Act 22-3

1726 Words
Sely “Lukanya udah mau nutup semua tuh Mbak.” Kata Reka, ia duduk di sebelah aku. Kami sedang berada di ruang tamu. “Iya ya? Kayaknya juga ini udah ketutup kulit halus gitu deh…” ujar Ibu. “Kena air berarti udah gak sakit Bu?” Tanyaku, sembari mengusap lengan kirinya yang terpotong dengan anti-biotik. “Udah gak sama sekali sih…” balas Ibu. “Tapi tetep jangan basah aja luka begitu, suka gampang kekelupas sendiri kulit halusnya itu,” saran Reka. (Bunyi statis radio) Baron yang sedang bersama Ari di ruang tamu, langsung meraih HT di tengah meja makan, dan mengeraskan volumenya. Kami pun menghampiri mereka untuk menyimak. “Pos Elang ke Ari, Baron, Aldi. Siapa pun di sana, masuk?” ujar seseorang di balik radio. “Masuk. Baron di sini,” balas Baron. “Bagus, bagus… Bagaimana pagi kalian? Dua hari sudah cukup buat istirahat kan? Hehe-hehe.” Suara Rendi dari radio. “Cut the bullshit,” (Hentikan omong kosongnya,) omel Ari. “Dua Milenia bebas dari kalian, baru itu cukup.” Ejek Baron membalas. “Dua dunia terdengar lebih menarik… Tapi kalian yang di dunia lain,” ancam Rendi. “Apa mau kalian? Langsung aja,” sela Baron. “Pos saya sudah tak kekurangan makanan lagi… Tapi, masih kekurangan peralatan. Saya mau bangun pos ini seperti rumah kalian. Jadi, tolong dicatat. Saya butuh satu set generator, bahan bakarnya tak usah karena kami punya banyak,” pinta Rendi. “Genset tuh besar loh. Mana muat di mobil kami?” balas Baron. “Oh saya belum selesai… Masih ada kulkas, kompor, dan oven.” “Yang bener aja…” keluh Baron. “Bener lah. Tapi, tenang aja. Ada sebuah mal empat tingkat di tengah kota, dan di lantai tiganya ada toko perangkat keras rumah yang sudah pasti masih lengkap. Kalian punya peta kan?” tanya Rendi. Ari segera mencari peta yang ia temukan sebelumnya. “Cari bundaran di sebelah utara, salah satu jalan yang tersambung di bundaran itu namanya Jalan Juanda. Di situ letak malnya, cari saja nanti juga kelihatan. Gak perlu bingung angkutnya pakai apa… Karena di bundaran banyak mobil bak terbuka bekas dishub, tinggal kalian isi bensinnya. Saya tunggu setoran kedua kalian besok, jam dua belas siang di pos saya. Rendi, selesai.” Tutup Rendi, lalu mematikan radionya hingga suara statis kembali. “Nih.” Ucap Ari, membuka secarik peta lokal Cianjur. “Gak begitu jauh dari tempat kita, cuma…”–Ari mengukur jarak di peta–“Dua setengah kilometer.” “Lah, itu juga cuma beberapa kilo dari posnya si Rendi kan?” kata Baron. “Iya ya?” balas Ari. “Terus kenapa mereka minta kita yang ambil…” ujar Baron. “Karena kita lagi diperbudak mereka? Kenapa lagi,” tebak Reka. “Bisa langsung kita anta raja gak sih, kalau udah dapet? Masa harus balik dulu ke sini, terus ke dia lagi… Dobel kerjaan,” ujarku. “Mereka baru kasih tau kita aja pas satu hari sebelum deadline… Kayaknya emang sengaja buat nyusahin kita,” terka Ibu. “Haduuh, apa ngelawan mereka emang jalan satu-satunya kita buat keluar yak? Ini baru yang kedua loh…” kata Baron. “Yang keempat dan seterusnya, kayaknya akan lebih gak ketebak,” kata Ari. “Emang kenapa?” tanyaku. “Si Matias itu… Dia orang yang eksentrik. Aneh, gak lazim. Lihat aja gayanya nyentrik banget,” tutur Ari. “Satu waktu dia pengen bunuh satu dari kita, dan main hajar aja… Lain waktu tiba-tiba merasa jadi orang paling beradab ya? Gak ketebak banget sih emang. Nanti kita lagi cariin sesuatu buat dia, tiba-tiba minta ganti barang lain lagi jangan-jangan,” kata Baron. “Narsistik pula, dan seorang narsistik udah pasti control freak juga. Semua pengen dia kendaliin… Gak yakin sih gue, kalau kita bisa keluar dari bayang-bayang MaMa-nya dia. Sekali jadi milik dia, pasti kita bakal dianggap asset dia terus,” tutur Reka. “Hahah.” Baron tertawa tanpa sebab. “Deh, apaan?” tanya Ari. “Gue masih heran aja. MaMa… Nama klub motor macem apa itu.” Ejek Baron yang cekikikan. Kami ikut menertawakan nama aneh mereka, aku pun baru sadar seberapa aneh itu jika dipikir-pikir. “Nama yang imut, buat kependekan dari malaikat maut… Emang dasar orang-orang eksentrik,” ujar Ari. *** “Well that explains it.” (Nah itu bisa ngejawab.) Ucap Reka, sambil menatap layar ponsel Ari. “Ngejelasin juga kenapa jarang ada recs di jalanan sekitar situ, waktu kita baru sampai… Anjir, kenapa kita gak sadar ya waktu itu?” kata Aldi. Ari, Baron, dan Wisnu baru kembali dari luar, mereka baru saja mensurvei lokasi untuk memastikan kebenaran informasi dari Rendi. Mereka bilang mal yang dimaksud Rendi benar menampilkan nama perusahaan luar negeri penyedia perkakas rumah tangga di papan pelakat besarnya, dan benar ada beberapa mobil bak terbuka yang terbengkalai di bundaran itu. Namun… “Ya ampun, gimana cara kita masuk?” Ucapku, saat melihat layar ponsel Ari yang memutar rekaman video. Kerumunan recs terperangkap di mal itu, membanjiri seluruh pekarangan dan bagian dalam mal. Ari merekam dari atas bangunan di seberang mal, nampak jelas pagar masuk mal telah dibarikade boks kontainer besar. Sementara, pagar komposit mal secara ajaib masih bertahan lantaran ribuan recs di sana sama sekali tak berusaha keluar. Mereka berjalan membungkuk dengan santai, berputar-putar dan saling bertabrakan, tak punya tujuan. Sepertinya, tak ada yang menstimulus kerumunan yang cukup besar itu untuk merubuhkan pagar mal yang membatasi jalan raya. “Sama kayak semua mal di luar sana, di sini ada tiga pintu masuk. Pintu utara, pintu barat yang kita rekam ini, dan pintu timur,” balas Ari. “Nah, kalau kita lihat peta… Di sebelah timur itu jalan kecil yang bisa kita tembus dari jalan lain. Rencananya, kita bakal bagi dua… Eh enggak, tiga tim. Satu tim pengalih, dua tim penjarah. Nanti satu tim buat pengalihan dari utara, biar mereka terstimulus dan numpuk di sana… Sementara itu, dari pintu timur dua tim lain bakal masuk dan jarah apapun yang bisa kita bawa selain setoran buat Rendi,” terang Baron. “Tiga tim loh ya… Berarti, kita semua ikut. Tinggal bagi-bagi tugas aja siapa yang kemana,” ujar Wisnu. “Iya semua ikut, kita bakal butuh semua tenaga. Tapi karena yang kita jarah ini mal, udah pasti banyak barang yang bakal bermanfaat buat kita. Walaupun, udah pasti banyak recs juga di lantai-lantai atasnya sekalipun… Usaha kita gak bakalan sia-sia buat muasin MaMa kampret itu doang!” tutur Baron. “Kita mungkin bisa dapet suplai makanan buat beberapa hari ke depan. Jadi, nanti per-orang mesti bawa troli kalo ketemu supermarket di dalem mal. Satu tim urus barang setoran di lantai tiga, tim satu lagi cari makanan buat kita sendiri,” tambah Ari. “Kita udah isi bensin mobil baknya, dan udah disimpen di spot tersembunyi. Nanti, tinggal ambil. Sekarang, semuanya siap-siap ya! Habis ini kita briefing sekali lagi, dan bagi-bagi tugas. Jam satu siang, kita berangkat,” perintah Wisnu. *** (Bunyi pintu mobil tertutup) “Baiklah, inget… Jangan lepas tembakan kecuali butuh banget.” Pinta Wisnu sembari mengokang senapannya. Kami telah berada di titik Wisnu menyimpan mobil bak temuannya, hanya beberapa puluh meter dari tujuan kami. Aku dapat melihat tugu yang berdiri di tengah bundaran, dan bangunan empat lantai mal yang telah redup kehabisan listrik. “Kalau pager udah mulai retak, langsung masuk mobil dan siap-siap pergi aja ya. Gak perlu dipaksain, kita bakal baik-baik aja kok…” ujar Ari. “Jangan lupa, kaburnya ke arah timur… Biar gerombolannya lepas ke pos si Rendi, kita kasih dia sedikit kejutan hehe,” timpal Baron. “Samakan jam… Tiga belas empat belas. Kita beraksi di menit ke tigapuluh.” Kata Wisnu sambil menyetel jam tangannya, diikuti Baron, dan Arfan. Aku menghampiri Ibu, lalu memeluknya. “Gak terlalu berat kan Bu, tugasnya?” Tanyaku pada Ibu yang akan menjadi pengalih. “Enggak, pencet-pencetin klakson mobil di pinggir jalan sih pakai satu tangan juga gampang…” kata Ibu. “Fan, Fit, titip ya! Gue percaya sama kalian.” Mohonku pada Arfan dan Fitri yang akan menjadi tim pengalih juga. “Gak akan lengah gue, tenang aja!” Balas Fitri sambil menepuk lenganku. “Lo yakin bisa Fan?” Timbrung Dinda, menghampiri bersama Aldi. “Yakin, tenang aja… Latihan nyetir sama Aldi mah cepet bisanya, punya potensi talenta jadi guru les mobil dia.” Ledek Arfan, cekikikan. “Doi kan emang dasarnya udah bisa Dind, tinggal lancarin aja tuh. Tapi boleh juga sih gue buka sekolah mengemudi, pasti laku jaman sekarang,” canda Aldi. Dinda tampak cengar-cengir, lalu merangkul Fitri. “Hati-hati ya Fit… Kalo dia nyetirnya jelek getok aja,” pesan Dinda. “Iya, ini tangan udah siap kok.” canda Fitri. “Lo yang hati-hati di dalem… Kayaknya lebih bahaya daripada di sini.” “We’ll be fine.” (Kita akan baik-baik saja.) balas Dinda. “Hati-hati, Fit.” Ucap Aldi, Fitri pun menatapnya. “Maafin gue kemarin pas di meja makan ya… Itu mulut gue pedes banget, dan sebenernya gak bermaksud begitu kok. I truly am.” (Aku bersungguh-sungguh.) “I know. Gak apa-apa, Di,” (Aku tau.) balas Fitri. “Jagain ye, cuy! We wanna go home in piece.” (Kita mau pulang dengan utuh.) Pesan Aldi pada Arfan. “We will bro,” (Pasti kak,) Jawab Arfan, sembari memeriksa peluru di magasin senapannya. “Hati-hati ya kalian di dalem.” Mohon Ibu padaku dan Ari. “Kamu juga,  Rom. Jaga anak-anak, jaga kewarasanmu juga.” Ayah menganggukkan kepalanya pada Ibu, lalu mengokang senjatanya. (Bunyi mobil bak menyala) “Ayok, berangkat!” Seru Wisnu yang sudah mengendarai mobil bak. Ari, Aldi, dan Ayah menunggangi bak di belakang mobil itu, sementara aku, Dinda, dan Reka mengikuti Baron ke mobil sedan. Arfan membawa mobil kapsul kami, seraya Ibu dan Fitri duduk di kursi penumpangnya. Rasa cemas menghantuiku, dan aku yakin mereka semua juga sama. Perasaan yang serupa kudapati saat pertempuran di benteng hendak terjadi. Mungkin, karena ancamannya sama. Apalagi kali ini, aku membiarkan Arfan yang baru lancar menyetir empat hari lalu, membawa Ibuku yang kehilangan sebelah pergelangan tangannya, untuk mengalihkan ribuan recs layaknya sepasang koboi. Sementara itu… Kami juga harus masuk ke dalam sarang recs, entah bahaya apa yang mengintai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD