Act 9-2

1271 Words
Brug! Bunyi benturan di sisi kiri mobil membangunkanku, aku membuka mata. Semua orang masih tertidur pulas, hanya aku yang terbangun. Kretek. Bunyi batang patah terdengar di belakang mobil. Aku melihat ke belakang, di sekitar benar-benar gelap, hanya ada beberapa obor yang jadi penerang gulita. Pengelihatanku masih agak buram, aku menggosok perlahan kedua mataku dengan tangan kanan, lalu berusaha melihat lebih jeli ke arah belakang mobil. Sesosok anak kecil berdiri tegak di belakang mobil kami, aku tak bisa melihat jelas wajahnya karena minim cahaya. "Ngapain dia? Jangan-jangan kepisah dari orang tuanya," pikirku. "Hei...? Gak ada yang bangun?" Ujarku ke seisi mobil. Tak ada jawaban, semua terlelap sedemikian pulas. Aku lalu melihat ke sekitar, suasana di sekitar mobil tampak aman tanpa ada pergerakan. "Ayo Sel berani, berani! Masa tega anak kecil ditinggal sendiri." Gumamku mencoba memberanikan diri. Aku melihat sekali lagi ke belakang, anak itu masih berdiri di sana tak berubah posisi. Pintu belakang yang berada tepat di sebelahku dibuka secara perlahan, sambil tetap awas terhadap sekitar. Aku berdiri di sebelah pintu, "Dek? Kamu tersesat?" tanyaku. Ia tak menjawab. Tubuhnya seperti terpaku, tidak bergerak sedikitpun. Bahkan mayat hidup pun selalu bergerak. Detak jantungku meningkat cepat, bulu-bulu halusku terasa berdiri. Aku memberanikan diri mendekatinya secara perlahan, tubuhnya terlihat semakin jelas. Semakin dekat... Aku semakin mengenali sosok ini. "Aji..." Nama yang pertama terlintas di pikiranku. Badanku tiba-tiba lemas, bulu kuduk semakin menegang, anehnya aku tetap berjalan mendekatinya. "Gak mungkin..." pikirku. Tinggi sosok itu sama persis, bentuk tubuhnya pun sama, lekuk kepala, wajah, hingga model rambutnya benar-benar menunjukan ciri Aji. Semakin kumendekat, semakin kepalanya tertunduk. Ia mulai tersendat-sendat menahan tangis ketika kuhampiri. Aku benar-benar yakin, ini Aji. "A... Aji?" Panggilku pelan, air mata terasa mengucur di pipiku. "Aji? Ini beneran kamu?" Tanyaku sekali lagi, dan masih tidak ada jawaban. "Ji?" Panggilku sedikit lantang sambil menyentuh pundaknya. "Kenapa..." rintihnya. "Ji? Ini Kak Sely... Kenapa apa sayang?" balasku. Kepalanya yang tertunduk langsung tegap. "KENAPA KAMU BIARIN AJI MATI!" hardiknya. Wajahnya rusak, bibirnya pucat pekat, matanya sepenuhnya putih, lubang besar terpampang pada pipi kanannya, pipi kirinya membusuk, dari matanya mengucur darah bukan air mata. Aku terjatuh ke belakang, otakku berusaha mencerna apa yang kusaksikan, iblis, makhluk halus, atau delusi penyesalan. Kepalanya kian membesar, seraya ia mengulang-ulang ucapannya. "KENAPA KAMU BIARIN AJI MATI!" Diucapnya semakin keras hingga memenuhi kepalaku, tubuhnya tiba-tiba rusak, daging berjatuhan dari tubuhnya seperti lilin yang meleleh. Kepalanya telah membesar hingga seukuran buah semangka, urat-urat busuk di kepalanya membengkak seperti hendak meledak... BLAR!                                                                                             ***** "Hah?!" "Sel?" suara seorang wanita. Aku benar-benar bingung, tanganku memeriksa seluruh tubuhku, nafasku berhembus tak teratur seraya keringat terkucur deras dari rambut. "Sel?" Panggilnya lagi.  Aku menatap ke depan, rupanya itu Reka yang sedang duduk di bangku sebelah pintu masuk tengah. "Mimpi buruk?" Tanya Reka yang menatapku dari bangkunya. "Hmm?" "Oh... Iya...? Kali..." balasku. Reka lalu menghadap ke depan dan kembali berbaring di kursinya. Aku melihat ke sekitar, di mobil hanya ada aku dan Reka, sementara di sekitar mobil terlihat sepi. "Kemana yang lain," pikirku. Aku membuka pintu belakang, bermaksud mencari kemana orang-orang pergi. "Ri?" Panggilku sambil menoleh ke atap mobil. Tak ada respon, dan tidak terlihat ada orang di atap. Aku berjalan ke belakang mobil, jantungku berdegub kencang ketika memeriksa belakang mobil, setelah mimpi yang baru saja kualami. "Fiuh..." hela nafasku. Tak ada seorangpun di belakang mobil, terutama sosok anak kecil. Brug! Brum... Suara pintu mobil ditutup dan mesin mobil yang dinyalakan. "Loh, Rek?" panggilku sambil berlari ke kursi pengemudi mobil. Reka menghilang, Baron tiba-tiba sudah duduk di kursi pengemudi. Aku lalu menyadari semua orang sudah berada di dalam mobil, mereka hanya diam menatap ke depan, tak melihat ke arahku sama sekali. Senyuman lebar dengan mata yang membuka, dan alis yang datar terpaku di wajah mereka semua. "Hey! Pada mau kemana!" Panggilku tanpa ada respon. "HEY!" Bentakku sambil menggedur kaca penumpang dari sisi kanan mobil. Aku berusaha mengintip ke dalam, dan segera menyadari di dalam mobil ada dua kursi yang kosong, mereka kurang dua penumpang, termasuk aku. Brum... Bunyi mobil yang mulai melaju, Baron dan seisi mobil menjalankan mobil dan meninggalkanku. "HEY! TUNGGU!" Jeritku sambil berlari dan menggedor kaca belakang mobil yang berjalan semakin cepat. Penumpang lain tiba-tiba muncul dari bawah kaca. Sosok yang sama persis seperti pada mimpiku tadi timbul dari bawah jendela. "Dadaaah!" Ujarnya, lalu tertawa lepas dari balik jendela belakang mobil dengan suara yang menusuk jantung.                                                                                             ***** Brug! Bunyi benturan keras di sisi kiri mobil. "Hah? Ya ampun..." gumamku. Aku baru saja bermimpi di dalam mimpi, dan keduanya mimpi buruk. "Ini mimpi juga apa bukan." Pikirku, mendengar bunyi benturan yang membangunkanku dari dreamception. Aku yang mulai geram dengan mimpi sendiri, langsung memberanikan diri membuka pintu. Sesosok anak kecil kembali muncul dari balik mobil, ia berjalan ke arahku. "Come on! Gue gak takut, setan!" Hardikku pada penghuni dunia lain yang kurasa merasuki otakku. Roaaaarrr! Jerit sosok anak itu. Ia melompat ke dadaku hingga aku kehilangan keseimbangan. Dug. Kepala bagian belakangku membentur bagian bawan pintu yang terbuka. Rasa nyeri dan perih serempak menyelimuti kepala hingga punggungku, saat itu juga aku menyadari ini bukan mimpi. Sosok anak ini menindihku, ia berusaha menggigit wajahku. Saat itu juga aku yakin tak salah lagi, ini bukan mimpi. Tak-Tak-Tak! Bunyi gigi-gigi mayat anak malang ini yang saling bertabrakan, berusaha mencaplok wajahku. Tangan kiriku menahan leher mayat hidup cilik ini dari wajahku, seraya tangan kanan meraih pisau lipat di kaki kananku. Klik. Pisau yang telah terbuka langsung ku ayungkan ke telinga mayat kecil seumuran Aji ini. Krak. Bunyi tengkoraknya yang rusak akibat tusukan pisauku, darahnya berceceran membanjiri leherku. "Ah sial!" Keluhku dalam hati, sementara bibir kututup rapat-rapat agar tidak menelan darah terinfeksi. Aku langsung melempar tubuh mayat itu ke samping. Tak sampai dua detik, mayat hidup lain tiba-tiba menarik kaki kiriku dan hampir menggigitnya. Brak! Kepala mayat itu yang terbentur ke bemper belakang mobil setelah ku tendang. Belum sempat aku bangun dari posisi jatuhku, mayat hidup itu dengan cepat merangkak ke atas tubuhku, berusaha mencabik perutku. "AHH! WOI!" Jeritku bermaksud membangunkan siapapun yang masih terlelap. Aku memegang kening mayat hidup itu dengan tangan kiri, menjauhkan gigitannya dari perutku. Pisau kembali ku ayungkan ke wajahnya hingga merobek pipinya. Ia tak mati, aku segera mencabut kembali pisauku dengan sisa tenaga yang ada, lalu mengayungkannya kembali ke kepala bagian belakangnya. Srek! Pisauku tergelincir dan gagal menembus tengkoraknya, kulit kepalanya terbuka akibat sayatan pisauku. Di saat pikiranku sudah mulai mencerna kemungkinan aku mati saat ini juga, seseorang menarik mayat itu ke sampingku. Prak! Bunyi pisau besar menembus tengkorak mayat itu dan mematikannya. "Sel? Sel! Bangun, ayo bangun!" Ujar Arfan dan Fitri sambil menarikku masuk ke dalam mobil. "Banyak banget!" Kata Ari yang baru saja menyelamatkanku dari mayat tadi. Aku melihat ke sekitar dari dalam mobil, orang-orang berlarian kemana-mana, dan Ari, Ibu, Ayah, Baron berada di luar. Mayat hidup berkeliaran di sekitar kami secara acak dan tak bergerombol, mereka muncul dari segala arah. Ari, Baron, Ayah, dan Ibu melawan semua mayat yang mendekat dengan senjata seadanya. "Ayo bantu mereka!" ujar Reka. "Gak ada senjata!" keluh Arfan. "Pake apapun yang bisa kalian dapetin, apapun yang tajem dan berat, cukup buat ngerusak tengkorak!" Ujarku yang segera memulihkan diri, dan keluar dari mobil hanya bermodal sebilah pisau lipat Swiss Army. Orang-orang di sekitar kami mulai berkelompok membentuk lingkaran-lingkaran kecil, kami bergabung dengan mereka menghadapi semua mayat hidup yang menghampiri kami. "Kepala semuanya! Incar kepala!" teriak Ari, dan Ayah. "Mereka bukan manusia! Jangan ragu melindungi diri dan keluarga kalian!" tambah Ari. Kabar untuk mengincar kepala disebar dari mulut ke mulut melalui teriakan antar kelompok, orang-orang yang awalnya berlarian dari mayat hidup mulai meniru teknik membentuk formasi lingkaran dan mulai mengincar kepala. Selama tiga puluh menit kami berdiri, menghadapi semua mayat yang menghampiri. Total delapan mayat telah kuhabisi dengan pisau mungil ini, ditambah satu mayat anak kecil tadi. Satu hal yang kupelajari dari sini, adalah bagian belakang kepala dan bagian tulang rawan sebelah kening adalah bagian termudah untuk ditembus pisau kecil seperti ini. Situasi semakin terkendali, tak ada lagi mayat hidup yang menghampiri kami, semua orang sudah lelah. Jam menunjukan pukul empat pagi, setengah jam setelah aku terbangun, dan tidak ada polisi sama sekali yang keluar dari benteng kesayangannya untuk mengamankan situasi. Pagi ini, di hari kelima, kami benar-benar dipaksa berubah... Bahkan Aldi, Dinda, dan Fitri pun membunuh mayat-mayat hidup pertama mereka. Pagi ini adalah pelantikan bagi kami, untuk bergabung ke dalam era yang mati. "Pagi ini secara resmi kita jadi bagian dari era yang mati." Ujar Ari, tepat seperti yang kupikirkan. Formasi mulai dibubarkan, orang-orang kembali ke kemahnya masing-masing. Tak ada satupun dari kami yang terluka atau tergigit, kami tak membicarakan sama sekali yang baru saja terjadi. Aku bahkan enggan menceritakan mimpiku tadi.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD