Act 9-3

539 Words
Ari Arlojiku menunjukan pukul 09:00 pagi, memasuki hari ke lima pasca segala kesengsaraan turun dari neraka. Kejadian semalam dan pagi ini, dimana polisi lebih sudi menumpahkan pelurunya kepada kami ketimbang mayat hidup, benar-benar memicu kemarahan bagi semua orang yang mengungsi di sini. Barang dicuri oleh polisi adalah satu hal, tapi dibantai dan dibiarkan disantap oleh mayat hidup adalah hal lain. Kelompok yang merencanakan pemberontakan sejak kemarin mengambil paling banyak keuntungan di sini. Mereka secara instan mendapat suara rakyat, saat ini anggota kelompok itu sedang di sebar ke seluruh kemah yang berdiri di sekitar sini untuk mengabarkan rencana pemberontakan besar-besaran, sekaligus merekrut warga untuk ikut serta melawan penidas dan pembunuh masyarakat itu. Tak ada pembagian makanan pagi ini, polisi-polisi itu mungkin takut dihabisi massa begitu mereka keluar dari dinding-dinding mereka. Briptu Wisnu bahkan belum menepati janjinya kemarin hingga kini, kami benar-benar terjebak di sini. Situasi semakin memanas tanpa adanya makanan, semua orang semakin bertekad untuk melawan, kami pun tak melihat pilihan lain selain melawan. "Hey! Sini kumpul semua." Pinta Ayah yang baru tiba dan menghampiri kami. Dia dan Baron baru saja berhubungan dengan perwakilan pemberontak, yang sedang menyandangi kemah-kemah di pepohonan dekat kami. Kami berkumpul di depan mobil, dengan perut keroncongan dan empat teguk air minum saja kami dipaksa menghadapi situasi ini. "Baik denger ya... Ini rencana mereka ngelawan polisi-polisi penjajah itu," ujar Ayah. "Mereka bakal buat kekacauan di tiga titik yang ngundang polisi ngirim beberapa regu huru-hara, mereka akan pancing keluar polisi-polisi itu. Saat mereka ada di tujuan, langsung nanti sama warga yang kemah di sekitar bakal ditutup jalur kembali mereka, kepung mereka, baru hajar." tuturnya. "Hajar... Bunuh?" tanya Ibu. "Bebas. Hajar, sekap, bunuh, apapun yang pantas buat mereka," balas Ayah. "Jadi nanti setelah dikepung, semua orang harus nyerang mereka. Semua. Kita perlu jumlah buat menang lawan senjata mereka. Dari sana kita bakal dapet senjata mereka." tambahnya. "Terus?" sahut Ibu. "Itu rencana awal," balas Baron. "Setelah dapetin senjata, mereka bakal serbu benteng polisi itu pake truk-truk yang siap diledakin," tambahnya. "Ledakin? Pake apa?" tanyaku. "Tangki bensin dan minyak tanah, tiga sampai empat mobil dan truk bakal nabrakin diri pagi besok buat ledakin gerbang dan apapun yang ada di balik gerbang. Nanti semua yang bersenjata bakal masuk nyerbu duluan, yang ga pegang senjata api pakai senjata tajam menyusul di belakang rombongan bersenjata api rampasan," tutur Baron. "Jadi, ini yang bakal terjadi... Kita ikut serbu masuk, cari barang-barang kita, ambil. Kalau perlu curi mobil polisi, lalu kita pergi jauh-jauh dari sini... Gitu?" Ujarku, Baron mengangguk padaku. "Kalau serangannya pagi, terus yang pancing regu PHH keluar itu kapan?" tanya Ibu. "Malam ini, tepat jam delapan. Salah satu titik penyerbuannya dekat sini, jadi mending kita siap-siap. Ini bakal jadi perlawanan umum, hampir semua yang ada di sini setuju buat gabung melawan." ujar Ayah. Kami punya waktu 11 jam untuk mempersiapkan perang besar. Ribuan warga kelaparan dan kehausan bermodal senjata tajam, berhadapan dengan polisi bersenjata lengkap, yang konon berjumlah setengah battalion atau sekitar 400-600 orang. Kami hanya memiliki lima bungkus mie instan, kuharap cukup untuk sepuluh orang hingga kami berhasil merebut benteng itu. Segala tenaga yang tersisa perlu disimpan untuk penyerangan sepanjang malam nanti. Hari ini adalah hari kelima, dan kami sudah terlibat dengan konflik bersenjata pertama dalam perjalanan kami mencari rumah baru di era yang mati. "Saling jaga satu sama lain, saling lindungi. Inget, Tuhan selalu ada di pihak yang benar," Ujar Ibu. Ia menutup perkumpulan ini, sambil tetap menghormati perbedaan kepercayaan antara kami, dengan Baron dan Reka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD