Act 10-2

894 Words
Sely (hembus nafas yang tergesa-gesa) "Sel! Sel! Tunggu!" Ucap Dinda yang menarik tanganku, lalu menoleh ke arah Fitri. "Duh... Ga... Kuat..." tutur Fitri sambil membungkuk dengan suara yang kudung. "Kita gapunya waktu lagi ini," balas Ibu. Kami sedang berlari, menjauhi posisi kami berlabuh yang segera didatangi puluhan polisi bersenjata lengkap yang siap membunuh karena kawan mereka telah kami bunuh. "Bisa Fit! Ayo dibantuin aja ayo!" ujarku. "Kita belom cukup jauh." Setelah penyerangan pertama, kami berkumpul kembali dengan anggota penuh. Lewat diskusi sangat singkat, kami telah memutuskan jika yang akan ikut dalam penyerbuan ke benteng polisi hanya yang laki-laki saja, sementara kami diperintahkan Ayah untuk pergi dari posisi mobil kami karena bala bantuan polisi akan menyebar ke segala arah, "menyapu bersih" kekacauan yang kami buat ini. Terdengar seksis memang, tapi kenyataannya hanya mereka yang memang fit untuk menghadapi ini. Mereka sangat yakin menang, sampai tidak menentukan dimana kita akan bertemu kembali jika penyerangan itu gagal. Setelah 5 menit berbincang, Ari, Ayah, Arfan, Aldi, dan Baron segera pergi untuk ikut menyerbu benteng polisi bersama kelompok-kelompok lain yang tengah mengendap-endap bersiap menyerang, sementara beberapa kelompok lain membuat pengalihan tidak jauh dari tempat-tempat penyerangan pertama. (suara semak belukar yang bergerak) Aku menoleh ke asal suara, ada sesuatu yang bergerak cepat menembus semak belukar di belakang kami, "Psst! Nunduk!" bisikku. Ibu mengarahkan satu-satunya pistol yang kami punya ke arah semak, aku melihat ke sekitar, hampir tak kulihat lagi orang-orang yang berlarian menjauh dari lahan pertempuran. "Mungkin kita yang terakhir..." pikirku. Gerak di balik semak belukar itu menjalar, semakin mendekat tepat ke arah kami. Aku menatap Ibu, wajahnya yang diterangi sinar senja terlihat mengucurkan keringat, beban pertanggung jawaban atas nyawa kami mungkin mengganggunya. Tek-Tek. Bunyi ranting yang terinjak di dekatku. "Meow." "Fiuh...." Hela nafas Ibu, rupanya itu hanyalah seekor kucing hutan. Ibu menatapku, dan kami tertawa. Meski tak seberapa, tapi ini tawa pertamanya semenjak... Aji. "Kucing juga bisa makan kalian loh, jangan salah!" Guraunya, sembari menoleh ke yang lain. Kami kembali berdiri, akupun membersihkan tanah yang menempel di tubuh dan pakaianku. "Padahal bisa tanpa kotor-kotoran gini ya tadi...." balas Fitri bergurau. "Sama tanah aja takut gimana sama mayat lo Fit," ujar Dinda. "Eh maaf, anda sama saya banyakan mana ya semalem?" Balas Fitri, mengungkit pagi sebelumnya dimana kami harus berhadapan dengan puluhan mayat hidup "Berapa gitu Fit? lima doang bukannya? Hehe," pamerku. Entah bagaimana pagi itu bukannya menjadi teror bagi kami, tapi justru pengangkat moral, membawa harapan bahwa kami bisa melalui ini, melawan mereka. Meski, mimpiku kemarin rasanya akan menghantuiku sampai entah kapan. "Jangan pamer dulu sebelum kita pergi dari sini." Sambung Reka mengingatkan situasi kami. "Ayo lanjut lagi, Fitri udah kuat lagi kan?" perintah Ibu. "Semoga aja Mbak," balas Fitri. "Kuatlah, kan udah rebahan... Di tanah," balasku. KRAK! Bunyi ranting patah terdengar dari belakang kami sesaat setelah beberapa langkah kami berjalan, aku segera menengok. "BU!" jeritku. Seseorang tiba-tiba muncul dari semak-semak di belakang kami, Ibu yang sebelumnya hanya sedikit menolehkan kepalanya langsung memutar badannya dan mengarahkan pistol. "BERHENTI!" ujar Ibu. "JA-JANGAN-TEMBAK!" balas sesosok lelaki. "Siapa kamu!" Tanya Ibu sementara kami berlindung di balik pohon-pohon terdekat, "Bukan! Bukan polisi!" balasnya. Ibu lalu menatap kami sekejap, seakan meminta persetujuan untuk menembak atau membiarkannya. DAR! Letusan senjata menyalak, sosok itu langsung terjatuh. Ibu melihat pistol yang dipegangnya dengan kebingungan. "KAKAK!" Jerit seorang perempuan dari balik semak, suaranya terdengar seperti anak kecil. Seorang anak perempuan berlari menghampiri tubuh lelaki itu yang sudah lemas bersimbah darah. "Kenapa..."–Seorang wanita dewasa muncul mengikuti anak itu– "Kamu tembak anak saya...." Ucapnya dengan terbata-bata, wajahnya nampak bercampur amarah dan kesedihan yang terarah pada Ibu. "B-Bu... Bukan saya..." balas Ibu. Dar! Dar! Tembakan kembali menyalak disertai desis peluru yang kencang. "IBU!" Jeritku. Ibu terjatuh ke balik pohon, serpihan kayu dan debu dari pohon berterbangan didera peluru. "Tiarap! Tiarap!" "Bu!" Jeritku dari balik pohon, sementara peluru berterbangan di sekitar kami. "Gapapa! Ga kena!" Balas Ibu yang berlindung di balik pohon jati tebal itu. "Cewek semua Bang!" Suara seorang pria dari balik semak. "Maju! Maju merapat! Amankan!" Beberapa orang berseragam muncul dari balik semak, dan meringsik maju sambil menodongkan senjata ke arah kami. "Hayo! Kemana kamu! Gerak saya tembak!" Ancam salah satu dari mereka. "Weh, Bang! Pistol! Bawa pistol dia." Ujar salah seorang polisi yang mengamankan Ibu. "Geledah semua geledah!" perintah pemimpin mereka. "Dapat dari mana kamu? Bunuh anggota kamu ya?!" ujarnya sambil menampar Ibu. "Mana teman-teman kalian!" bentak salah seorang polisi ke Reka. Mereka menyeret kami dengan kasar dan mengumpulkan kami dalam lingkaran, mulutku membisu, tidak ada satu katapun yang keluar dariku. "Maybe this is it."  (Mungkin ini waktunya.) Pikirku, menerima nasib apapun yang akan kami dapat. "Kijang dua amankan mereka. Kijang satu, semua ikuti saya lanjutkan pengejaran!" perintah komandan mereka. Sebagian dari polisi itu segera meninggalkan kami, sementara 5 sisanya mengamankan kami. "Eh! Berengsek ya lo!" Bentak Reka tak lama setelah para polisi berpencar. Aku menoleh ke Reka, ia dikerumuni tiga polisi,  air liur dimuntahkan dari mulutnya ke arah salah satu polisi. "Eh! Kok gitu sih, Sayang?" ujar polisi yang diludahinya, sementara dua lainnya menertawakan. "Mending ludahinnya ke sini...." Lanjutnya yang langsung menggenggam kepala Reka dan hendak menariknya. Polisi b***t itu tak mengenakan baju, ia hanya mengenakan rompi hitam, sementara kedua kawannya mengenakan kaus abu-abu, dan jaket hitam. "HEI!" Bentak salah seorang polisi yang mengenakan jaket hijau di balik rompinya, ia menarik rompi polisi b***t itu, lalu mendorongnya hingga terjatuh.  "Wei..." Sahut polisi berkaus abu dan jaket hitam yang mengerumuni Reka, sambil memelototi polisi berjaket hijau. "Apaan sih lu Bay? Mau jadi pahlawan kesiangan?" bentak polisi yang tak mengenakan baju. "Liat woi! Kita baru aja bunuh Ibu-Ibu sama anaknya, sekarang begini? Gak ada rasa bersalah gitu?" Balas polisi berjaket hijau. "Halah... Mereka juga bunuh anggota kita, mata bayar mata!" "Sudah-sudah! Kaya anak kampung kalian, gak usah ributsekarang bisa?" Ujar salah satu polisi yang sedang mengintrogasi Ibu, ia satu-satunya yang mengenakan seragam berpangkat Brigpol. "Mending bantu Saya intro aja sini. Daripada kampungan git–" BOOM! Bunyi ledakan keras memotong pembicaraannya. (Rentetan suara tembak menembak) BOOM! Suara ledakan kedua terdengar, seiring dengan bergemuruhnya bunyi tembakan yang saling menyaut.  Aku menoleh ke timur di mana benteng itu berada, asap hitam pekat mengepul tinggi di udara. "There we go." (Itu dia.) Gumamku, melihat pertempuran merebut kuasa tirani berseragam yang telah dimulai.                                                                                         *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD