Act 22-2

1906 Words
Ari, Jakarta, 2021 “Tanda-tanda vitalnya sudah lemah sejak tiba sekalipun, dia sudah kehilangan banyak darah… Maaf, kami gak bisa bantu lagi.” Ujar dokter yang menghampiri kami dari ruang operasi. Dania menjatuhkan dirinya ke bangku di sampingnya, lalu mengusap kening hingga ubun-ubunnya dengan kedua telapak tangan. Matanya terpejam erat, air mata terperas keluar dari kelopak matanya. Nafasnya pun tersendat-sendat, bibirnya membisik “Maafin gue, Dri,” berulang-ulang kali. “It’s not your fault, babe.” (Ini bukan salahmu, sayang.) Bisikku, setelah merangkul kepalanya ke pundakku. Ia menggelengkan kepalanya, lalu menatapku. “It is.” (Ini salahku.)                                                                                         ***** “Apa yang bikin lo jadi keinget ini semua deh?” tanya Sely. “Gak tau… Tiba-tiba aja flashback gara-gara dobrak pintu di tempat kita nemu dus-dus makanan tadi siang,” terangku. “Lo kangen dia, mungkin?” tebak Reka. “Mungkin? Dopamin gue lagi seret kali,” balasku. “Wajar sih, setelah semua yang kita laluin dua hari ini… You know what? Maybe you should start getting drunk.” (Tau gak? Mungkin lo mesti mulai mabuk-mabuk.) Canda Baron dibalut tawanya, lalu meneguk minuman bersoda yang sudah didinginkan. “Haram buat saya, Pak,” balasku. “Halah!” Ejek Sely yang cekikikan mendengarku. “Sejak kapan kita jadi religius?” “Hehehe, gak tau ya… Semenjak dunia jadi hancur kali?” jawabku. “Enggak deng. Yang ada, keruntuhan peradaban justru narik kita lebih jauh dari ajaran agama.” “Tapi gue harap bukan tuhan…” sambung Baron. “Amen to that.” (Amin untuk itu.) Ucap Reka, lalu meneguk minuman yang ia pegang. “Amiin.” Sahutku dan Sely. “Tau gak yang harusnya makin jauh apa?” tanya Sely. “Memori-memori buruk dari dunia lama… Kita gak bisa keganjel terus sama itu sekarang.” “Iya tuh. Lo mesti handle itu Ri,” pesan Baron. “Hey, santai aja. Ini gak ngegangu gue kok… Baru juga kaku beberapa detik, dalam dua kali. Yang lebih bermasalah tuh justru memori buruk yang baru kita buat sekarang… Apa kita punya cukup energy buat tangani itu? Takutnya enggak,” tuturku. Mereka terdiam, meski wajah-wajahnya masih menyisakan senyuman. “So, this… Dania. How did she left?” (Jadi, si… Dania. Gimana dia putusinnya?) tanya Baron. “Ehm…” Ucapku menggagu. “Mau Sely yang cerita?” tawar Sely. Aku mengangguk, lalu bersandar ke belakang dan mendengarkan.                                                                                         ***** November 2021 Ponselku bordering, layarnya menampilkan panggilan video masuk dari Dania. “Akhirnya setelah lima hari.” Gumamku, sambil menggeser layar dengan ibu jari. “Hai.” Sapaku, dengan bibir yang melebar ke dua sisi. “How are you feeling today?” (Bagaimana perasaanmu hari ini?) “Not good…” (Gak baik…) balasnya. Matanya yang lebam tampak jelas dari kamera. “Kamu baik-baik aja kan tapi?” “Iya… Tapi gak tenang kalau kamunya juga begini,” jawabku. “Gak usah…” ujarnya. “Ma- maksudnya?” “Gak usah gak tenang. Kamu bisa bebas dari beban ini kok.” “Ngomong apa sih? Kamu gak bakalan aneh-aneh kan?” tegurku. “Enggak, gak aneh-aneh. Ini ngomongin kita….” Balasnya, sontak membuat jantungku berdebar. “Kamu sadar, kan? Satu tahun kita barengan, aku jadi berjarak sama temen-temen aku yang paling deket. Waktu aku jadi hampir semuanya buat kamu. Aku tau aku sendiri yang kasih secara sadar, karena aku juga bucin banget… Jadi, aku gak bakal salahin kamu. Ini bukan salah kamu, Ri. Love language kita berdua, dan kurang jagonya manajemen waktuku yang bikin jadi begini. Aku gak pernah nyeselin itu… Tapi, aku juga gak bisa tinggalin temen-temen aku. Apalagi setelah… Indri. Kalau aku terus sama kamu, aku bakalan susah buat kasih waktu ke mereka. Kamu tau temen-temen aku banyak yang bermasalah juga kan? Aku gak mau ulangin kesalahan yang sama,” tutur Dania. “I-iya… Aku ngerti. Tapi kenapa kamu jadi dorong aku? Kenapa gak coba dulu buat atur waktu lebih baik? Kita bisa kok,” balasku. “Gak bisa, Ri… Aku gak akan bisa. Seenggaknya, buat sekarang. Kita perlu jalan sendiri-sendiri dulu, biarin aku figure out sendiri. Siapa tau, kalau aku bisa kembangin diri suatu saat nanti… Dan masih ada kesempatan buat kita, we’d be back stronger?” (Kita akan kembali dan lebih kuat?) tutur Dania. Aku tak ingat lagi apa yang terucap dari bibirku setelah itu. Tapi aku ingat tak bisa tidur dengan tenang dan dihantui rasa kesepian selama satu bulan penuh. Meski beberapa kali menemuinya kembali, tapi malam itu adalah terakhir kalinya aku menatap wajahnya sebagai pasangan. Aku tak akan lupa dengan wangi parfumnya… Rambut sedadanya yang selalu dikuncir satu di tengah, tingginya yang sejajar dengan mataku, bola matanya yang berwarna coklat, kedua mata ovalnya beserta alis tebal dan runcingnya, hidung pipihnya dengan tulang yang agak melengkung, dan bibir tipisnya yang bisa membentuk hati. Ah, semuanya.                                                                                         ***** “Damn.” Ucap Baron. “Duh, emang jadi orang dekat dari seseorang yang bunuh diri tuh pasti berat sih… Gue juga punya temen yang sahabatnya bunuh diri. Dia juga sama, nyalahin diri sendiri karena gak sadar tanda-tandanya, dan merasa gak hadir waktu dibutuhin. Tau gak apa yang terjadi sama dia?” papar Reka. “Bunuh diri juga?” tebak Sely. “Lebih buruk… Dia jadi depresi berat, suka nyayat-nyayat tangannya, botakin rambutnya, teriak-teriak di malam hari. Parah, jadi gangguan jiwa juga. Mantan lo kayaknya di atas rata-rata Ri, kalau bisa jaga kewarasannya. Ya walaupun jadi kandas sama lo, tapi dia kayaknya berusaha bangkit justru ya?” tutur Reka. “I guess so…” (Kupikir begitu…) balasku. “Dia cewe kuat, jir. Bikin gue penasaran, apa mungkin dia juga masih selamat dan bertahan sampai detik ini, di belahan lain negeri ini?” “Better think it that way… Asal jangan terlalu berharap bakal bisa ketemu lagi aja, walaupun kemungkinan selalu ada. Setidaknya, gak sampai peradaban manusia balik lagi jadi normal… Entah, kapan.” (Lebih baik berfikir begitu…) kata Baron. Aldi dan Fitri muncul dari ruangan yang berbeda, dan melintasi kami yang tengah berbincang. Mereka tampak ketus antar satu sama lain, berupaya tak saling menatap saat berpapasan. “Weh, eh!” panggilku. Mereka berdua berhenti, dan menoleh padaku. “Sini deh kalian berdua,” kata Sely. Nampaknya ia juga menyadari kedua saudara ini belum berdamai. “Lagi mau makan ini.” Elak Fitri, sambil menunjukan piring berisi nasi dan makanan beku yang baru digorengnya di dapur. “Aah, udah… Makan di sini!” Paksa Sely, lalu menghampiri dan menarik tangan Fitri. Sementara Aldi sudah berdiri di sebelahku. Kami berada di ruang tengah, di mana terdapat meja makan panjang beserta enam kursi yang saling berhadapan dan dua lainnya pada tiap ujung meja. Baron duduk di salah satu ujung meja, aku dan Sely di sebelah kirinya, sementara Reka di seberangku. “Kalian masih belom ngobrol juga?” tanyaku. “Orang udah biasa ajaa kok,” sangkal Fitri. “Oh, ayolah… Keliatan banget tau selek-nya kalian tuh,” balasku. “Lo udah ngajak ngobrol belom, Di?” “Be- Belom… Kan guenya sibuk melulu, ikut keluar sama lo, Baron,” elaknya. “Waah, lo pengen ikut mulu gara-gara itu ye? Hahaha.” Ledek Baron sembari tertawa, Reka juga ikut menertawakan. “Enak aja, emang pengen berkontribusi gue tuh.” Bela Aldi sambil menggaruk kepalanya. “Coba deh, kalian berdua bicarain masalah kalian apa. Saat ini juga, di tempat ini juga. Ayo, duduk.” Pinta Sely, sambil menarik kursi di sebelahnya untuk Dinda. “Apa yang mau dibicarain deh?” tanya Aldi. “Udeh, lo duduk aja dan dengerin. Jangan bantah apa-apa dulu, yak! Nanti bisa kasih kontra-argumen kok.” Ujarku, sambil mendorong pelan badan Aldi untuk duduk di seberang Fitri. “Fitri has something to say.” (Fitri perlu membicarakan sesuatu.) Ujar Sely, ia saling bertatapan dengan Fitri yang tampak gugup. “You guys need to get this over with… We have enough animosity in this house already,” (Kalian harus selesaikan masalah ini… Kita udah punya cukup banyak ketegangan di rumah ini,) saran Reka. “Yeah, a dangerously violent one.” (Ya, membahayakan pula.) Sindir Baron sambil melihatku. “Ya udah, mulai bicara… Ini tentang kenapa lo benci sama gue kan?” tebak Aldi. Aku dan Sely menatap Fitri, yang kini saling memandang dengan saudaranya… Akhirnya. “Gue gak pernah benci lo…” balas Fitri. “Terus kenapa segininya? Udah dua minggu lebih loh, lo selalu kecut ke gue,” sela Aldi. “Gue ngehindarin lo aja… In fact, gue ngehindarin hampir semua orang kok,” balas Fitri. “Abisnya, rasanya gak kuat mesti nerima negativism orang-orang hampir setiap saat.” “Why? ‘Cause you’re a Karen?” (Kenapa? Karena lo seorang Karen [Slang untuk wanita yang merasa berhak mendapat perlakuan spesial]) cela Aldi. “f**k, you!” hardik Fitri. Aku menghela nafas, seraya Baron mengusap wajahnya dengan tangannya. “Eh.”–Reka menepuk lengan kiri Aldi–“Lo gak denger satupun kalimat yang tadi kita bilang?” tegur Reka. “Mana pernah dia mau dengerin orang? Boro-boro bisa ngerti gimana bokap sama nyokap gue perlakuin anaknya!” pekik Fitri. “Okay, okay. Sorry!” (Oke, oke. Maaf!) sanggah Aldi. “Sora-sori. Lo gak bisa buat kesalahan seenaknya, terus minta maaf begitu aja! Itu kata bokap gue. Tau dia dan tante lo suka bilang apa lagi ke gue? ‘Jangan selalu ngeluh, jangan gampang merasa cukup, jangan kaya saudara-saudari kamu yang manja.’” Ujar Fitri. Pertengkaran ini didengar kedua saudaranya yang lain, Dinda kini menyaksikan dari tangga di belakang Baron, sementara Arfan berdiri di belakang Fitri. “Dikit-dikit sanksi, dikit-dikit ceramah… Itu, itu semua gue dapet tiap bertingkah kayak kalian, apalagi lo Di! Emang kalian kira, selama ini gue jadi anak yang paling dipuji, paling dikenal di keluarga besar itu kenapa? Karena gue pinter dari janin? Enggak! Semuanya mesti gue bayar pake aturan ini itu. Ribet, tau hidup gue. Gak kayak kalian.” Tutur Fitri, yang mulai menangis. Suasana pun menghening, seraya Fitri menempelkan kepalanya ke lengan yang berbaring di meja makan. “Gu- Gue....” Ucap Aldi terbata-bata. “Hey, hey….” Bisik Dinda yang menghampiri Fitri, lalu merangkulnya. “Gue ngerti, Fit. Kita ngerti. Maaf kalau selama ini kita belom sadar… Sekarang, ngobrol sama gue di atas mau ya?” bujuknya. “Fit… Di kamar lo aja, yuk… Tenangin diri dulu aja,” Ajak Arfan, membantu Dinda. Fitri terbujuk, dan mengangkat tubuhnya dari kursi. Sementara mereka bertiga menuju ke atas, Aldi juga meninggalkan meja makan setelah mengacak-acak rambutnya. “Well…” ucapku. “That went well.” (Ini berjalan dengan baik.) Sambung Baron secara sarkastik. “Remaja… Lo gak pernah bisa tebak apa yang bakal terlintas di otaknya,” komentar Reka. “Termasuk Sely?” ejekku. “Iya, termasuk. Tapi tenang Sel, kita semua bakal temuin progress kok. Gue juga lima tahun lalu suka gak ngerti kenapa gue begini, begitu…” balas Reka. “Yaaa, cuma… Ada bedanya, buat lo dan mereka. Karena gak kayak kita yang keluar dari masa remaja dengan dunia yang berjalan normal,” ujar Baron. “She have me tho.” (Dia punya gw kok.) Ucapku, lalu memandang adikku. “Kita bakal butuh satu sama lain… Makanya, janji kita tuh penting.” Pungkasku pada Sely.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD