Act 10-1

1138 Words
                                                                                            Fallen Ari Semua orang bersiap di tempat mereka masing-masing, wajah setiap orang yang dapat kulihat menunjukan tekad, ketakutan, dan kegeraman bercampur menjadi satu. Orang-orang tampak begitu termotivasi untuk melawan, meski sadar kematian ada di depan mata mereka. Waktunya telah tiba, kepulan api dan asap tebal menjulang tinggi, menerangi langit dari tiga titik yang berbeda. Massa mengumpulkan kayu, dan apapun yang mudah dibakar lalu membakarnya di atas mobil. Alarm mobil menyala terus menerus hingga api ikut membakar seluruh mobil, menghasilkan api yang besar. Hal yang sama dilakukan di tiga lokasi berbeda, langit malam Jatiluhur menyalak. Kelompok pemberontak telah membuat skenario, ratusan massa dikoordinasikan untuk berkumpul di depan benteng polisi, membuat keramaian, lalu ketika api dikobarkan, mereka akan berpura-pura api itu menyita perhatian massa dan selanjutnya bubar untuk menghampiri tiga titik api besar itu. Rencana mereka rupanya berhasil, kelompok yang memantau aktivitas gerbang benteng melihat pintu gerbang dibuka dan puluhan polisi keluar untuk berjaga di depan sebuah deretan kendaraan. Polisi mengeluarkan unit penanggulangan huru-hara beserta enam mobil dan enam truk dalam merespon keadaan. Kedua belas mobil polisi dibagi menuju titik kericuhan buatan, 4 diantaranya saat ini tengah mendekati titik pengepungan yang dekat dari posisi mobil kami terparkir. (deru mesin mobil) Cahaya lampu sorot mobil dari arah barat, tepatnya dari benteng polisi, membutakan mataku sekejap. Dua mobil taktis beserta 2 truk berisi puluhan polisi bertameng menghampiri. Puluhan hingga ratusan orang berkerumun, membuat lingkaran besar mengelilingi tumpukan barang yang menghidupkan api besar ini. Beberapa orang terlihat bergerak perlahan di antara kerumunan, seraya mobil-mobil polisi kian mendekat. Dar! Dar! Da-da-da-da-dar! Letusan suara tembakan mengagetkan hampir semua orang, lingkaran massa yang sengaja dibentuk ini hampir buyar. Polisi memuntahkan peluru ke udara berkali-kali, kerumunan orang di depan mobil-mobil polisi hampir buyar tak teratur, namun pemberontak berhasil menenangkan dan tetap menggerakan kerumunan di depan mobil polisi secara teratur. Mereka membuka jalan perlahan untuk iringan mobil polisi, mobil-mobil itu segera mendekati kobaran api besar, sambil menurunkan puluhan pasukan bertameng dan senapan mesin siap tembak untuk mengamankan area sekitar iringan mobil, termasuk menahan massa di belakang mereka untuk tetap membuka jalan bagi mereka. Aku melihat beberapa orang mulai bergerak dengan panik di antara kerumunan, polisi menjaga jalan keluar mereka tak pernah termasuk dalam bagian rencana pemberontak. "Oh sialan," gumamku. Aku di sini bersama Ayah, Baron, Reka, Sely, dan Arfan, berdiri di sebelah parit, di antara ratusan orang tanpa ada jalan keluar. Jika ini tak berjalan sesuai rencana, kami akan terjebak dalam pembantaian, dan parit selokan menjijikan di depan kami hanya satu-satunya tempat bernaung. Kisruh di sini semakin riuh, polisi mulai menancap cakram mereka, mengamankan posisi mereka dari ancaman massa. Mereka membentuk barisan dengan tameng di kedua sisi mobil taktis, beberapa polisi bersenapan mulai membidik massa. Aku melihat anggota pemberontak tengah mempersiapkan serangan pertama di antara kerumunan. Whuuuzh! Sebuah molotov meledak di atas truk kedua yang berhenti di depan truk pertama yang sudah menurunkan pasukan. "AAAH!" "HUAAH!!" "AIR! AIR!" Jerit para polisi yang hendak melompat dari truk itu namun lebih dulu terbakar molotov,  Api membakar rompi mereka. "Oke... Oke..." ujar Baron. "Parit! Parit! Masuk!" perintahnya, merespon kekacauan yang segera menghampiri kami. Letusan suara tembakan berdering ratusan kali dalam beberapa detik, teriakan entah semangat tempur atau tangis kematian bersemarak di sekitar kami. "Panggil bantuan! Panggil bantuan!" Teriakan para polisi yang menangisi nyawa mereka terdengar berkali-kali dari arah truk. Baron memunculkan kepalanya dari parit untuk melihat keadaan, aku mengikutinya. Beberapa polisi terlihat sedang bertaruh nyawa dengan orang-orang bersenjata tajam, mereka bertarung dengan tangan. Dzt! Dzt! Bunyi desis peluru. "Gila!" Umpat Baron setelah sebuah peluru mendarat di depan kami, memuntahkan tanah dan debu ke arah kami. "Di parit! Di parit!" Seru seorang polisi yang menghampiri kami dan menodong senjatanya, beberapa polisi lain ikut menembaki sambil menghampiri parit. Di sepanjang parit ini, banyak penyintas lain yang juga berlindung di sebelah kami saat kekacauan pecah. "Lawan sekarang lawan!" perintah Ayah. Ia sontak berdiri dan melempar sebilah arit ke arah kepala polisi itu. Arit itu mengenai wajahnya, ia terlihat kehilangan kuda-kuda. Aku segera melompat keluar dari parit dan menarik kaki polisi itu ke arah parit. "BAR! TARIK!" Ucapku meminta bantuan Baron, Baron langsung memahamiku dan menarik polisi itu ke dalam parit. "Ambil itu senjatanya!" Perintah Ayah untuk merebut senjata polisi itu. Aku kembali melompat ke parit, dan segera menarik senjata AK101 yang masih digenggamnya kuat, sementara Baron mencekik dan berusaha menikam perutnya berkali-kali. "HOI! AWAS DI ATAS!" jerit Arfan. Aku menengok ke atas dan melihat dua polisi berlari ke arah kami dan siap melontarkan timah panas.  Sely tiba-tiba mendorongku, ia dengan cepat mengambil pistol yang terletak di pinggang polisi ini. Dar! Dar! Dar! Sely menembaki d**a polisi yang hendak menembak kami, ia terjatuh dan mengerang kesakitan. Aku tak melihat apakah Sely mengenai tubuhnya atau hanya rompi anti pelurunya.  (bunyi tali yang terpotong) "RI! AMBIL!" Seru Baron yang rupanya memotong tali senjata AK-101 milik polisi ini. Aku segera mengangkat senjata itu dan secepat mungkin memuntahkan peluru ke arah polisi ketiga yang telah membidik Sely. Tembakan pertama meleset, ia sontak merubah arah senjatanya kepadaku. Kami saling menembaki bersamaan, namun posisi dia lebih terbuka sementara aku hanya memunculkan sebagian kecil tubuh. Peluru keduaku melubangi wajahnya, peluru ketiga mengenai lehernya, ia langsung terjatuh ke arah belakang. "Ri?! Gak apa-apa Ri?" Tanya Sely, sementara Baron memandangi dengan cemas. Aku meraba kepala sambil memperhatikan seluruh tubuhku, tidak ada darah yang mengalir. Ternyata saat ini bukan ajalku, peluru polisi tadi benar-benar meleset tak sedikitpun menyentuh kulitku meski bidikannya sudah sangat solid. "Belum waktunya dipanggil." Gurauku disertai sedikit senyuman lega di tengah kekacauan ini. "Ayo ambil senjatanya!" perintah Ayah. "Maju! Ambil aja! Ari lindungin!" balasku. Belasan tembakan menyalak dari laras senjataku, polisi yang bertahan di sekitar truk terlihat tercerai berai dan mencari perlindungan dari serangan massa dan pemberontak. Aku berusaha memberi perlindungan untuk Ayah, Baron, dan Arfan yang hendak mengambil tiga pucuk senjata yang tergeletak di depan kami. "Dar! Dar! Dar!" Ayah yang baru memegang senjata segera melontarkan tiga peluru ke posisi polisi, sementara Baron dan Arfan berlari dan melompat kembali ke parit. Tiga bom Molotov meledak tepat di kerumunan polisi yang bertahan, membakar hidup-hidup polisi-polisi itu. Orang-orang yang telah merebut senjata terlihat mendekati para polisi sambil melontarkan tembakan sebanyak mungkin, menyelesaikan penderitaan polisi yang dilibas api. "Ayo ikutin! Maju kita!" perintah Ayah melihat pertahanan polisi yang telah hancur lebur, seraya belasan orang bersenjata api rampasan mendekati posisi polisi, diikuti puluhan orang bersenjata tajam di belakangnya. Aku, Baron, Arfan, dan diikuti Sely yang berlindung di balik kami mengikuti pergerakan massa, beberapa kali kami menembaki truk polisi. Aku melihat dengan jelas Baron menembak mati polisi yang sedang berlari tak karuan lantaran tubuhnya sedang dilahap api besar. Entah bagaimana ini teradi... Tapi kita menang, setidaknya untuk saat ini. Hiruk pikuk teriakan gembira massa mewarnai pertempuran ini, lafadz-lafadz memuja-muji Allah terdengar lantang di mana-mana. Rasanya, kami tengah berada di tengah pertempuran di Timur Tengah. Orang-orang segera merebut senjata dan munisi yang dibawa polisi-polisi ini, kami kemudian dikoordinasikan untuk dipecah menjadi dua kelompok. Setengah menuju titik kumpul di gerbang utama, setengah lagi menjadi pengalih pasukan bantuan. Kami memilih untuk pergi ke gerbang. Seberdarah apapun pertempuran di gerbang nanti, kami harus hadapi, karena barang-barang yang para tiran itu rebut adalah alat-alat utama kami untuk selamat lebih lama di dunia yang mati. "Time to take what's ours," (Saatnya mengambil milik kita,) Ujar Baron sambil mengecek ulang kondisi senjatanya, dalam perjalanan menuju titik kumpul serbuan terakhir.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD