Act 22-1

1364 Words
                                                                                    Tiba Waktu Sely “Mau apa lagi kalian ke sini?” Kata Baron dengan kesal, sesaat ia membuka pintu mobil. “Bar, tenang… Tenang.” Ujar Ari, sambil menyolek Baron dari kursinya. “Gak ada mobil oren si Matias. We might be dealing with his dogs,” (Kita mungkin berurusan sama anjingnya,) tuturnya. Kami turun dari mobil, setelah mengikuti mereka kembali ke rumah kami. Satu per satu anggota MaMa turun dari mobil mereka, suara mesin-mesin mobil dan tutupan pintunya memancing keluar Ibu dan yang lainnya dari dalam rumah. “Kenapa kalian ke mari lagi? Ini kan masih jam dua siang!” Seru Ibu sambil melangkah keluar. “Perubahan rencana....” Ujar Rendi, lalu menutup pintu mobil sedannya. “Mana ketua kalian? Saya kira kalian orang-orang yang bisa hormati perjanjian,” tegur Baron. “Pak ketua sudah menentukan, kalau setoran pertama hingga ketiga kalian itu sepenuhnya untuk pos saya… Pos yang kalian curi. Jadi, selama delapan hari ke depan apa yang kalian cari ditentukan oleh saya,” tutur Rendi. “Terus, kalian datang cuma mau kasih tau ini? Enggak kan?” balas Ibu. “Ya, enggak. Kami datang buat ambil jatah kami,” kata Rendi. “Udah kami bilang, ini belum jam enam. Bahkan jam lima pun belum,” sela Baron. “Ya memang, kau pikir saya buta?” bentak Rendi. “Kami gak bisa tunggu sore-sore, ada urusan lain! Jadi, kami minta setoran kalian saat ini juga,” timbrung Eko. “Dunia udah hancur, punya urusan apa lagi coba mereka,” ucap Ari. “Palingan mabok,” balas Aldi. Mereka berdiri di depan kap mobil kami, di sebelah kiriku dan Baron. “Mana? Mana setoran kalian? Jangan bilang baru mau cari barusan pas papasan dengan saya,” tanya Rendi. “Kami belum selesai… Ini kan belum jadwal buat kasih setoran,” jawab Ari. “Apa maksudnya belum selesai?” sahut Eko. “Maksudnya, kalian belum seharusnya tagih setoran ini,” ujar Aldi. “Kalian bukan yang mengatur di sini, ya!” omel Rendi. “Kami minta setorannya sekarang, ya sekarang! Kalau gak lengkap, kami ambil yang lain sesuka kami.” “Udah!” seru Ibu. “Udah lengkap… Kalau kami serahkan sekarang, kalian langsung pergi?” Rendi dan Eko saling menatap, namun tak membalas Ibu. “Si pembunuh itu… Saya tahu dia masih punya sedikit sisa alkohol, betul?” ujar Rendi. “Kami mau ambil semua stok dia… Biar tau rasa,” sambung Eko. “Baik, baiklah. Kalian boleh ambil itu juga.” Balas Ibu tanpa keraguan. “Yeah and turn them into the drunk idiots,” (Iya dan gantian mereka yang jadi pemabuk i***t,) kata Ari. “Then we’ll have a chance to strike them down in their mindless state.” (Lalu kita bakal punya kesempatan buat jatuhkan mereka dalam kondisi lengah.) timpa Aldi. Ibu menatap kami, dan mengajak untuk masuk ke dalam rumah. “Kami ikut gak? Hehe,” ejek Eko. “Jangan lama-lama, dan jangan ada yang kurang atau kami yang geledah sendiri!” Seru Rendi, seraya kami berjalan ke dalam rumah. “Bu,” panggilku. “Emang kita punya mie lagi?” “Punya….” Jawabnya, sambil menatap semua orang bergantian. “Stok terakhir kita, mau dikasih ke mereka?” tanya Aldi. “Iya. Apa ada pilihan lain?” balas Ibu. “Biarin aja, kan kita nemu makanan beku yang bisa cukup buat seminggu tadi… Asal di-ration aja,” kata Baron. “Sebagian udah berjamur loh, tiga minggu ditinggal di tempat lembab… Palingan aslinya cuma cukup buat tiga hari,” sahut Arfan. “Gak apa-apa lah. Banyakin nasi-nya aja… Tiap malem kita masak tuh beras,” ujar Reka. Baron, Reka, Fitri dan Arfan tak menemukan apapun yang diminta kelompok MaMa, tapi mereka membawa pulang dua karung beras dan banyak makanan beku yang sebagian telah membusuk. Aku masih sedikit ragu untuk mengkonsumsinya sebagai protein utama, tapi apa boleh buat… “Selama ini juga kita makan seadanya. Itu makanan beku paling cuma bakal bikin usus kita yang udah mulai adaptasi, eum… Diare,” ujarku. “Dan… Itu sedikit lebih baik daripada mati kurang gizi,” sambung Ari. Masuk ke dalam rumah, aku menyadari ada hal yang kurang… Ayah dan Wisnu tak ada di ruang tamu, dan sepertinya tak ada yang menyadarinya selain aku. “Mungkin mereka telah dipindahkan ke ruangan lain?” pikirku. “Eh, pada kemana mereka?” tanya Baron. “AAARGH!” “Brug!” Ari terjatuh ke pintu, setelah Ayah muncul dan tiba-tiba menyeruduknya. “HEY! JANGAN MACEM-MACEM,” jerit Baron. “AYAH! JATOHIN PISAUNYA!” bentakku. Ia menodong leher Ari dengan sebilah pisau, tiap detik berlalu semakin ia menekannya ke kulit Ari. “ROMI! ITU ANAK AKU, KAMU UDAH GILA?” omel Ibu. “YANG UDAH GILA KALIAN SEMUA, APALAGI INI ANAK… BERENGSEK!” Bentak Ayah pada Ari, sementara Ari terhimpit dan tak dapat bergerak. “MILIH NYELAKAIN GUA DARIPADA PREMAN-PREMAN INI?” “PAKAI KAL KAMU!” Pekik Ibu, lalu memposisikan wajahnya tepat di sebelah Ayah. “HEY, PUNYA OTAK GAK KAMU? MASIH BISA MIKIR GAK?” Hinaan Ibu berhasil mengalihkan perhatian Ayah, yang kini menatap Ibu dengan kedua mata melotot, dan nafas menggebu-gebu. “Bu… Jangan deket-deket.” Ucapku, sementara tangan kanan meraih pistol yang melekat di pinggang. “KAMU GAK SADAR? KITA BISA URUSAN SAMA MEREKA JUGA KARENA KAMU! KENAPA SIH, HARUS SELALU BUAT SEGALANYA JADI TENTANG DIRI KAMU? DARI AWAL KAMU SELALU PENTINGIN DIRI SENDIRI! COBA, BUKA MATA KAMU DAN MULAI LIHAT KE SEKITAR… KITA SEMUA SAMA PUTUS ASANYA, SAMA GAK PUNYA TUJUANNYA, TAPI SAMA JUGA SALING MELINDUNGINYA… KECUALI KAMU!” Pekik Ibu dengan suara kencang. Ia tiba-tiba melunak, matanya berkaca-kaca, nafasnya pun mulai sesenggukan. “Kalau kamu gak bisa jadi laki yang dulu aku kenal, kamu kayaknya gak bisa tinggal bareng kita lagi... Kamu terlalu bahaya buat mereka semua,”–Jari Ibu menunjuk kami–“Yang kamu peduliin cuma diri sendiri soalnya….” Tandas Ibu, sementara air matanya mulai turun. “Gak bener… Aku peduli kamu, aku mau lindungin kamu,” elak Ayah. “Enggak… Kamu cuma peduli sama apa yang kamu mau. Kalau mau maksa buat bikin pilihan, aku bakal pilih anak-anakku dan mereka semua ya Rom,” tegas Ibu. Ayah memandang Ari, lalu menjauhkan pisaunya dari leher Ari. “O-oke… Oke. Mulai sekarang, kalian aja yang tentuin semuanya. Gua ikut aja,” ujar Ayah. “Apa-apaan sih ini? Kan udah saya bilang jangan lama-la–“ Ucapan Rendi terhenti, saat ia melangkahi pintu rumah dan mendapati Ayah sedang menindih orang yang menyelamatkan Matias, sambil menggenggam pisau. “Whoa, whoa! Tenang dulu… Tenang.” Ujar Baron, ketika Rendi menarik pistolnya lalu membidik Ayah. “Kenapa? Dia tampaknya sama bermasalahnya buat kalian dan kami, memang harusnya dikubur orang ini,” balas Rendi. “Kau ini serumah dengan pembunuh… Sudahlah, serahkan saja pada kami orang ini!” sahut Eko. “Ini urusan kami, biar kami yang atasi… Urusan kita ada di ruang sebelah tuh, tinggal kalian ambil,” kata Baron. Rendi memberi isyarat pada anggotanya, mereka pun menuju ke ruang tengah. “Arfan, kasih mereka satu boks yang kurang, dan alkohol yang mereka mau di dapur," pinta Baron. Arfan mengangguk, lalu mengajak Aldi untuk pergi ke dapur dan melangkahi anggota MaMa lain di ruang tengah. “Ayolah, bang… Turunin pistolnya, kalian udah dapat yang kalian mau nih.” Mohon Baron pada Rendi. Aku kembali menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan Aldi dan Arfan. Kali ini, aku menyadari Wisnu tengah berdiri di atas tangga… Membidik senapan pada anggota MaMa dari lantai kedua. Ia menyadari aku sedang melihatnya, aku pun menggelengkan kepala perlahan padanya. “Udah lengkap nih, Ren!” seru salah satu anggota MaMa. Rendi melirik Ari yang terus menatapnya daritadi. Ia pun menurunkan bidikan pistolnya, diikuti Eko dan dua anggotanya yang lain. “Baiklah. Ayo bawa dan pergi dari sini… Aku tak yakin bisa tahan godaan buat tembak orang ini,” ujar Rendi. “Terima kasih untuk partisipasinya. Apa saja yang perlu kalian cari untuk setoran kedua, akan saya kabari lewat radio. Jangan dimatikan ya selama matahari masih bersinar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD