Act 22-4

1428 Words
Ari Aku memandangi wajah mereka satu demi satu, ekspresi datar menyelimuti wajah mereka… Entah, apa yang bersembunyi di balik ekspresi itu. Raungan ribuan recs menggema begitu kencang. Mengemukakan memori dua minggu lalu, kala lautan kematian kami arungi. “Beep! Beep! Beeeep!” Bunyi klakson mobil yang saling menyahut, memecah gelombang suara yang sedaritadi monoton. “Wraargh!” Deru gerombolan melonjak kian tinggi, sebab mendapat stimulus suara dari utara. Kepala mayat-mayat hidup itu menoleh ke sumber suara, diikuti dengan tubuh mereka yang sontak menuju ke sana. Kami menunggu beberapa saat, hingga jalur dari gerbang masuk menuju pintu lobi timur sedikit lebih aman. “Siap?” Tanya Baron, yang dijawab dengan anggukan serentak. “Jalurnya aman, tuh. Jalur aman!” seru Aldi. “Brrum….” Wisnu menginjak pedal gas, lalu mematikan mobil dan meninggalkannya dalam gigi netral. Kami bertujuh duduk di atas bak mobil, seraya mobil terpacu sekitar 35 kmpj tanpa suara, menyelinap di balik gerombolan recs di pelataran. Beberapa recs yang belum melintasi jalan menuju pintu utama pun memergoki kami, tangan mereka mengayun-ayun ke depan berupaya meraih kami. Baron bertengger di pinggir bak dan mengeluarkan kaki kirinya, sementara mobil masih berjalan. “Ayo, Ri!” ajaknya. Aku lalu meniru posisi Baron, tepat di depannya. “Satu… Dua… Tiga!” hitungku. “Pluk, pluk.” Bunyi sepatuku dan Baron mendarat di tanah, didahului kaki kiri. Kami segera berlari menuju pintu masuk yang jaraknya hanya belasan meter, sementara semua orang yang di bak juga melompat keluar sebelum mobil kehabisan momentum sepenuhnya. “Dorong!” Seru Wisnu, yang juga melangkah keluar sambil tetap memegang stir. Dia bersama yang lain mendorong mobil bak itu tepat ke arah pintu lobi timur. Aku dan Baron menggeser pintu kaca elektrik secara manual, seraya mobil bak itu melaju masuk. “Kreeek!” Bunyi rantai pintu automatis yang kembali ku geser bersama Baron, kali ini untuk menutupnya kembali rapat. “Dung. Dung.” “Arrgh!” Raung recs yang menggedur-gedur pintu kaca dari luar. Wajah mereka tampak utuh, begitupula tubuhnya… Lubang-lubang berdarah di pakaian mereka, menandakan mereka tak mati disantap recs lain. “Hey!” Bisik Wisnu pada aku dan Baron. “Ayo naik.” “Krak! Dug!” Bunyi itu menyertai saat Wisnu memanggil. Sely, Reka, Aldi dan Ayah tengah menghabisi beberapa recs yang bersemayam di sekitar eskalator. “Langsung naik aja!” Perintah Wisnu, sembari menaiki tangga eskalator yang tak berfungsi. “Mobilnya gimana?” tanya Sely. “Gampang nanti keluarnya, lebih gampang bikin suara berisik di dalem,” jawab Wisnu. “Yang artinya, langkah kalian jangan pada keras-keras!” timbrung Baron. “What now?” Tanya Aldi sesaat kami berada di lantai kedua. “Split di sini aja ya?” cetus Baron. “Baiklah, Mas Romi, Ari, Aldi, kita langsung aja ke atas. Lantai tiga kan kata mereka?” ujar Wisnu. “Iya, lantai tiga. Itu dari sini udah keliatan merah-merahnya,”–Aku mengarahkan senter–“Tinggal naik di sini aja berarti. Gak jauh.” Kataku, sambil menyorot toko yang kami tuju di lantai berikutnya. Tepat di depan pintu lobi timur terdapat sebuah kolam keberuntungan berbentuk bundar, yang langsung menghadap ke atap kaca bangunan. Ruang kosong di antara kolam dan atap, membuat kami dapat melihat ke dua lantai berikutnya dari bawah. “Jangan lengah, Sel!” Pesanku sebelum kami berpisah. “Be safe.” (Jaga diri.) Ujar Aldi pada Dinda, bersamaan denganku. Aku pun melanjutkan langkah ke atas, bersama Aldi, Wisnu, dan… Ayah. Sejujurnya aku merasa tak nyaman bersama dengannya, tapi apa boleh buat? Daripada Sely yang harus terjebak dengannya. Ia tak banyak bicara semenjak insiden terakhir… Termasuk, tak mengucap maaf padaku, karena aku pun tak meminta maaf padanya. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dalam pikirannya, tapi setidaknya ia tampak sedikit lebih waras setelah dua hari tanpa alkohol. “Yah, udah kebuka.” Keluh Aldi, melihat pagar besi toko perkakas itu telah hancur. “Perasaan semua toko kebobol gini deh.” Ujarku pada Aldi, sambil melihat ke sekeliling seraya Wisnu dan Ayah mendahului. “Siapa yang kira kalau orang bakal tetep jarah perabotan, bahkan pas peradaban runtuh?” komentar Aldi. “Lo udah kena kekacauan sejak subuh, waktu hari evakuasi ya?” Tanyaku, ia mengangguk. “Sejak jalan dari rumah pagi-pagi, sampai kejebak di gerbang masuk tol siang hari tuh ya… Pasti ada aja orang yang angkut perabotan jarahan. Entah dari toko, mal, atau rumah orang. Sebagian orang emang gak bisa, atau gak mau mengerti apa yang lagi terjadi sama dunia di sekeliling mereka. I wonder if their stolen tv’s can protect them against a god damned MOAB rain.” (Aku penasaran apa tv curian mereka bisa melindungi mereka dari hujan MOAB.) “Iya sih… Waktu pandemi 2020 juga udah muncul manusia-manusia konspirasionis yang bilang virusnya gak ada. Inget gak?” ujar Aldi. “Hahah iya, berengsek. Masih mending gak percaya, tapi hormatin orang yang percaya ya? Ini kan seenaknya mereka aja. Jadi kepikiran, pas mayat mulai bangkit dari kematian dan menguasai dunia kayak sekarang, mereka tetep gak percaya gak ada virus kah?” tebakku. “Waaw.” Ucap Aldi, sesaat kami melangkah ke dalam toko perkakas. Perabotan rumah tangga masih tersimpan rapih sesuai tempatnya, meski sebagian telah berantakan dan menghilang. “Oit!”–Wisnu mendorong troli besar–“Ayo cepet angkat barang-barangnya ke sini. Udah tinggal angkut tuh kulkas sama oven,” kata Wisnu. “Bentar… Ini sih microwave.” Ujarku, saat mendekati barang yang ditunjuk Wisnu. “Emang beda?” tanya Wisnu. “Ya iyalah. Simpelnya… Yang satu buat masak, yang satu buat ngehangatin doang. Mereka minta yang buat masak,” balasku. “Yaudah, kalian cari gih. Gua sama Romi cari genset abis ini.” Pinta Wisnu, lalu bersiap mengangkat kulkas kecil satu pintu, yang terletak di seberang microwave. “Hmmph!” Desahnya, saat mengangkat kulkas berbentuk balok dengan ukuran satu meter pada tiap sisi. “Ayah ke mana lagi…” pikirku. Aku menyisir seksi demi seksi toko ini bersama Aldi, hingga kami menemukan seksi alat masak. “Mereka bilang ukuran apa aja kan ya?” tanyaku. “Gak tau, kan lo yang denger pesannya langsung…” jawab Aldi. “Yaudahlah, kita ambil ini aja kompornya.” Ujarku, lalu mengangkat sepasang kompor dua tungku beserta selangnya. “Eh, ini oven bukan?” Tanya Aldi, sambil meniup-niup debu. “Angkut!” Ujarku, melihat oven listrik kecil di hadapan Aldi. Kami pun menenteng barang temuan kami kembali ke pintu masuk toko, di mana Wisnu meletakkan troli empat rodanya. “Lah, yang bener aja…” ucapku. “Itu...?” Sahut Aldi sambil menaruh oven di atas kulkas. “Dan gue pikir dua hari sober bakal bikin dia jadi balik waras,” (Bebas pengaruh alkohol,) ujarku. Saat kami kembali, sebuah boks pendingin berisi enam botol minuman beralkohol sudah terpajang di atas kulkas. “Gue lebih heran kenapa dia bisa nemu gituan di sini?” Kata Aldi, sambil memeriksa rak-rak di sekitar kami. “Punya orang yang mati di sini mungkin? Atau, emang tokonya pajang produknya beserta minuman beneran buat display… He’s lucky day banget kalo begitu,” (Hari keberuntungan dia,) terkaku. “Look who’s gonna have her lucky day too.” (Lihat siapa yang akan punya hari keberuntungan juga.) Ujar Aldi, sembari mengambil sesuatu dari rak. “Apa tuh?” Tanyaku, Aldi langsung mengoper yang ia pegang. Sebuah toples tabung dari kaca, isinya adalah lilin padat berwarna biru toska. Aku mendekatkan hidungku pada lilin itu, aroma daun lavender menyegarkan rongga hidungku. “Dinda suka banget lilin aromaterapi kaya begini… Pasti selalu ada di kamar dia,” terang Aldi. “Oiya? Ini wangi banget cuy… Gue bawa juga deh ini,” balasku. “Cobain yang anggur,”–Aldi mengoper toples lain–“Lebih enak dari lavender,” katanya. “Favorit Dinda yang mana? Gue ikutin penciuman cewe aja deh, lebih tajem.” Tanyaku sambil menghirup aroma anggur dari lilin. “Yang itu,”–Aldi menunjuk toples yang kupegang–“Sama ini, Apel. Terbaik ini dua,” tuturnya. “Oi!” panggil Wisnu. “Beres?” “Beres, udah ada semua tuh,” balasku. Wisnu mendorong sebuah generator listrik, benda itu memiliki rodanya sendiri. Sementara itu, Ayah menyusul di belakangnya… Membawa sebuah kursi lipat yang biasa ditemui di pantai. “Buset, mau liburan di mana bokap lo?” Ejek Aldi, seraya mengisi tas selempangnya dengan toples-toples lilin. “Mau santai kayak di pantai tuh si tai.” Kami menertawakan Ayah dari belakang, sambil ikut menaruh dua lilin aromaterapi ke dalam tasku.                                                                                                 ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD