Act 15-1

1727 Words
                                                                                            Penyintas Sely "Aaaaagh!" "Sakiiit! Tolooong!" Suara Wisnu menjerit kesakitan. Aku tak bisa melihat tubuhnya, pandanganku dipenuhi dengan puluhan recs di segala arah. Aku sendirian, tubuhku kuyup terguyur hujan yang tak henti, gulita malam sesekali menyala oleh sambaran petir di sekelilingku. Beberapa recs mulai berjalan perlahan menghampiriku, dengan tubuh mereka yang layu dan membungkuk. Tanganku telah siap menikam wajah mereka, tapi... Para recs tetiba berhenti memaku. Tubuh mereka yang bungkuk, perlahan... Bergerak naik, hingga tegap lurus. Aku bisa merasakan mereka menatap lurus padaku. "Cetar!" Sambaran petir mengiluminasi wajah-wajah para recs. Mata mereka terbuka lebar, menatap tajam padaku seorang. Rahang mereka bergerak turun, mulut mereka kini terbuka, dan... "YOU ARE WHERE YOU DO NOT BELONG!" (Kau tak semestinya berada di sini!) Ucap mayat-mayat itu padaku, dengan suara yang meraung. Aku bisa merasakan bulu-bulu dipunggung hingga ubun-ubunku menegang, dadaku berdebar tak teratur, jemariku diselimuti keringat dingin. "Tuk." Sebuah sentuhan tangan mendarat di atas kepalaku, aku ingin menjerit.                                                                                                 ***** "Huaah!" Jeritku yang reflek menarik pisau dari sarungnya di pinggangku. Pandanganku memulih dengan cepat dari kehitaman. Aku kini melihat... Ibu. Ia terbaring di kasur, perban yang telah memerah kecoklatan membalut tangan kirinya. Ia menatapku dengan ekspresi yang nyaris kosong.  "I-Ibu?" tanyaku. "I... Ya... Ini beneran Ibu kok, bukan recs." Ucapnya, berusaha menenangkan aku yang baru tertarik keluar dari satu lagi mimpi buruk. "Heh... Heheh? Ibu!" Sahutku dengan lega, sambil menjatuhkan pisauku ke lantai lalu menghampirinya. "Duh! Awas, pelan-pelan Sel...." Bisik Ibu, setelah aku buru-buru memeluknya. "Maaf... Maafin Sely Bu... Gara-gara Sely gak–" "Sshush! Liat Ibu,"–Ibu menggenggam kepalaku dari belakang–"Hidup kan?" ujarnya. Wajahnya tak tampak pucat, meski keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhnya yang semalaman kami selimuti kain tebal. "Ta-tapi... Ibu inget kan, kejadian..." "Sel... Ibu inget tangan Ibu ada di tanah kok. Sesakit apa itu Ibu inget. Gak lagi halu kok ini... Ibu bangun-bangun gak merasa sakit yang demam berat, panas, apalah itu kaya gejala infeksi Wire... Enggak. Ibu nih udah bangun lima belas menit sebelum kamu loh." "Kok gak bangunin aku Bu?" "Enggak ah, kasian kamu kecapean gitu sampe ileran tuh. Lagian, butuh nafas dulu Ibu tuh..." "Mel? Ya ampun!" Panggil Ayah yang baru memasuki ruangan, dan langsung memeluk Ibu juga. "Jangan lagi Mel... Jangan lagi. Aku gak tau bisa jalan tanpa kamu atau enggak..." ujarnya. "Aku di sini kok, Rom... Masih di sini." Balas Ibu terharu, telapak tangan satu-satunya dia membelai punggung Ayah. Aku berdiri untuk memanggil Ari dan yang lain. Rupanya, mereka telah menghampiri lebih dahulu. Ari berdiam diri, menontoni haru Ibu dan Ayah tanpa menghampiri mereka.  "You saved her...." (Kamu menyelamatkannya) Kataku pada Ari. Ia tak membalas, benar-benar memaku sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok di samping pintu. Sementara itu, Wisnu segera menghampiri Ibu untuk mengecek keadaannya. Ia mungkin satu-satunya orang dengan pelatihan penanganan medis darurat resmi, selain Ari yang terlatih dari Menwa kampusnya. "Gak ada tanda-tanda infeksi di tangannya sih... Mbak merasa d**a panas, demam tinggi, pandangan kabur gitu gak?" Tanya Wisnu pada Ibu, sambil meriksa kondisi tangan kirinya. "Enggak Mas. Ya, badan sih kerasa sakit-sakit kecapean... Tapi gak kerasa ada demam, pandangan kabur gitu, enggak. Nafas juga lancar kok ini, gak ada panas-panasnya di dada." Balas Ibu, sembari mencoba tarik dan buang nafas beberapa kali. "Wah, kalo gak kerasa ada gejala ya semoga aja emang Mbak penyintas ya... Sekarang mending isi dulu sama makanan ringan, minum juga mesti vitamin C dari ransum kita aja tuh. Supaya imunnya tambah kuat. Semoga gak ada infeksi ini luka potongannya..." kata Wisnu. "Tolong, ambilin makanan buat Mbak Mel..." pinta Ayah. Ari pun bergegas keluar dari ruangan, tanpa menyebut sepatah katapun. Aku rasa, ia menyimpan trauma berat dari kejadian semalam. Aku takut, ia tak berani lagi berbicara pada Ibu. Padahal, sebenarnya aku yang menyebabkan semua ini. Aku yang lengah dan terjatuh. Aku yang membuat Ibu harus merelakan nyawanya demi keselamatanku. Aku yang gagal menjaga diri sendiri. Aku nyaris mengingkari janjiku pada Ari, untuk tetap bertahan hidup demi Ibu. Aku justru membahayakan Ibu. Sebetulnya... Ini salahku.                                                                                         ***** Ari 23 Jam telah berlalu sejak kejadian itu... Ibu sama sekali tidak menunjukan gejala infeksi SAIS, atau infeksi luka potongan. Jika memang proses virus mematikan orang membutuhkan maksimal 24 jam, hanya tinggal menunggu beberapa puluh menit saja untuk memastikan nasib Ibuku.  Walaupun aku mungkin telah mencegahnya berubah menjadi salah satu dari jutaan recs, tapi rasanya... Masih begitu berat bagiku untuk bicara ke Ibu. Aku hanya berani meliriknya, dan beberapa kali melempar senyuman ringan padanya. Aku tak paham pada diriku sendiri... Mengapa tak bicara saja? Kalau harus jujur, aku sungguh ingin memeluknya. "Jadi... Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Baron. Kami semua berkumpul di ruang tamu rumah terbengkalai ini. Sejak malam kemarin, kami menetap di sebuah rumah kosong satu tingkat yang terletak di entah berantah. Jarak rumah terdekat lain mungkin sekitar 20 meter, dengan lahan kosong berisi rerumputan liar yang memisahkan di antara rumah. Ruang terbuka yang cukup luas, memungkinkan kami untuk setidaknya tau apa yang akan menghampiri kami. Tak ada ruang bagi penyintas lain, atau recs untuk menyelinap, dan tiba-tiba muncul di depan pintu. "Kita gak akan bisa kembali ke benteng... Jadi, udah pasti pilihan terakhir kita ke Sukabumi," jawab Sely. "Iya, tapi gimana caranya?" sambung Reka. "Kita bahkan gak tau kita ada di mana... Apalagi rute buat ke Sukabumi." Lanjut Baron, sambil menggigit biskuit tebal bawaan dari paket ransum polisi. Tak ada yang berjaga di luar saat ini, kami memang berniat untuk makan malam bersama, mendiskusikan langkah kami selanjutnya. "Buat langkah pertama, setidaknya kita punya kendaraan dulu lah ya. Buat angkut barang kita yang banyak ini kan susah... Apalagi Mbak Melani sakit begini," saran Ayah. "Oke, besok pagi kita cari kendaraan... Terus?" Dinda menimbrung. "Setahu saya, ada sungai di arah barat yang mengalir sampai ke Cianjur. Gimana kalau, kita jalan terus aja ikuti letak matahari? Dari mulai matahari di punggung, sampai di depan mata, kita ikutin terus. Sesuaikan saja sama jalanan yang ada nanti. Tapi, saya gak bisa pastiin berapa lama kira-kira waktu tempuhnya, kalau cari rute seadanya begini," terang Wisnu. "Emm... Kalau udah ketemu sungai? Kita jalan ikutin sungai di pesisirnya gitu? Lah, kalau gak ada jalan yang mengikuti sungai gimana?" Tanya Baron dengan skeptis. "Kita jalanin aja dulu deh... Kalau emang betul ada sungai di barat, kita cari dulu sungainya. Urusan jalan sepanjang sungai, adu nasib aja nanti. Toh, kita gak lagi diburu-buru kan?" balas Wisnu. "Kalau ada perahu mah, ya kita berlayar aja..." ide Ibu. "Pokoknya, kita harus cari kendaraan dulu besok. Kalau bisa yang mampu di medan offroad, dan jangan lupa kumpulkan stok bensin seketemunya. Kalau memang sungai satu-satunya petunjuk jalan kita, ya mau gimana lagi? Daripada cari jalan sendiri, tapi kesasar. Kita pilih yang pasti aja." Ujar Ayah, menarik kesimpulan rencana kami untuk besok pagi.                                                                                             ***** Sely "Satu, dua, tiga! Dorong!" perintah Wisnu. "Hmmg. Arrgh!" "Dug!" Bagian depan mobil menggelincir ke selokan di samping jalan perkampungan ini. Aku berdiri di sebelah mobil kami, menemani Ibu yang berbaring di atasnya. Kami mencuri... Maksudku, menemukan sebuah mobil bak berwarna hitam yang ditinggalkan begitu saja dengan kuncinya. Tak ada bensin di tangkinya, tapi beruntung kami bisa menyedot kering tangki mobil-mobil sedan yang berserak tak jauh.  Perjalanan kami menembus labirin; jalan perkampungan yang tak kami kenali ini, telah menyita setidaknya empat jam sejak roda mobil pick-up kami bergerak. Duduk di atas bak mobil yang terbuka sepanjang jalan, kami menjelajah jalan satu lajur tak bermarka, melewati kebun, persawahan, dan sesekali pemukiman tak berpenghuni maupun berpenghuni yang mati. Perasaan aneh, semacam sepi yang mengganggu, mengiringiku dalam perjalanan. Setidaknya sekarang perasaan itu teredam dengan kekhawatiran... Perjalanan kami terhenti, empat mobil gosong menghentikan laju kami dan kini sedang berusaha disingkirkan dari jalan oleh Ari, Wisnu, Ayah, dan Baron. Bukan, bukan mobilnya yang membuatku khawatir. Tapi, fakta bahwa ada banyak kepala menancap di tombak yang terpaku di kedua sisi jalan. Seseorang, atau sekelompok orang jelas sengaja meletakannya di sini. "Gue gak mau jadi perusak suasana, tapi...." Ucap Aldi, tanpa menyelesaikan kalimatnya puluhan detik setelah aku dan ketiga saudaranya menatap dia. "Apaan? Tapi apa?" tanya Arfan. "Jangan ngomong tanggung-tanggung deh, orang kesel digituin tau." Keluh Dinda, ujung alis kanannya meninggi, kedua tangannya mengeram di atas perut. "Ah, ini jelek banget. Sumpah," jawab Aldi. "Kalo ngeganggu pikiran lo, ungkapin aja..." balas Dinda. "Tapi nanti jadi ngeganggu kalian," kata Aldi. "Bro, cut the s**t," (Jangan basa-basi,) keluh Arfan. "Oke... Gue gak bisa tenang mikirin ini terjadi sama orang tua kita," ujar Aldi. Ketiga saudaranya sontak menatap tajam pada wajah Aldi. "Ki– Kita gak pernah sempet put down mereka, dan... dan,"–Aldi menggelengkan perlahan kepalanya–"Kalau mereka meninggal dengan otak utuh, jasad mereka berkelana entah ke mana. Gimana kalo ada orang yang ketemu sama mereka dan mereka di– " "CUKUP!" bentak Fitri. "Gak usah! Bisa gak? Apa mikirin mereka masih berkeliaran di luar sana dengan GAK tenang, gak cukup buat bikin lo resah dan dihantuin terus tiap tidur? Lo gak inget pesan terakhir bokap lo apa Di!" Nada Fitri semakin tinggi pada Aldi, genangan air mulai mengkristal di balik kelopak matanya. "Wow, jangan dilanjutin Fit...." Ujar Dinda, ia tampak tersulut. "What the hell is wrong with you?" (Lo kenapa sih?) Ucap Aldi pada Fitri. "No, what the hell is wrong with YOU?" balas Fitri. "Udah, udah! Kenapa jadi berantem?" Ujarku melerai. "Tenang dulu ya Fit."–Aku mendekati Fitri–"Gapapa kok marah, tapi jangan keras-keras juga suaranya... Sini tuangin ke gue aja, gue ngerti apa yang lo rasain..." bisikku. "Gimana lo bisa ngerti? Orang tua lo aja masih ada di situ!" Balas Fitri, lalu segera pergi menjauhi kami. "Fit! Jangan ngejauh sendiri! Oi!" Kata Arfan, yang segera menyusulnya. Aku menoleh ke Ibu yang telah menatapku, tangan kanannya meraih ke arahku. "Gak apa-apa..." Ucap Ibu, setelah aku menggenggamnya. "Dia lagi shock kali, dan gak bisa cerita ke siapa-siapa. Nanti kalo udah membaik, kamu temenin dia, ajak ngobrol suasana hati dia, siapa tau emang bener gak semua dia ungkapin sama saudaranya," pesan Ibu. "Eh, hoi! BERHENTI!" Ari berteriak. "STOP! JANGAN MENDEKAT!" Wisnu mengikuti, senapan yang menggantung di punggungnya segera ia arahkan ke depan. Beberapa orang muncul dari pemukiman di depan kami, mereka membawa berbagai macam senjata tajam dan berjalan menghampiri. "Anjir Arfan sama Fitri di belakang lagi!" ucap Aldi. "Suruh mereka ke sini, cepet! Takut kita dikepung." Perintah Reka, ia turun dari mobil dan ikut menodong pistol ke sekelompok orang yang mendekat. Aku pun naik ke atas bak mobil, menyiapkan pistol sambil mengawasi sekitar. "PERINGATAN TERAKHIR! TETAP MENDEKAT, DAN KAMI AKAN TEMBAK!" ucap Wisnu. "Dar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD