Act 9-1

1437 Words
                                                                                            Uprising Sely Mentari kembali bersembunyi lagi, langit yang semula terang perlahan berganti dengan cahaya oranye, lalu kegelapan dengan sedikit spektrum yang tersisa di ujung barat. Aku belum pernah senyaman itu diterpa panas mentari yang mengiluminasi dunia sekarat ini, panas tiada apa-apanya dibanding mayat berjalan yang berselancar di kegelapan malam. Orang-orang semakin beringas, mereka, kami, kecewa. Ari bilang polisi itu akan membagi air dan makan, memang benar, saat pagi. Pembagian di pagi hari berjalan lancar, kami mendapat satu kaleng ransum polisi berisi nasi dan ayam cincang, satu kaleng besar kornet instan, dan beberapa mie instan yang syukurnya cukup untuk sepuluh orang di mobil ini. Tapi untuk pembagian sore, hanya fiksi. Mereka hanya membagi kami air bersih, yang bahkan tak cukup untuk kebutuhan minum 12 jam. Jangan harap dapat membersihkan tubuh. Orang-orang kembali marah dan khawatir. Situasi di tempat ini benar-benar seperti kebun binatang berisi makhluk buas, orang tak segan untuk menyakiti hingga membunuh sesama demi air. Aku heran, mengapa tak menyimpan tenaga untuk melawan polisi-polisi jahat itu, ketimbang saling membunuh di bawah kekuasaan mereka. Merespon keaadaan, polisi berjanji membagikan air lagi pukul delapan malam, namun tetap tanpa makanan. Kini jam menunjukan pukul 19:45, banyak orang telah berkumpul di sepanjang dinding bagian depan benteng para polisi, dan belum ada pertanda mereka mempersiapkan truk air. Aku di sini bersama Ibu, Ayah, Dinda dan Aldi, sementara yang lain berjaga di mobil. "Eh itu mereka buka gerbang," kata Ibu. "Ayo! Ayo! Cepet!" Perintah Ayah menyuruh kami berlari mendekati tempat pembagian air, 30 meter dari gerbang benteng. Ratusan orang pun berlarian ke tujuan yang sama. Gerombolan orang yang berebut air ini membuatku tersadar, bahwa pada dasarnya kami tak begitu berbgeda dengan mayat-mayat yang haus darah dan daging.  Kami didahului puluhan orang yang lebih cepat tiba di tempat pembagian air.  "sial," batinku. Kami harus membelah lautan manusia yang haus air bersih dahulu, untuk mendapat giliran. "Gerbangnya masih kebuka, tungguin tungguin!" Ujar Dinda melihat gerbang benteng yang masih terbuka. "Eh iya tungguin truk kedua deh," lanjut Aldi. Kami terjebak dilema. Tak ada kepastian truk kedua akan muncul, tapi jika kami lebih dulu berdiri di tempat di mana truk air kedua sebelumnya diparkir, kami akan berada di barisan terdepan. "Eh! Tunggu!" Kata Ibu melihat Aldi dan Dinda yang langsung meninggalkan barisan, menuju tempat kemungkinan truk kedua di parkir. Aku dan Ibu menyusul mereka. "Hey! Kalo ga ada gimana!" bentak Ayah. Pada akhirnya Ayah menyusul kami, merelakan tempat kami di antrian truk pertama, "Sel? Liat tuh!" Kata Aldi, ia menunjuk ke arah gerbang masuk yang terbuka lebar. Sebuah truk air berhenti di sana, beberapa polisi tampak menghalangi truk yang hendak keluar itu, entah apa yang sedang terjadi. Orang-orang mulai berbondong-bondong menuju tempat kami berdiri, mereka pun menantikan truk kedua keluar dari gerbang. Aku bisa melihat apa yang ada di balik dinding untuk pertama kalinya, di dalamnya dipenuhi tenda-tenda besar yang diterangi lampu darurat, lampu mobil, dan alat penerang lain. Banyak orang terlihat berlalu-lalang di dalam sana. Teriakan terdengar dari gerbang, kami menyaksikan dengan harap-harap cemas dari sini. Tak lama kemudian... Krek... Brug! Gerbang dengan cepat diderek hingga tertutup, sebelum keluarnya truk air kedua. "Loh apa-apaan itu... Kok gitu?" kata Ibu. "Ah! b******n!" Hardik Ayah dengan wajah amat kesal. Semua orang yang menunggu truk kedua lalu menyoraki polisi di benteng, umpatan keluar dari mulut mereka. Bukannya truk air yang keluar, tambahan anggota polisi sialan justru muncul dari balik gerbang yang kembali dibuka. Belasan polisi keluar dengan senjata, dan tameng huru-hara, seraya gerbang ditutup kembali. Sejumlah orang mulai melempari belasan polisi yang hendak menuju ke posisi truk air pertama. Botol kaca, jerigen kosong, kerikil hingga batu besarpun terlihat melayang kearah polisi. Orang benar-benar kehabisan kesabaran mereka. "Ah bodoh banget!"–Ayah membanting empat botol plastik 1,5L yang terikat dalam satu simpul tali rafia–"Udah bener kita di sana!" Aldi dan Dinda terdiam, mereka nampak kesal ditambah merasa bersalah.  Polisi bertameng mendekati kami, mereka mulai mendorong orang-orang untuk menjauh dari jalan tanah menuju gerbang masuk. "Udah ayo pergi aja kita!" kata Ibu. Aku menggenggam tangan Ibu, kami membelah kerumunan manusia yang dilanda histeri. Badan kami saling bertabrakan dengan orang yang tak ingin pergi, hati mereka saat ini sepertinya semakin bulat untuk melawan. Belum keluar dari lautan makan malam mayat hidup ini, sebagian orang mulai bergeser ke arah antrian truk pertama. Mereka secara kasar saling mendorong dengan orang lain, memperebutkan bagian air bersih. Situasi di sini semakin ricuh, truk kedua tak jadi muncul, polisi bertameng mendorong massa, dan orang mulai berebut pembagian air secara kasar. "Bu! Bu!" panggilku.  Suaraku tak didengarnya di antara suara keriuhan di sini, layaknya sebutir pasir pada sebuah pantai. Aku kehilangan Dinda dan Aldi, mereka tertimbun lautan manusia, aku khawatir mereka terjebak di sana sampai keadaan semakin buruk. Aku melepaskan genggamanku dari tangan Ibu, aku rasa ia baik-baik saja karena iapun berpegangan tangan dengan Ayah yang memimpin jalan.  "Bentar!" Ucapku dengan segala suara yang bisa ku keluarkan, sambil menatap Ibu. "Sel! Sely!" Aku tak menghiraukan panggilan Ibu, dan nekat kembali kebelakang menembus kerumunan orang untuk mencari Dinda dan Aldi. Tak jauh kumencari, jeritan Dinda bisa kudengar di balik kerumunan manusia di sampingku.  "Aah! Jangan! Anjing! Diiii!" jeritnya. Aku mendorong semua orang yang ada di depanku, hingga menemukan Dinda dan Aldi yang digerayangi beberapa orang, di dalam kerumunan orang. Benar-benar keadaan yang semerawut. Sekelompok orang itu sepertinya berusaha melecehkan Dinda, baju dan celananya berkali-kali ditarik, bagian d**a dan bokongnya pun berkali-kali disentuh orang-orang itu. "Enak banget ini kalo gue masih punya pistol." Pikirku, ingin sekali menembak pelaku pelecehan seperti mereka di kepalanya. Aku sontak menarik sebuah pisau lipat milikku yang kusembunyikan di betis, terhalangi oleh celana. Klik. Bunyi khas pisau lipat pemberian Ari ini ketika kubuka. "HEY, BINATANG!" hardikku. Aku lalu mengayungkan pisau lipat ke leher salah seorang peleceh itu, ia menghindar hingga terjatuh ke pangkuan kawannya. Aku segera menarik Dinda, lalu menodong orang-orang ini dengan pisau, Aldi yang sebelumnya dikunci oleh salah satu dari mereka kemudian dilepaskan. Kami bergegas pergi dari sana melalui rute yang sama seperti yang Ibu dan Ayah lewati, walaupun sedikit sulit melihat kemana arah kami pergi dalam bayang-bayang malam yang diterangi ratusan cahaya buatan. "Jangan rusuh please... jangan rusuh...." Ucapku dalam hati. Sementara kelakuan massa semakin beringas, sebagian memperebutkan truk air, sebagian menghadapi polisi bertameng. Aku melihat orang terjatuh dan terinjak-injak hingga tak berdaya, orang tak segan mencekik dan saling menodong senjata tajam untuk berebut posisi di antrian, orang yang telah mendapat jatah air pun pasti akan kesulitan keluar, atau malah mati di tempat karena dibunuh orang yang ingin merebut jatah airnya. Suara dentuman terdengar berkali-kali dari truk pertama, aku menoleh ke belakang sejenak,  truk itu bergoyang ke kiri dan kanan, orang semakin liar mendorong truk bersamaan, bahkan ada yang nekat memanjat truk air itu. Polisi yang menjaga truk air kewalahan, mereka lari terbirit-b***t meninggalkan truk, sementara polisi bertameng mulai bergeser menuju truk air itu. Tepat sesaat setelah aku, Dinda, dan Aldi bebas dari kerumunan massa... Duar! Dar! Dar! Rentetan suara tembakan terdengar,  orang langsung berhamburan seperti kawanan semut yang betebaran saat sarangnya dibakar. Jerit dan pekik histerik, menyertai arus manusia yang berlarian ke segala arah. "Lari! Lari, lari, lari, lari sekenceng tenaga!" Ujarku kepada Dinda dan Aldi, kami tak ingin terjebak di kerumunan lagi. Kerumunan yang bergerak perlahan saja sudah separah tadi, bagaimana kerumunan yang berlarian seperti ini. Aku berlari sekuat tenagaku, meski dengan perut yang keroncongan dan tenggorokan yang kering, suara tembakan terus terdengar tiada henti. Dst-dst-dst-Tak! Bunyi desing peluru terdengar di sebelah kananku,  kini kami sadar, mereka tak memberi tembakan peringatan ke langit, tapi menembaki massa. "Awas kepala!" kata Aldi. Kami menundukan kepala kami, dan tetap berlari dengan badan sedikit membungkuk, hingga kami menemukan Ibu dan Ayah yang berlindung di balik beberapa motor milik penyintas yang terparkir berjejer. "Kamu gak apa-apa Sel?" Tanya Ibu khawatir. "Engga Bu, itu Dinda yang kasian..." balasku. Ibu mengusap rambutku, lalu mengusap pundak Dinda setelah mendengar ucapanku. Wajahnya terlihat marah, tapi ia tak melampiaskannya. "Dinda kenapa? Kok bisa tadi ketinggalan?" tanya Ibu. "Penting banget? Ini kita ditembakin, urusin ujan peluru dulu nih." Sela Ayah dengan nada tinggi. Aku mengintip dari balik roda depan salah satu motor, mayat tergeletak di mana-mana, beberapa tergeletak bersama obornya, api dari obor mulai tumpah ke tubuhnya dan tanaman di sekitarnya. Benar-benar pemandangan yang mengerikan untuk dilihat. Pembagian air berubah menjadi pembunuhan massal. "Ya ampun udah kaya waktu sembilan delapan aja..." keluh Ibu. Kami segera kembali ke mobil ketika peluru tak lagi berterbangan, entah bagaimana nasib orang-orang yang terluka. Makan dan air saja polisi tak sudi berbagi, apalagi obat-obatan untuk menyembuhi warga yang terluka karena peluru mereka.                                                                                             ***** "Kalian ga kenapa-napa?" tanya Ari. "Ada apa di sana?" Tanya Reka penasaran. "Kita baru mau ke sana nyari kalian," sambung Baron. "A complete mess up!" (Kekacauan total!) balasku. "Ceritain! Kenapa?" kata Ari. Aku mengantar Dinda masuk ke dalam. Ibu dan Aldi menceritakan apa yang terjadi di luar, sementara Ayah terlihat menghampiri kelompok orang yang datang ke sini bersama kami dini hari tadi. "Kenapa Din?" tanya Fitri. Dinda tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala. Fitri menatapku, akupun enggan menjawab di hadapan Dinda langsung, traumanya masih terlalu segar. "Tidur aja deh Din, bangun-bangun lo seger." Saranku, sambil mengusap punggungnya. Akupun merebahkan punggungku di bangku mobil, tepat di sebelah pintu belakang, sementara Dinda, Arfan, dan Fitri duduk tepat di depanku. Lelah, lapar, haus, dan kantuk semua tercampur aduk, aku tak bisa melakukan apapun selain bermimpi dunia akan kembali seperti semula.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD