolnya ke dua arah berbeda, tangannya menghimpit pohon yang disandar Ibu. Desis peluru melejit dari belakang, rupanya Arfan, Aldi, dan Dinda ikut memuntahkan tembakan perlindungan. Aku pun mulai merangkak maju, membelah rumput liar yang tingginya sebetisku, sementara barisan GEPAT di depan kami tengah diterjang peluru. Sambil mendorong tubuhku ke depan dengan tumpuan sikut dan lutut, lengan kiriku membelah rerumputan, sementara tangan kanan berusaha menjaga bagian mematikan dari senapan ke arah depan. Entah telah berapa jauh jarak kutempuh, ketika tembakan balasan dari GEPAT menerjang, membungkam tembakan perlindungan dari kemah. Aku pun berhenti bergerak, lalu memendam kepalaku sedatar mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD