Act 8-1

914 Words
                                                                                            Tyrants Ari Kami telah menyusuri jalan sekitar setengah jam, aku harap polisi tadi tidak memasuki jalan-jalan perkampungan. Kami hanya mengikuti jalan raya daerah, yang hanya memiliki dua lajur beda arah. Semua lampu di mobil dimatikan, kami berjalan di bawah kecepatan 30kmpj. Sebagian dari kami terjaga, kekhawatiran menyelimuti kami, kami tak lagi memiliki senjata api, semua makanan ikut raib, hanya tersisa beberapa botol air mineral untuk kami tetap hidup. "Emm... Ada yang liat itu?" kata Reka. "Apaan? Mana?" balas Baron. Aku berusaha menajamkan fokus pengelihatanku ke arah depan. Sulit untuk melihat dalam kegelapan total, satu-satunya sumber cahaya hanyalah terang bulan. Untungnya, malam ini bulan sedang setengah cakram, cukup bersahabat untuk menjadi penerang gulita. "Kepala? Stop, stop!" ujar Sely. Aku semakin melihatnya, siluet puluhan bentuk tubuh manusia berbaris melintasi sebuah perempatan lima puluh meter dari posisi kami. Mereka bergerak bersamaan menuju arah kiri, Baron segera mematikan mesin mobil supaya tak mengundang perhatian mereka. "Mayat hidup?" "Zombie?" "Hah?" Responku, mendengar ucapan serentak Sely, Ayah, dan Baron yang tak memiliki panggilan tetap untuk mayat hidup. "Bener mayat bukan?" lanjut Ibu. Baron memajukan kepalanya, berusaha melihat lebih jelas. "Gak... Tau... Bergerombol gitu tapi," balas Baron "Gimana dong? Bisa kehilangan jejak polisi kita kalau nunggu gerombolan lewat dulu," kata Reka. "Hmm... Gimana kalo, jalan kaki? Jalan ke sana diem-diem, cek, terus balik lagi ke sini buat tentuin langkah selanjutnya," usul Selly. "Ah yang bener aja Sel, kalau masih pegang senapan gak apa-apa!" balas Ayah. "Ada yang mau nekat ga?" sahut Arfan. "Hoo? Nekat cek ke sana, jadi tumbal?" Balas Ibu, seraya kami menoleh ke Arfan yang wajahnya diselimuti kegelapan. "Kaya tuyul." Pikirku ketika menoleh ke belakang. "Enggak. Kita dekatin pelan-pelan pakai mobil. Pas udah dekat banget, kita nyalain lampu sorot, tabrak mereka," usul Arfan. "Beneran nekat dong..." sahut Reka. "Lah, kalau ban kita meledak gimana? Gue gak mau disalahin ya kalau terjebak," kata Baron. "Kita siap-siap buat keluar, kalau-kalau sampe kejadian pecah ban pas tabrakan," jawab Arfan. "Iya, kalo berhasil kita tubruk, baru bannya pecah. Kalo kita kesangkut di antara gerombolan?" tanya Baron. "Ada ide lebih baik gak? Setidaknya ga ada yang harus jadi tumbal keluar, jalan kaki, di gelap gulita," elak Arfan. "Hm. Pantes dicoba... Kalau emang ga ada yang punya opsi lain." Balas Ibu yang agak setuju. "Kita milih mikrobis kan karena rangkanya lebih kuat juga... Ayolah, tabrak aja," sambungku. "Kan, masalahnya di ban. Bukan rangka mobil," bantah Baron. "Tapi... Ah, baiklah. Gak ada ide lagi nih." Baron kembali menyalakan mesin mobil. Mobil kami mendekati gerombolan sosok tadi perlahan, dengan gigi satu. Baron menginjak pedal gas beberapa detik, lalu membiarkan mobil berjalan sendiri dengan sisa momentum, sementara ia memasang gigi dua. "Dalam nama Bapak, Putera, dan Roh Kudus, berikan ban ini kekuatan. Amen." Bisik Baron yang berdoa sambil memindahkan gigi, dan bersiap menyalakan lampu sorot. Ctrak Lampu sorot mobil dinyalakan, Baron segera menginjak gas. Belasan tubuh manusia terlihat di depan kami sedang berbaris, pengelihatanku terhalangi noda hitam. Pupil mataku berusaha menyesuaikan cahaya yang ditangkap dari minimal, menjadi terang. "STOP! REM!" Pekik Dinda dari belakang. Baron sontak menginjak rem, tubuh kami terdorong ke depan, hingga membentur bagian belakang kursi depan. "Aduh!"–Aku mengusap dahiku–"Untung empuk,"  ucapku. "Astaga..." ucap Reka. Aku mengembalikan posisi dudukku, melihat ke depan, teriakan histeris terdengar dari luar mobil. Orang-orang terpana menatap mobil kami, mereka berlarian dengan panik dan berpencar menghindari tabrakan kami. "Ya ampun, turun-turun!" perintah Ibu.  Aku menyadari kami hampir menabrak belasan orang tak bersalah, siluet tadi bukanlah mayat hidup. Ibu, Ayah, dan Reka langsung turun menghampiri orang-orang itu, mereka seperti pengungsi yang sedang menuju suatu tempat.                                                                                             ***** Lima menit berlalu, Reka menghampiri kami di mobil dan memberitahu bahwa orang-orang itu menuju ke waduk Jatiluhur. Dari kabar yang beredar di antara mereka, di sana tempat berkumpulnya polisi untuk mendirikan sebuah "benteng". "Jackpot," celetuk Baron. "Jackpot, jackpot, ini kita di Waduk Jatiluhur berarti salah jalan banget," sindirku. "Yaa orang di maps udah gak ke-load lagi daerah sini... Bingung gue liat label jalannya kalo ga di-zoom," sanggah Baron. "Mereka dari mana aja? Banyak banget itu rombongannya." Tanyaku, ada ratusan penyintas yang berjalan bersama-sama dalam barisan panjang. "Campuran. Ada yang dari Jakarta, Bekasi gitu katanya... Tapi kebanyakan warga lokal yang tinggal di sekitar sini," kata Reka.  "Mereka bilang polisi di sana menyebar kabar dari WA sebelum hilang sinyal tadi sore. Imbauan buat warga sekitar untuk berkumpul di sana, mereka dijanjikan perlindungan dan jaminan hidup." "Perlindungan my ass, mereka baru aja nyuri semua komponen penopang kehidupan kita, bahkan nyoba bikin kita terdampar," sela Baron. "Nih, gue kasi tau ya! Paling mereka disuruh kumpul di sana biar polisi lebih gampang buat kumpulin resources. Mereka gak perlu jalan-jalan lagi, mangsa datang sendiri, pas ini warga pada sampe di sana, dirampas deh, sama kaya kita. Liat aja itu orang-orang bawaannya udah kaya mau bikin koloni di mars... Yakin gue bakal diambil-ambilin barang pentingnya, paling disisain baju sama kolor." "Benar juga sih." Pikirku, mengingat perlakuan mereka pada kami sebelumnya. Kami tak berencana lebih dalam masuk ke wilayah Purwakarta. Rute perjalanan kami seharusnya melewati jalan daerah di selatan Kabupaten Bekasi, menembus wilayah Bogor, Cianjur, lalu kembali menggunakan jalan nasional dari Cianjur, ke Sukabumi. Kini, tujuan kami terpaksa tergeser, setidaknya kami perlu mengambil kembali barang-barang penopang hidup kami yang semula dibawa. Ayah dan Ibu menghampiri kami yang berdiri di depan mobil. "Kata mereka, gal terlalu jauh ke tempat polisinya. Cuma satu jam jalan kaki," ujar Ayah. "Jadi bener nih ya, kita samper mereka dulu?" tanya Ibu. "Iya udah. Kita samper aja, ambil balik barang-barang kita. Itu hak kita kok. Kalau mereka ga ngasih senjata, setidaknya suplai makan sama minum kita dibalikin, kalau perlu tukar senjata sama makanan lebih. Baru kita ke Sukabumi," lanjut Ayah. "Sama... Ban baru," celoteh Baron. "Sama... Solar," sambung Reka. "Iya, itu juga," ujar Baron. Kami sepakat untuk mengikuti rombongan penyintas menggunakan mobil, yang dijalankan secara perlahan. Untuk mengurangi beban pada ban yang telah rusak, kami bergantian menaiki mobil, maksimal lima orang dalam mobil. Kami pun menawarkan orang tua, dan anak-anak dari rombongan penyintas untuk bergantian duduk di dalam, mengurangi derita mereka.                                                                                             *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD