Act 18-4

1314 Words
Ari Kami pun bergegas memasuki rumah masing-masing, sebelum langit berubah menjadi hitam. Jam tanganku menunjukan pukul 17:40 saat Ari membuka gerbang, dan bersiap menerobos pintu masuk rumah ini. “Brug!” Pintu rumah didobrak. “Aaw, kampret.” Batin Ari, sambil menggenggam dengkul kakinya. Aku melangkahinya, menyalakan senter ke depan di tangan kiri, dan tangan kanan mencengkeram pisau lipat dengan bilah yang mengarah ke bawah. “Lo harus latihan lagi cara dobrak pintu, hehe.” Ejekku menertawakan Ari. “Ngomongnya kaya bisa aja lo setan,” balasnya. Kami memeriksa ruang demi ruang di dalam rumah ini. Ari bergerak sendirian, sementara Fitri bagian membuka pintu ruangan yang harus kuamankan. Untungnya, tak terlalu banyak ruangan dan tak ada lantai kedua di rumah pertama ini. Kami pun melangkah keluar, menuju rumah lain di sebelah. Aku melihat Dinda dan yang lainnya sedang berpindah ke rumah lain juga. “Jadi?” Sindirku pada Fitri, sementara Ari membuka gerbang. “Kalo lo mau ngobrol, ini banyak ruang buat bicara…” ujarku. “Loh… Gak dikunci.” Kata Ari, saat menekan gagang pintu. Kami saling menatap sejenak, lalu Ari mendorong perlahan pintu itu. Senter kami menyorot ke dalam rumah, tampak tak ada siapapun di sana. Sebuah kasur beserta kain batik terampar di ruangan terdepan. Kami melangkah masuk perlahan, bau busuk segera tercium hidungku dalam lima langkah pertama. “What the hell? Ugh.” Gerutu Ari, lalu buru-buru memasang masker di wajahnya. “Aah, baunya tetep kecium.” Keluhku, setelah ikut memakai masker. “Berarti ada sesuatu dong di sini?” tanya Fitri. “Iya, hati-hati. Jangan pisah kejauhan kita, mungkin ada recs di dalem sini,” ujar Ari. Kami mulai memeriksa ruangan demi ruangan, tanpa bisa menerka darimana asal bau busuk ini. “Keliatan gak sih?” Tanya Fitri tiba-tiba, sesaat setelah membukakan pintu. “Hah? Lo liat apa?” Balasku kebingungan, sembari mencari-cari sesuatu di kamar tidur ini. “Bukan, bukan di sini… Di gue.” Jawabnya. “Gue merasa, gue tuh yang paling sensitif di sini. Special snowflake, semua hal bikin gue gak nyaman dan tersinggung. Hell, jujur aja ya… Kakak lo pun sering bikin gue sebel omongannya,” tutur Fitri. “Eh, apaan?” Timbrung Ari, ia baru mengamankan ruangan lain. “Maaf ya, Ri. Abisnya gue tuh gak suka banget denger omongan-omongan pesimis, gak tau… Mungkin karena gue model anak yang suka dibilang ambisius. Orang suka gampang kasih label ini, itu, tapi jarang banget yang mau ngerti kenapa. Gue selalu disuruh jadi orang yang optimis, punya rencana, gak boleh punya keraguan, bla-bla-bla. Dari kecil, setiap gue merasa gak percaya diri tuh pasti diomelin bokap. Katanya, ‘Kamu gak boleh jadi orang yang mandang dunia ke bawah, kalau mau sukses. Harus lihat apa yang ada di atas, biar selalu termotivasi buat kejar mereka yang di atas, jadi yang terbaik.’” Tutur Fitri. “Nyokap gue? Gak ada bedanya… Malah tiap gue capek dan pengen ngeluh, dikasih ceramah panjang yang kadang-kadang juga bikin sedih. Dari dulu gue gak diizinin buat mengeluh, dan gue gak suka tiap orang-orang dengan mudahnya ngeluh. Dikit-dikit ngeluh, rasanya kaya bawa gue jatuh tiap dengernya. Apalagi keluhannya dibalut bercandaan, kaya… Please gue sadar masalah yang kita hadapin apa, gak ada gunanya bawa beban itu mulu dan racunin orang di sekitar dengannya.” Ujar Fitri, menghentikan sejenak proses pemeriksaan rumah ini. Ari tak membalas, ia justru lanjut memeriksa ruangan berikutnya. “Dia gak marah, tenang aja.” Ujarku, saat Fitri menyaksikan Ari melangkah keluar dari perbincangan ini. “Gue ngerti kok, Fit… Emang udah curiga sih sebelumnya, masalahnya gak jauh dari ini. Tapi gue gak tau pemicunya apa aja…” imbuhku. “Dari semua orang selain lo, cuma Arfan doang yang ngerti. Dia tau banget nyokap dan bokap gue gimana soalnya. Dinda gak tau, jadi kaya gak mau ngerti dan malah ngejauhin gitu. Aldi? Ah, gue sebel banget sama sifat dia… Toxic banget, lo liat sendiri tadi dia bahkan nyalah-nyalahin orang buat petaka yang terjadi ya kan?” terang Fitri. “Iya tau. Gue mau ngasih lo perspektif lain, boleh gak?” tanyaku. Fitri membalas dengan mengangguk. “Oke, gak akan marah ya? Hehe. Tapi, sebelom ngomong panjang lebar… Gue mau kasih saran, coba deh lo cerita dan jujur ke Dinda. Siapa tau dia bakal ngerti, terus bisa belain lo kalo Aldi banyak bacot,” saranku. “Iya deh, nanti di rumah… Temenin gue tapi ya? Gue kaya gak berani buat mulai percakapan se–“ Omongan Fitri terhenti, bibirnya terbuka dan kaku, dan kedua matanya terbuka lebar melihat sesuatu. “F- Fit?” panggilku. Aku pun menoleh perlahan ke arah matanya memandang, diikuti dengan sorotan senterku. “P-po…?” gagapku. Tubuhku membeku, suara pun tak mampu keluar dari kerongkonganku. Debaran kencang di dadaku terasa, seraya keringat mulai mengucur dari dahiku. Aku menyaksikan sesosok mengerikan yang muncul dari balik ruangan belakang rumah. Tubuhnya terbalut kain putih, darah yang telah menghitam membanjur di tubuhnya, mukanya pucat dengan urat-urat hitam nampak jelas di kulitnya. Aku dan Fitri baru saja melihat sosok pocong.                                                                                             ***** Aku melangkah keluar dari kamar tidur ini, mendapati Sely dan Fitri yang kaku memandangi sesuatu di sebelah kananku. “B-b*****t! Apaan itu!” Gumamku, suara tak dapat keluar dari mulutku. Sesosok hantu pocong berdiri tepat di bingkai pintu, tubuhnya membungkuk menghadap Sely dan Fitri. Cahaya senter menampakan dengan jelas kain kafan lusuhnya mengikat erat kedua tangan dan kakinya, bau busuk menyengat datang tepat dari sana. Tubuhku ikut membeku, jantung berdebar lebih cepat, semua bulu-bulu halusku berdiri tegang. Mataku hanya bisa memandangi sosok hantu yang paling kutakuti itu, memindai dari ujung kaki hingga ke wajah. “Tunggu dulu… I-itu….” Pikirku, menyadari mata pocong itu putih kekuningan. Senyawa glutamate dari amigdala yang membuatku membeku seakan mengalir keluar secara perlahan dari otak. Kedua tanganku terasa lebih ringan, aku pun meraih senapan MCX yang mencantol di pundak, lalu mengarahkan pisir dan pejera ke kepala sosok itu. “DAR!” Aku menembak sosok itu tepat di dahinya, tatkala kepalanya secara perlahan menoleh padaku. Cairan merah gelap terciprat ke dinding di sebelahnya, sosok itu terjatuh dan menimpa meja kaca. Nafasku kembali normal, sementara aku bersandar ke tembok untuk mengembalikan tenaga yang sesaat menghilang. Aku melihat Sely dan Fitri tak lagi membeku, mereka segera meraih bangku dari meja makan di depannya, lalu berupaya mengatur ulang nafas. (Suara langkah kaki yang mendekat dengan cepat) “Halo? Kalian gak apa-apa?” Tanya Baron dari pintu masuk rumah. Ia dan ketiga suadara Fitri pun menghampiri kami, sambil menyorot senter ke sana ke mari. “Gila, bau banget!” keluh Aldi. “Holy s**t,” batin Arfan. Mereka terpana melihat mayat terbungkus kain kafan tergeletak di ujung ruang makan. “Geez, aman Ri?” Tanya Baron, sambil menjulurkan tangan padaku. “Apa? Rumahnya? Kayanya sih iya... Tinggal ruangan itu,”–Aku menunjuk pintu di sebelah tubuh sosok pocong–“Sama dapur. Tapi itu pocong muncul dari sana, jadi udah pasti ada dia doang.” Balasku, sambil berdiri dibantu Baron. “Yeah? How about you?” (Iya? Kalau lo?) tanya Baron. Aku mengangkat kedua pundak, tanpa menjawabnya. “Kayanya idiom ‘you look as if you’ve seen a ghost’ cocok banget buat lo ya.” (Kamu seperti orang yang baru melihat hantu) Ejek Baron, sambil mendekati tubuh sosok pocong. Baron membuka pintu di sebelahnya, ia memeriksa ruang yang tampak seperti gudang itu. Kami pun keluar dari rumah setelah Baron memeriksa ruangan terakhir, ia membawa sebuah roll kain pancing yang ditemukan di sana. Baron, Dinda, Aldi, dan Arfan kembali melanjutkan pemeriksaan rumah, sementara aku, Sely dan Fitri perlu menghirup udara segar dulu sebelum melanjutkan ke rumah selanjutnya. Ini adalah pengalaman paling mendebarkan kedua bagiku, setelah harus menembus gerombolan besar recs di Jatiluhur. Bagiku, hal kedua yang lebih menyeramkan dari kawanan recs yang siap membunuhmu perlahan, adalah sosok mayat yang terbalut kain kafan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD