Act 11-5

1199 Words
Ari Empat jam telah berlalu, jarum arlojiku menandakan pukul empat pagi. Aku sedang duduk berdua bersama Sely di bawah pohon pisang dekat kemah, menikmati makanan-makanan ringan yang kami punya. Hangat api unggun dari tengah kemah kami terasa, meski sekitar lima meter jaraknya dengan pohon pisang yang kami sandari. Dengan banyaknya penyintas yang berkemah, tempat ini terasa seperti wisata kemah yang ramah keluarga. Hidungku telah membiasakan diri menghirup busuk, ratusan mayat gosong di pinggir jalan tak menggangguku. "Ada yang mau lo ceritain ke gue ga, Sel?" tanyaku. "Cerita apa?" Tanyanya balik, sambil mengunyah kue bolu kukus pemberian dokter Dade. Keluarga Dade menyembunyikan dengan baik kue-kue yang dibawanya dari sitaan polisi sejak awal dia datang di tempat ini. "Apaan aja. Kaya... Kenapa lo diem aja pas recs berkeliaran, berburu bangsa?" balasku. "Oh tadi... Sely halu kayanya, lagi pules-pulesnya tidur tiba-tiba kacau gitu kan bingung juga," jawabnya. "Ini bolu udah seminggu sejak wabah kok masih enak ya?" Alihnya, hendak mengganti topik. "Halunya bisa setipe gitu." Lanjutku, tak menghiraukan pengalihannya. "Setipe gimana coba?" "Dua kali nge-freeze di depan recs anak kecil? Pas di mobil, terus tadi malem?" (terpaku) Ujarku, mengungkit ketika ia tak berkutik saat recs kecil melompat ke arahnya dua hari lalu. Ia tak menjawab pertanyaanku, malah membuka kaleng soda ketiga yang ia minum dalam enam jam terakhir. "Buset diabetes lu. Mau jadi apa diabetes di peralihan zaman gini?"–aku mengambil kaleng soda dari tangan Sely–"Air mineral sana!" "Biarin sih!" Balas Sely, merebut balik kaleng soda hingga sebagian isinya berceceran di tanganku. "Mumpung masih bisa sekarang, nanti pasti ga akan ada lagi minuman pabrik yang bisa kita nikmatin," elaknya. "Halah terserah. Inget lo Sel kata gue, kita jangan mati," "Tiga kaleng mah ga akan mati juga, lagian beginian gulanya kan banyak banget... Lumayan buat nambah energi disaat begini kan?" "Babi, ngeyel,"–Aku menoel kaki Sely–"Yaudah suka-suka, tapi jawab dulu dong yang tadi." Balasku mengembalikan topik yang hampir teralih. "Pertanyaan yang mana?" "Ada apa dengan Sely dan mayat anak kecil?" Sely meneguk minuman soda tanpa membalas. "Cerita aja sih," bujukku. "Apa ini tentang...." Wajahnya sedikit berubah lebih kosong, kunyahan bolu di mulutnya melambat. "Aku mimpi mulu..." Sely menyandarkan kepalanya ke pohon pisang, wajahnya diarahkan ke langit, serentak dengan kedua kakinya yang dilipat. "Mimpi gimana?" "Mimpi..."–mulut Sely berhenti mengunyah–"Didatengin... Aji melulu." Akunya, lalu merubah tatapannya padaku. Aku sudah menduga ini tentang Aji, Sely ada tepat di depan Aji ketika dia direnggut recs. Aku mulai berfikir,  "Apakah aku dihantui kejadian itu juga?" Sebab, baru saja tadi kudidatangi sosok hitam dalam mimpi setengah sadar yang bercampur fenomena ketindihan. "Dia... Dateng udah jadi recs... Selalu begitu." Sely menarik nafas pendek, matanya terbuka lebar, menunjukan wajah terkejut. "Ri..." ujar Sely. "Eh? Kenapa lo?" "Ki-ki... ta–" Ucapnya terbata-bata. "Kita, biarin Aji kaya begitu Ri... Kita ga sempet cegah dia biar ga bangkit... Berarti dia–" "ENGGAK! GAK, GAK, GAK!" Singgahku yang langsung menggenggam lengan kanan Sely. "Ya ampun... Kita...." Lanjut Sely, kedua matanya berkaca-kaca, wajahnya ia tutupi dengan kedua tangannya. "Engga Sel!" bantahku. "Kita gak tau, mungkin aja dia kebal dari virusnya, mungkin dia langsung  tidur tenang di situ juga. Kalaupun... Kemungkinan terburuk... Percaya deh, kalo jasadnya udah diurus sama orang lain, dia pasti udah tidur tenang kok! Percaya itu, please." Ucapku berusaha menenangkan kegelisahan Sely. Jauh di dalam hati, aku jelas menyadari kemungkinan jasad Aji masih ada di luar sana, tak hancur dalam pengeboman, terus berkeliaran dengan tubuh mungil yang tercerai berai, belum bisa tidur dengan tenang. "Pa-pantesan... Sely mimpi ter–" "Udah," potongku. "Jangan begini pikirinnya... Lepasin aja Sel, ini bukan salah kamu, bukan salah siapa-siapa. Kalau begini cara pikir kita, takutnya justru semakin gak tenang buat kamu, buat kita, buat dia juga." "Sel, liat sini." Aku mengangkat dagunya agar ia menatapku. "Apa yang udah terjadi, di luar kapasitas kita. Kita gak bisa apa-apa selain terima, walaupun semengganggu itu. Tolong pelan-pelan, lepasin dia. Kenang dia dengan memori terbaik kita... Kaya waktu dia pertama kali masuk SD tanpa TK dulu, sampe lo harus temenin empat jam? Pulang-pulang dia eek di celana terus lo gamau cebokin di sekolah?" Ucapku sambil tertawa kecil, air tanpa sadar telah menggenang di kelopak mataku. "Atau pas kita ke waterboom, main di kolam berarus itu... Dia hanyut kebawa arus di atas pelampung bebek, terus Ibu panik, kita ketawa-tawa aja?" tambahku. Sely mulai terkikih-kikih dengan senyum yang irit. "Let's remember him for what he was, with all that beautiful things we've been through together. Not for how he left." (Ayo kenang dia dengan semua itu, dengan semua hal indah yang kita lalui bersama. Bukan dengan gimana cara dia pergi.) Ucapku, yang dibalas Sely dengan anggukan perlahan. "Dia udah pergi, kita masih di sini... Hidup kita masih lanjut, perjuangan kita gak sampe di sini. Inget Ibu, Sel. Beban dia sama beratnya, malah mungkin lebih berat dari kita." Sely perlahan membuka matanya yang basah, lalu memandangku. "Jangan nyerah dihantui rasa bersalah. Justru, jadiin rasa bersalah yang nyerang akal sehat kita ini jadi bahan bakar... Buat usaha kita pastiin Aji jadi beban terakhir Ibu yang harus dia tanggung, buat usaha kita tetap hidup biar bisa jaga satu sama lain, biar ga ada lagi yang harus nanggung beban... Teror, rasa bersalah. Tolong... Bantu gue Sel," ujarku. Sely seakan tertarik untuk bertanya "Apa yang bisa aku bantu?", "Tolong janji sama gue kalau lo gak bakal berhenti, janji kalo kita bakal saling jaga... Biar ga mati. Demi Ibu, Sel. Inget obrolan kita sebelumnya, kan?" Pintaku, lalu mengangkat jari kelingking tangan kananku. "Pinky swear?" (janji jari kelingking?) Ucapku sambil tersenyum lebar. Sely menatapku, lalu sedikit menarik ujung kanan bibirnya ke samping. "Pinky swear." Balas Sely, melingkari kelingkingnya dengan milikku. "Ciee, ngobrolin apa sih? Sampe janji-janjian gitu, haha." Ledek Ibu yang tiba-tiba muncul dari belakang kami. Sely mengusap-usap sekitar matanya, berusaha menghapus bekas tangisnya. "Nih minum buat berdua, air kelapa masih seger banget..." Ibu mengoper gelas kaleng yang dibawanya padaku. "Kelapa? Dapet dari mana pagi buta gini Bu?" Tanyaku, setelah menghirup aromanya. "Dari kemah sebelah sana tuh," –Ibu menunjuk jarinya–"Pasa syukuran katanya, gak ada keluarganya yang kenapa-kenapa," jelas Ibu. "Nih Sel, lebih sehat dari soda," ujarku. Gelas ini kuoper ke Sely, setelah meneguk tiga kali air kelapa di dalamnya. "Ngobrolin apa sih tadi sampe janji-janjian gitu? Kok gak dijawab," tanya Ibu. "Ehm... Ngobrolin...." Jawab Sely terbata-bata. "Rencana kita..." singgahku. "Rencana apa lagi?" Tanya Ibu, lalu duduk di sebelah kami. "Rencana... Pergi dari sini secepat mungkin?" karangku. "Pergi? Kenapa?" tanya Ibu. "Bukannya tujuan awal kita Sukabumi, Bu?" balas Sely mengingatkan. "Iya... Tapi lihat deh, kalau tempat ini bisa kita urus, potensinya besar banget..." jelas Ibu. "Ibu mau menetap?" tanya Sely. "Gak tau juga... Yang jelas Ayah ngedambain banget tempat ini, di sini segala ada. Segala macam tumbuhan, buah-buahan, tanahnya subur, suplai air dekat dan tidak akan kering. Kalau kita bangun ulang, kita pertahankan, kita bisa bangun kota sendiri dari ini loh..." terangnya. Dia tampaknya terpengaruh Ayah dan mulai mempercayai tempat ini dengan segala potensinya. "Ibu gak denger pak Dade tadi?" balas Sely. "Yang mana?" Ibu bertanya balik. "Recs itu reaktif sama suara... Ibu sadar kan bunyi bising dari pertempuran merebut kekuasaan ini sekeras apa? Bisa terdengar sampai mana?" sambungku. "Cepat atau lambat, mereka bakal berdatangan dari segala arah. Ga beberapa lagi, tapi bisa ribuan." "Jumlah kita banyak kan? Kita bisa pertahanin Ri," jawab Ibu. "Iya bisa, tapi sebarapa lama? Berapa gelombang?" balasku. "Yaudah, kita lihat dulu aja situasinya gimana. Kalau memungkinkan kita bertahan. Kalau gak bersahabat kita lanjut adu nasib, berangkat ke Sukabumi," balas Ibu. "Inget loh, jalan ke Sukabumi kita bakal pertaruhin semua lagi." "Diam di sini nunggu semua kacau lagi juga sama taruhannya, Bu," balasku. (deru rombongan mobil) Orang di sekitar kami beramai-ramai menghampiri suara rombongan mobil dari arah jalan. Mereka yang terlelap terbangun ketika suasana hening dan tenang diramaikan rombongan mobil. "Eh apaan sih itu," ujar Ibu.  "Pada ke sana tuh Bu," kata Sely. "Ayo cek coba," ajakku. Kami pun berdiri dan berjalan ke arah jalanan, bersamaan dengan ratusan penyintas lain. Aku menoleh ke belakang, Baron dan Ayah berada tepat di belakang kami, sementara yang lain baru terbangun dari tidur mereka. "Mari kita lihat kejutan apa lagi yang dunia punya." Ocehku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD