Act 7-2

1221 Words
Ari Aku cukup terpana mendengar kisah Reka. Dalam pikiranku, Lutfhie dengan luka yang Reka deskripsikan mungkin masih bisa ditolong bila mereka cukup tangkas menghentikan pendarahannya, lalu membawanya pergi. Tapi entahlah, aku telah berjanji untuk tidak menghakimi. "Rek... Turut berduka ya. Gue bisa bayangin beban lo kaya gimana," ucapku. "Kalo lo merasa bersalah karena itu, that's okay. Tapi tolong, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Percaya deh, kalau pun lo cerita ke semua orang di mobil, mereka pun bakal paham, dan ga akan nyalahin lo sama Baron. Gue jamin." "Itu bukan salah kalian, bukan salah lo juga dia harus meninggal kaya begitu. Hell, I even think you we're supposed to do it. Kalian ngebantu dia lepas dari neraka duniawi, dia bakal lebih tersiksa kalo dimakan hidup-hidup." Ucapku, sedikit berbeda dari yang benakku katakan. "Oh ya, Baron tembak kepalanya pula ya? Kalau mayat-mayat itu mati pas kita tembak kepalanya, harusnya sih kalian juga bantu dia biar ga bangkit lagi loh. Look it that way, Rek... Dia akan lebih tenang di sana, tanpa harus terjebak di dalam jasad yang terus berkelana, tanpa bisa dia kendaliin." Pungkasku, berusaha meringankan beban Reka. "I guess so..." (Iya kali ya...) balas Reka. "Lepasin aja Rek, mulai dari sekarang. Coba... Usahain buat jangan diinget terus, biarin mengalir aja jadi memori. Biar rekaman kejadiannya gak muncul terus di bayangan lo. Lo tadi nanya gimana cara gue mendem perasaan begini kan? Ya, Itu. Emang, tiap ada pemicu bakal tiba-tiba teringat, tanpa pemicu pun bisa. Tapi, seenggaknya gue coba buat gak dibayang-bayangin terus." "Ngomong-ngomong kok gak penuh-penuh ini jerigen ya?" tandasku.  Aku mengangkat selang pompa yang menancap di jerigen. "Abis dong, kampret." Keluhku menyadari dispenser solar SPBU telah tersedot habis, hanya mengisi sepertiga jerigen kedua. "Hahah... Dari tadi udah kita kaya orang bego dong?" Reka menertawai keteledoran kami sendiri. Kami larut dalam perbincangan tadi, hingga tak menyadari tak ada lagi bunyi cairan mengalir. "Lo ngomong mulu sih." Balasku sambil tertawa-tawa. Kami lalu berjalan kembali ke gerbang SPBU, meninggalkan dispenser pompa bensin. "Ya Lo juga serius banget dengerinnya, mana ceramah lagi abis itu." "Ooh, ooh... Jadi respon yang sangat bijak gue itu gak lo anggep?" sindirku. "Ah, Eek. Ambekan masa? Udah tua juga lo woy." "Diam kamu pembantu Jawa." "Hey jaga bicaranya, kamu beragama enggak? Komunis yah?" Ejek Reka, humor kami rupanya agak sejalur. "Komuk manis, iya." "Whoa didn't see that coming," "Oh ya? Would you see me c*m-ing tho?" "WEEEY." "Eh heheh, iya maaf maaf! Gak maksud, sumpah. Haha."  "Trespasser will be shot in the D."  gurau Reka. "Gotcha ma'am!"–Aku memanjat pagar–"Now, pass the can, please?" Pintaku. Aku duduk di atas gerbang SPBU, meminta Reka untuk mengoper jerigen kedua. "Bu, yang enteng nih," ujarku. Aku mengoper jerigen kedua yang terisi penuh ke Ibu, lalu membantu menarik tangan Reka untuk memanjat pagar ini. Aku turun, lalu mengambil jerigen pertama yang kusimpan di atas dinding pagar. Kami berdua keluar dari SPBU tanpa masalah, lalu berjalan kembali ke mobil.  "Hey, Ri..." panggil Reka. "I'll take what you said earlier." (Gue terima yang lo bicarain tadi.) "Which one? The cu–" (Yang mana? Yang–) "IH, bukan!" Reka langsung memotong gurauan kotorku. "Ya, ya. Good then. Lo coba tuh ya mulai detik ini. Anyways, gak perlu khawatir... Walau pun lo ga salah juga, gue tetep ga bilang ke siapa-siapa kok." "Makasih, Ri." Bisik Reka, sambil mengusap lengan kiriku, senyuman di bibirnya menempel di ingatanku. "HEY!" Suara Ayah membentak seseorang. Duar! Dor! Dor! Dor-dor-dor-dor! Bunyi rentetan tembakan yang keras disertai desingan yang menandakan kami ditembaki. Aku melihat Ayah, Dinda, Fitri, dan Arfan melompat dan berlindung ke selokan di belakang mobil kami. Sementara Sely kaget mendengar tembakan dan melompat dari kursinya, begitupula dengan Ibu dan Reka yang langsung bertiarap.  "Bar! Keliatan dari mana gak?" tanya Ibu. "Boro-boro Mbak, ini Saya hampir tidur malah kaget sampe jatoh ke bawah jok!" balas Baron. "Ada aja ya, setan," batinku. "Lampu dalem matiin Bar!" saranku. "Sel! Udah diem aja tiarap, jangan bangun." Ucapku, melihat Sely yang merangkak di lantai mobil, berusaha keluar. "Darimana lagi tuh." Ujar Baron, sambil mematikan lampu mobil. "JANGAN BERGERAK! JATUHKAN SENJATA!" Suara laki-laki memerintah dari kegelapan, terdengar tak begitu jauh. "SIAPA KALIAN?" Balas Ayah dari selokan. "POLISI! BUANG SENJATA KALIAN, KELUAR DENGAN TANGAN DI ATAS, ATAU KAMI LEDAKAN!" Semua orang yang berlindung di balik mobil saling menatap. Kami tak begitu yakin mereka benar-benar polisi, tapi lebih baik menyerah ketimbang perjalanan kami harus berakhir diledakan. "Oke! Oke! Kita buang! Jangan tembak!" ujar Baron. "Sekarang! Keluar perlahan, tangan di atas!" Perintah seseorang dari kegelapan, suaranya terdengar semakin dekat. Kami menuruti perintahnya, senjata kami lempar ke depan dan belakang mobil. Kami pun berdiri, lalu perlahan-lahan keluar dari perlindungan dengan kedua tangan di udara. Beberapa orang dengan pakaian serba hitam muncul dari kegelapan. Rupanya benar mereka adalah polisi, lengkap dengan mengenakan rompi, masker dan helm hitam khas polisi. "Waduh-waduh senjata dapet dari mana ini kalian?" Ujar salah seorang Polisi bersenjata AK-101, seraya anggotanya menggeledah kami dan mobil kami. "Dapet dari mana ini wey? Jawab!" sambung anggota lainnya. "Nge... Ngejarah pak," balas Baron. "Ngejarah mana kamu? Senapan gini bisa kamu jarah? Dari mana? "Kita dari Bekasi Pak... Itu senjata buatan Komodo," lanjutku. Polisi itu tak membalas, mereka lanjut mengeluarkan semua barang-barang kami di mobil. "Dan? Ransum POLRI ini Dan?" Ujar salah satu Polisi yang menemukan tas berisi makanan siap makan berlogo POLRI. "Aduh... Sely, Sely..." gumamku.  Akibat ransum pemberian Polisi yang didapat Sely, kami mungkin akan dituding menjarah Polisi dalam beberapa detik ke depan. "Waduuh... Nyuri dari Polisi kamu ya? Hah? Bunuh Polisi kamu?" "Tuhkan," bisikku. "Tuhkan apaan lo, tuhkan tuhkan aja?" sahut Baron yang mendengarku, sambil menengok padaku. "Dih kaya kampret lo bisa denger suara rendah," ejekku. "Bu... Bukan pak!" balas Fitri dan Dinda dari belakang mobil. "Bukan pak, itu justru pemberian Polisi!" lanjut Sely. "Siapa kamu? Keluarga Polisi?" "Engga bukan... Tapi itu kami dikasih dari posko evakuasi darurat waktu di Jakarta pak!" "Halah!" bentak para Polisi. "Dikasih kok sama senjata gini? Senapan, shotgun segala macem." "Lah... Di bilang itu dari–" Ucapan Baron langsung kupotong. "Ssst! Mana mau dengerin mereka, yang ada dicecar kita." "Udah, kita ambil semua, senjata dan munisi kita sita, apa-apaan kalian ini sipil kok sok-sokan pakai senjata?" "Lah terus kita harus ngelawan akhir zaman pake apa? Bambu runcing?" pikirku. "Kalian masih untung gak kita apa-apain ini!" "Untung ga dimatiin." Ujar beberapa Polisi, lalu menertawakan kami. "Udah, Ya. Ini properti POLRI semua. Kalian tidak berhak! Setelah kami pergi, pergi aja kalian!" perintah komandan regu. "Mau kemana sih kamu tuh?" tanya salah seorang Polisi ke Ayah. "Sukabumi..." "Hah..." balasnya. "Hehe, Orang waras mana yang mau ke Sukabumi..." bisik kawannya.  Entah yang lain mendengar ucapan Polisi itu, atau hanya aku, dan si polisi saja. "Ada apa dengan Sukabumi?" pikirku. Kekhawatiran pun mulai melintas di benakku, aku berharap aku hanya delusional dan Polisi tadi tidak benar-benar mengucap kalimat itu. Belasan Polisi meninggalkan kami, mereka berjalan menembus kegelapan menjauhi kami. Aku dan Baron pun segera mengecek apa yang tersisa dari mobil. "BANG...SAT!" omel Baron. "Kenapa?" tanya Reka. Semua orang menghampiri Baron. "Bannya..." Ban depan sebelah kanan dikempesi oleh Polisi tadi dengan benda tajam, begitupula dengan dua ban cadangan yang kami simpan di dalam mobil. "Wah, berengsek juga," ucapku. "Bajingan... Gak bisa diam aja kita nih, hak dirampas begini loh." Kata Ayah yang geram. "Mending kita kejar mereka deh," usul Sely. "Pada kuat ga?" Tanya Ibu sedikit ragu. Tak ada yang menjawab pertanyaan Ibu, terutama Arfan bersaudara yang sejak tadi cenderung diam. Mereka mungkin masih terpukul keras dengan kepergian orang tua mereka. "Kita kejar aja! Kuat ga kuat lah!" sahut Ayah. "Ayo deh! Ambil balik hak kita!" seru Baron. "Kalian bisa?" Tanyaku ke semua yang tak menjawab. Reka mengangguk, begitupula Arfan bersaudara setelah mereka berempat saling menatap. "Tapi tunggu... Kita bisa manfaatin mobil ini semaksimal mungkin deh kayanya, daripada kita tinggalin begini," ujar Baron. "Manfaatin gimana?" tanya Ayah. "Tambal sebisa mungkin lubang ban depan, paksain jalan gak terlalu cepat biar ga meledak," usul Baron. "Kayanya itu lebih baik dari lari ngejar mereka," sambung Dinda. "Tapi setuju nih ya semua kita buntutin mereka?" tanya Ibu. Semua menyetujui untuk mengejar para Polisi.  "Alright then. Let's claim back our rights," (Baiklah. Mari kita ambil kembali hak kita,) ucapku. Kami bergegas mencari gumpalan pasir, kain, dan perekat seadanya. Kami berharap dapat menutup lubang pada ban, lalu membuntuti jejak yang ditinggalkan para polisi. "Semoga aja ada jejaknya." Harapku dalam hati. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD