Act 19-1

1679 Words
                                                                                        Trauma Ari, 36 Jam Kemudian. “Pagi ini lebih dingin, sejuk gitu ya?” tanya Aldi. “Makanya gue pake jaket… Kirain perasaan gue aja,” balasku. Kami sedang berjalan berdua, menyusuri jalan di sebuah kompleks perumahan lain. Sama seperti di komplek rumah baru kami, terdapat kelangkaan kendaraan bermotor, maupun recs di sini. “Karena kebakaran padam kayanya ya? Atau karena kita lebih deket ke kaki bukit?” Tebaknya, sambil menunjuk Gunung Gede di sebelah barat. “Masa iya? Jauh banget kita dari taman nasionalnya, belasan kilometer ada kali. Kata gue sih karena mau musim hujan…” sangkalku. “Bener juga, udah Oktober ini ya? Gue gak inget lagi hari,” kata Aldi. “Belum sih, tapi kita udah di akhir bulan kayanya… Gue hitung-hitung, ini udah tiga minggu lebih semenjak hari evakuasi.” “Tanggal empat kan? Berarti sekarang… Tanggal dua puluhan.” “Yap, dan kita masih bertahan hidup. You ever think how awesome it is?” (Pernah kepikiran sehebat apa gak itu?) ujarku. “I guess no… Susah buat ngerasa bangga bisa tetep hidup, sementara semua keluarga gue gak bisa.” Jawab Aldi, aku berhenti melihat ke sana kemari dan menatapnya. “Di satu sisi kita bisa anggap mereka tenang dan beruntung, karena gak harus lalui kebangsatan apa yang udah kita lalui. Tapi di sisi lain, gimana bisa mereka tenang kalau meninggalnya penuh ketakutan, penuh sakit, dan jasad mereka masih mondar-mandir, mungkin bergabung sama gerombolan mayat kaya yang sering kita hadapin? Di mata orang lain bahkan jasad keluarga gue gak ada artinya… Just another recs wondering if they could find a meal to satisfy their unending hunger.” (Hanya recs biasa yang mencari makan untuk memenuhi rasa lapar yang tiada akhir.) Tutur Aldi. Aku mengangkat tangan kananku dengan ragu-ragu. “You’re right man.” (Lo gak salah.) Ucapku, lalu memegang pundaknya. “Sorry gue kadang lupa kalo gak semua orang punya latar belakang yang sama.”–Aku melepas genggamanku dan lanjut berjalan–“But hey, gue tau apa yang bisa bikin lo merasa hebat karena masih bertahan,” cetusku. Aldi menatapku, lalu menggerakan kepalanya ke atas. “Dinda lah… Arfan, Fitri juga. Apa lagi kalau bukan mereka?” Ujarku, sementara Aldi malah memalingkan wajahnya. “Gue tau lo ada masalah sama Fitri, tapi dia tetep keluarga itu. Mereka tuh sisa dari keluarga lo yang bisa selamat sampe sekarang, karena lo gak chicken out dari masalah yang hadang kita selama ini.” (Kabur.) “Gue aja gak tau apa gue butuh dia di sekitar,” balas Aldi. “Siapa, Fitri? Ya jelas lah lo butuh.” Ucapku di mulut, sementara pikiranku memaki “God damn teens.” (Dasar remaja.) “Lo gak hargain keberadaan dia cuma karena kalian lagi berantem mulu aja. Kalo lo bisa tenang dan ubek-ubek hati, pasti peduli juga. Okay lets say lo belom bisa maafan sama dia… Itu gak menghapus fakta bahwa mereka sisa dari keluarga lo yang masih bisa hidup karena lo berjuang juga. Lo udah melindungi garis keturunan kakek-nenek lo tuh. Menurut gue juga itu… Awesome. Ya gak?” tuturku. (Aldi menghela nafas) “Hm… Oke, masuk akal juga Bang. Beberapa bagian, terutama yang terakhir, gue rasa ada benernya,” balasnya. “Iyalah. Kalo bisa, lo coba mulai hargain apa yang masih ada Di. Nih ya… Setelah sejauh ini ke akhir zaman, gue yakin semua orang udah kehilangan seseorang. Tapi apa gunanya bawa beban kehilangan itu terus-terusan? Yang terpenting sekarang adalah apa yang kita punya. Lo tau kan adik gue meninggal di hari evakuasi? Tapi gue masih punya Sely, dan nyokap yang paling gue peduliin. Ketimbang menyerah sama memori buruk, yang bakal bikin trauma terpelihara… Gue selalu usaha buat terima yang udah terjadi, terus fokusin diri buat jaga mereka saat ini. Because that’s what matters the most.” (Karena itu yang paling penting.) Ungkapku. “Is that what’s this about? Nyari rumah buat bantuin Sely?” (Apa ini tujuannya?) tebak Aldi. Aku menatapnya lalu mengangguk perlahan. “Lo tau dia udah dua malem kaya begitu kan? Gue juga sebenernya tiap liat rumah itu dari halaman, atau balkon, selalu dapet hawa gak enak sih,” ujarku. “Iya, agak ngeri juga lagian ngeliat pocong beneran gitu. Kalo gue yang jadi lo juga pasti sama. Kata Arfan, si Fitri juga susah tidur dari kemarin…” kata Aldi. “Ha-ha, so you do care.” (Jadi lo emang peduli.) ejekku. “Halah,” balas Aldi. “Lagian, gue gak habis pikir kenapa ada keluarga yang tega tinggalin jenazah keluarganya di rumah duka.” Imbuhnya, mengalihkan pembicaraan. “Mungkin gak berniat begitu… Kayanya dia udah meninggal satu atau dua hari sebelum hari evakuasi, terus mau dikubur gak bisa karena semua kekacauan yang terjadi. Hal termudah yang bisa dilakuin keluarganya? Ya simpen di rumah duka, sementara mereka kabur ke Sukabumi,” terangku. “Bener juga… Kasian juga ya ditinggal gitu? Untung mereka gak balik ke rumah itu dan nemuin kerabatnya udah jadi pocong gentayangan, literally,” ujar Aldi. “Untung buat mereka, gak untung buat gue, Sely, Fitri. Bangke,” balasku. “On the bright side tho….” (Sisi baiknya….) Ucapku, sambil menunjuk ke rumah di sebelah kananku. “Wah, mewah juga selera lo,” kata Aldi. Aku menemukan sebuah rumah mewah bertingkat dua, beserta atap yang dipenuhi tanaman hias. Dari depan sudah tampak sebagian kolam berenang di halaman belakang, dengan air yang tampak keruh. Siapa yang bisa menolak kemewahan ini di era yang mati? Aku pun tanpa keraguan mulai mencoba membobol gerbang rumah tersebut, mengajak Aldi untuk memeriksa rumah itu bersamaku. Sely “AAAGH TOLOONG!” Tangan-tangan mayat hidup menjalar ke dalam mobil, merenggut tubuh kecil itu. “Wraargh!” (Suara tubuh yang tercabik-cabik) - “Mati lu b*****t!” “Dar-Dar-Dar!” Aku melubangi ulu hati lelaki itu, nyawanya tercabut tatkala tubuhnya tersungkur menimpa Ari. - “Dadaaah! Hahahahaha!” Tawa menyeramkan sosok anak kecil, ia pergi meninggalkanku bersama semua orang di mobil kecuali Reka. - “Roaaar… Wraagh! Tak-Tak!” Ruangan recs tak henti-hentinya bordering di seluruh arah angin. Salah dua dari mereka berhenti di depan wajahku, mengadu kedua giginya sembari menghirup tubuhku. Otot-ototku melemas, serangan panik tanpa ampun menghujam otakku. - Aku bisa mendengar darah mengalir dari pangkal jari kelingkingnya yang tercabik gigitan recs, rintihan pelan pun keluar dari mulutnya. “Srak!” Bunyi pisau membelah pergelangan tangan itu, seketika membuat ia kehilangan kesadaran. - Sesosok hantu pocong melompat keluar dari balik bingkai pintu. Tali-tali kain kafan yang membalutnya tampak terikat erat, wajahnya telah memucat dengan urat-urat mati yang mengemuka. Kedua matanya terbuka lebar dan menatapku, tatkala tubuhnya bangkit dari bungkuk menjadi tegap. Matanya menyala, lalu mulutnya membuka lebar. “Tolooong.” - “Aah!” Jeritku, seraya mataku membuka secara instan. Aku menoleh ke kiri, dan ke kanan, lalu menemukan Ibu sedang duduk sambil menyeduh minuman di cangkir. “Mimpi buruk lagi?” tanyanya. Aku mengangguk, sembari membangunkan tubuh dari sofa kulit ini. “Gak apa-apa… Kita emang gak bisa lepas dari pikiran negatif secepet itu, kok. Nih, minum teh.” Kata Ibu, menyodorkan cangkir berisi teh dengan tangan kanannya. Tangan kirinya ia istirahatkan di atas gagang kayu sofa, ujungnya tampak terbalut dengan perban putih. Mataku sontak berkaca-kaca, aku pun menghampiri Ibu dan memeluknya. “Maaf… Maafin Sely, Bu.”–Wajahku bersandar di pundaknya, tanganku memeluk erat–“Kalo bukan karena Sely ceroboh, Ibu gak bakal kaya begini.” Tuturku, sambil menangis. “Heeeh. Enggak, enggak… Gak boleh begitu.”–Ibu mengusap rambutku, lalu memposisikan wajahku di hadapannya–“Ibu tau apa resikonya hadang recs yang hampir gigit kamu malem itu. Itu sepenuhnya Ibu lakuin dengan kesadaran, bukan gak sengaja. Kalau kamu mau tau, sejak awal Ibu kena tembak, terus tau kita bakal hadapin gerombolan raksasa begitu… Ibu udah berkali-kali mikir buat relain diri, ngelindungin kamu atau Ari, kalau sampai bahaya mengancam kalian,” terangnya. “Noo. Ibu yang harusnya gak boleh begitu! Kita mestinya saling lindungi, bukan saling berkorban. Apa gunanya hidup karena Ibu korbanin diri, tapi kita kejebak sama Ayah? Kejebak sama rasa penyesalan? Kaya begini aja,”–Aku menunjuk tangan kiri Ibu–“Aku udah gak bisa tenang,” balasku. Ibu menoleh ke ruang depan rumah setelah mendengar itu, menyaksikan Ayah yang sedang duduk di bangku kayu sambil meneguk bir di pagi hari. “Aku gak mau kejebak sama dia, Bu.” Ujarku, saat Ibu kembali menatapku setelah menyaksikan Ayah yang merosot jatuh. “Padahal dulu dia baik…” keluh Ibu. “Bu, dulu gak ada mayat yang bisa bangkit lagi dan pengen makan orang-orang tersayang kita,” balasku. “Ibu gak kepikiran sampai sana sih, waktu itu. Kayanya kamu bener, kita mestinya saling lindungin bukan saling berkorban… Ya, harus berkorban juga sih pada suatu titik. Tapi, kayanya lebih baik kalau berkorbannya gak melibatkan kematian… Iya gak?” tanya Ibu. “Ibu gak tau Ayah bakal jadi begini… Dulu sebelum semua ini dimulai kan kita gak pernah hidup susah sama dia, gak pernah diuji tekanan berat. Kalau Ibu tau, tangan kiri jadi kaya begini bakal lebih Ibu hargain lagi,” tuturnya. “Jadi… Ibu ada penyesalan, gak berkorban buat kita, malah kehilangan tangan?” tanyaku. “Awalnya? Pas baru sadar… Iya. Ibu gak tahan sama semua sakit yang diderita, dari luka tembak, terus bangun-bangun tangan nyeri terus-terusan. Belum lagi kalau keinget rasanya digigit recs sampai jari kebawa. Aduh,”–Tubuh Ibu menggeliat sekejap–“Ngilu. Tapi sekarang, Ibu sadar kok. Gantian Ibu yang harus minta maaf,” ucapnya. “Ibu gak hutang maaf ke aku, karena aku tau ini salahku juga. Mana mungkin Sely bisa marah ke Ibu? Tapi Ari…” terangku. “Kenapa?” kata Ibu. “Dia nyalahin dirinya sendiri, banget. Kerasa kan, dia jaga jarak dan gak berani ngomong sama Ibu?” ujarku. Ibu mengangguk-angguk, sambil mengalihkan pandangannya ke titik lain. "Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Lagi sama Aldi, cari bahan makanan buat dijarah katanya sih," jawab Ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD