Act 15-2

1683 Words
Ari Salah satu dari belasan orang yang mendekat tersungkur di antara tanaman padi yang mereka pijak. "Jangan tembak beneran! Aduh." Keluhku sembari menoleh ke kiri dan kanan. "Gak ada yang nembak di sini kok!" Balas Ayah dengan kecut. "Tuh! Dari belakang, si itu... Siapa ya, lupa namanya." Sahut Wisnu sambil menunjuk ke belakang mobil bak. "Dar! Dar!" Fitri menembak tiga kali ke arah kerumunan penduduk desa, mereka pun menunduk menghindari peluru. Dari kejauhan, Arfan tampak berusaha menurunkan bidikan pistol yang digenggam Fitri, Dinda dan Sely berlari ke arah mereka. "God damn."–Aku menendang ban mobil yang menghalangi jalan–"Sekarang kita harus ngelawan orang satu kampung yang barbar kalo begini. Dia kenapa pula sih?" keluhku. "Siap aja kalau harus begitu... Kita punya cukup daya gempur yang cukup buat hentikan orang sekampung, daripada kepala kita ikut dipajang gitu." Ujar Ayah sambil menatap kepala-kepala yang tertancap pada tombak di sekeliling kami. "Bener siap? Ini mereka berdiri loh..." kata Wisnu. Perhatianku kembali ke kerumunan orang tadi, tiga orang mengelilingi orang yang tertembak Fitri. Orang itu mengerang, pertanda tembakan Fitri tak membunuhnya... Setidaknya, belum. Sisanya? Mereka tampak marah dan siap menyerbu kami, sautan dalam bahasa Sunda halus terus mereka lontarkan tanpa aku pahami.  "Oke, bidik! Semua bidik!" perintah Ayah. "Maju satu langkah lagi, tembak semua yang berdiri di sawah. Kita langsung tabrak aja ini mobil, terus tancap gas sambil hujanin perkampungan di depan." Rencananya, senapan AK-101 miliknya telah berada di mode AB; fully automatic. "Tunggu dulu!" Bentak Baron, lalu segera berdiri dan mendekati bahu jalan dengan kedua tangan di atas. "Tahan, Pak! Jangan maju satu langkah lagi, atau kami terpaksa tembak kalian semua. Kami ini pengungsi, kami hanya ingin lewat jalan ini yang kebetulan melintas di depan desa kalian. Kami gak bermaksud melukai atau mengganggu," ucap Baron. "Kamu tembak warga saya!" Balas salah seorang pria bersenjata arit. "Iya, dan itu salah kami. Kami gak bisa jaga semua anggota keluarga kami. Perempuan yang nembak warga Bapak itu sedikit terganggu psikisnya, Ibu dan Ayah dia baru saja direnggut nyawanya sama makhluk-makhluk itu... Tolong dimengerti Pak, tuh... Liat,"–Baron menunjuk ke belakang mobil kami–"Kita udah tangani. Kalau kalian bisa persilahkan kami lewat, dia bakal kita tuntun ke mobil sementara kita bikin ruang di jalan buat kami lewat, lalu... Sudah, selesai urusan kita. Kami cuma perlu lewat, Pak. Kita gak perlu tumpahin darah di sini, tampaknya kalian udah lakuin itu bukan?" "Apa? Kepala-kepala itu? Mereka mayat yang sudah berubah jadi makhluk-makhluk neraka, bukan orang hidup. Kami bukan orang-orang liar!" Kami saling menatap di balik perlindungan setelah mendengar pengakuan pria yang, sepertinya kepala desa. "Ba... Baiklah, kalau memang bukan orang liar tolong beri kami jalan Pak. Kami punya obat-obatan yang cukup buat atasi luka tembak warga Bapak. Mungkin kita bisa barter saja ketimbang saling membunuh? Sedikit obat-obatan untuk pembukaan jalan?" Warga desa tampak berdiskusi sesaat mendengar penawaran Baron, sosok kepala desa tadi pun menyetujui tawaran itu.                                                                                             ***** "Alus banget negonya... Gue baru tau skill lo yang satu ini Bar," ujarku. Aku, Sely, dan Baron sedang membantu menutup luka salah seorang warga yang tertembak, beberapa wanita penduduk desa juga bersama dengan kami. "Iya men... Kilas balik sama yang kita laluin di Waduk, gue gak mau ngebunuh orang yang salah lagi. Only kill those who deserve it, or... Need it," (Hanya bunuh orang yang pantas dibunuh, atau... yang membutuhkannya,) balas Baron. Aku teringat pada pengakuan Reka di pombensin beberapa hari lalu... Mungkin aku bisa memahami bahwa itu cara Baron menangani rasa bersalahnya, tapi aku masih tak mampu menjawab pertanyaan: Siapa yang pantas menentukan?  "Eum... Jangan mikir ke mana-mana dulu Teh." Ucap Sely, melihat wajah para wanita di sekitar kami yang sepertinya terkejut menguping omongan Baron. "E-emang... Kalian abis dari mana?" tanya salah satu dari mereka. "Waduk Jatiluhur, di sana ada ribuan pengungsi dan ratusan polisi yang bangun benteng mereka sendiri," jawab Baron. Wajah mereka pun kian terkejut, mungkin berharap pada tempat perlindungan. "Tapi gak seperti yang kalian bayangkan..." tegasku. "Ya... Singkat cerita, ada polisi jahat, dan polisi baik di sana. Tapi, yang jahat yang nguasain dan pegang operasi benteng itu. Mereka undang warga sekitar buat bangun kemah bersama mereka, tapi pas udah sampe di sana justru dilucuti... Dari mulai senjata, bekal makanan pokok, pokoknya apapun yang berguna buat bertahan hidup, diambil polisi dan disimpan di gudang mereka sendiri. Alasannya buat dibagi bersama, tapi pembagian mereka sangat gak adil," kisah Baron. "Singkat cerita...." Potongku dengan nada sarkastik, menyindir Baron yang malah bertele. "Warga di sana memberontak, termasuk kita. Perang lah jadinya," "Ooh jadi bunyi-bunyi perang teh dari Jatiluhur geuning!" Celoteh salah satu teteh. "Heeuh nya, sugan teh dari Jakarta gitu nepi ka dieu." (Iya ya, kirain dari Jakarta sampai ke sini.) "Enggak teh, dari Jatiluhur. Perangnya tuh seharian, berkali-kali. Dan kita yang berontak dimanfaatin sama kelompok tertentu yang mau rebut kekuasaan buat mereka sendiri. Di sana kita mungkin udah ikut bunuh orang-orang baik yang terjebak solidaritas satuan dengan polisi korup," terangku. "Iya, jadi begitu... Bukannya bunuh sembarangan, kita juga sebenernya gak mau begini kok," sahut Sely. "Sebetulnya kita udah ceritain ini dan sisanya ke Pak Kades tadi, mungkin habis ini kalian bakal diterangin. Tunggu dari Pak Kadesnya aja langsung ya Bu sisanya, kami kan cuma orang asing numpang lewat, gak enak juga ngelangkahin Bapaknya nyebarin informasi." Terang Baron, ia tak ingin melanjutkan bercerita tentang gerombolan besar recs yang menghancurkan seluruh benteng dan sekitarnya.  "Omong-omong, ini udah selesai ya Teh. Pereda nyeri udah dikasih, tinggal ini obatnya ya Teh."–Sely memberi satu strip isi 10 kaplet obat–"Buat pencegah infeksi, bisa dipake ke siapapun juga yang mungkin nanti ada luka terbuka yang parah gitu. Dari luarnya pakai obat tetes anti bakteri biasa aja." Terang Sely, menyelesaikan pekerjaan kami di sini.  Beruntung, luka tembak orang itu tak begitu fatal karena peluru menembus b****g kanannya tanpa mengenai tulang. Ya, mungkin dia akan sedikit menderita saat buang air besar saja. Kamipun kembali ke mobil kami yang kini terparkir tepat di sebuah pertigaan, di mana gerbang masuk kampung ini terletak. Warga telah membantu menyingkirkan blokade jalan di dua titik yang berbeda, dan kami telah memberi sebagian obat-obatan kami untuk membantu mereka. Jelang sore tiba, kami segera berangkat dari desa ini. Kali ini, dengan bekal informasi jalan dan denah peta dari coretan tangan untuk menuju jalan raya yang melintas di sepanjang sungai, jalan kami menuju Sukabumi. Sedikit harapan timbul pada diriku, untuk penyintas lain di luar sana yang masih sama belum siapnya menghadapi era yang mati... Mungkin kita masih punya kesempatan untuk bekerja sama ketimbang saling membunuh, bergandengan tangan melalui ujung peradaban.                                                                                             ***** (Bunyi mesin mobil padam) "That's it, bensin kita kering." (Selesai sudah.) Ujar Baron, lalu menarik tuas rem tangan. "Jam berapa ini?" tanya Ibu. Dia tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan, mungkin nalarnya belum dapat memproses apa yang telah terjadi pada tubuhnya. "Jam lima lebih Bu," jawab Sely. "Sebentar lagi gelap, dan kita kehabisan bensin di entah berantah begini..." keluh Aldi. Sementara kami satu per satu keluar dari mobil bak curian kami. "Kan udah gue bilang, kartu keberuntungan kita udah habis." Sahut Baron, sambil membantu Reka, lalu Ibu turun dari bak mobil. "Hey, seenggaknya kita nemu sungainya," sambung Reka. "Apa fungsinya sungai buat kita kalau jalan kaki di malam hari begini." Ucap Ayah, lalu merangkul dan membopong lengan Ibu di pundaknya. "Tadi padahal banyak mobil terbengkalai ya, giliran bensin kita habis di sini malah gak ada sama sekali nih di sepanjang jalan..." kata Aldi. "Setuju dah keberuntungan kita udah ab–" "Udah sih!" potong Fitri. "Ada apa sih dengan lo dan ocehan lo Di? Kayanya gak berbobot terus, heran deh. Apa ini cara otak lo atasin masalah besar yang gak bakal bisa lo atasin dan lo terima? Gue kasih tau ya, gak bikin lo keliatan kuat. Toxic banget! Ngomong sendiri aja sana sama mayat!" Omel Fitri Aldi memutar badannya ke arah Fitri, ekspresi geram tertampang dari kerut alis dan bibirnya yang sedikit terbuka, menampakkan gigi atas dan bawahnya yang menyatu erat. Dinda sontak memposisikan dirinya di depan Aldi, dan membelakangi Fitri. "Don't. You'll make it worse," (Jangan direspon. Bakal memperburuk situasi,) bisik Dinda. Sementara Sely dan Arfan mengajak Fitri untuk berjalan, mendahului Aldi yang matanya mengunci Fitri. Aku lalu menoleh ke Reka dan Baron, kami menyaksikan ketegangan yang terjadi di sisi kanan mobil dari sisi kiri. Melihat mereka berdua tak berkomentar apapun, akupun menahan apa yang ada di benakku. Aku sadar mereka telah melalui banyak hal buruk, mungkin lebih buruk dariku dan Sely. Tapi, mereka perlu belajar untuk memahami satu sama lain. Menurutku, gaya bicara Aldi belakangan ini yang mulai seperti Baron sebetulnya tak masalah, jika diucapkan pada orang-orang yang juga tak bermasalah dengan humor semacam itu. Jika diucap ke orang yang sedang berada di titik sangat tidak stabil? Aku harap Fitri cepat membaik, supaya pertengkaran mereka ini tak semakin menjadi dan berpotensi membawa kami ke kematian.                                                                                              ***** Gulita kembali datang, kami telah menyusuri jalan ke arah selatan selama hampir 2 jam tanpa henti. Barang-barang penopang kehidupan yang kami bawa di punggung, ditambah senjata api beserta pelurunya, memperberat perjalanan ini. Setiap aku menyorot senter ke orang-orang di sekitarku, aku bisa melihat keringat telah merubah warna baju mereka, wajah mereka hampir sama dengan wajah mayat. Ketakutan pun terus menghantui kami. Entah aku lebih takut pada recs yang bisa muncul mendadak darimana saja, atau orang jahat yang bisa membantai kami dalam sekejap, mengingat kondisi kami sekarang. "Bulannya lagi terang banget ya...." Ucap Baron, memecah keheningan. "Purnama gitu ya sekarang? Tanggal berapa sih ini, lupa," balas Reka. Aku menolehkan wajah ke langit, dan... Bulan sedang tidak purnama, bahkan tampak samar-samar terhalang awan hitam. "Dia liat ke mana coba?" Pikirku, menerka apa yang dibicarakan Baron. "Gak purnama loh itu..." sahut Sely. "Hah?" Respon Baron, lalu melihat ke atas. "Wait, what? Tapi gue liat pantulan terang banget di air sungai" ucapnya. "Itu... Itu bukan bulan. Lihat!" Sahut Wisnu sambil menunjuk ke belakang kami. Sebuah kapal kecil yang memijarkan lampu ke segala arah sedang mengarungi sungai di sebelah kanan kami.  "Ayo, ke tepi!" ajak Ayah. Kami bergegas ke tepi sungai, menyorot balik senter kami ke arah kapal itu. "Jangan lengah dulu, pasang barisan dan siapin senjata kita. Belom tentu ini orang bener..." saran Wisnu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD