8 Kabar dari Imelda

2073 Words
Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera sadar siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak, itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal sudah punya anak dua. Alasan lain yang lebih parah ada, lain kali saja aku ceritakan. Kalau bicara ke orang lain, Nely bilang kalau suaminya kurebut. Tak jarang orang akan percaya begitu saja tanpa tahu masalah yang ada di dalam rumah tangganya. Aku juga sering dapat laporan dari gurunya anak-anak di sekolah. Pas waktu menjemput pulang sekolah sering terlambat. Kemudian tiba-tiba ada tukang ojek yang menjemput tanpa ada konfirmasi lebih dulu. Tentu itu menjadikan gurunya khawatir, sehingga gurunya lebih memilih mengantarnya sendiri. Kalau terjadi penculikan nanti pihak sekolah yang disalahkan. Oh ya, ini rencananya pengiriman jatah bulanan anak-anak ke depannya akan kami alihkan ke Mbah kakungnya anak-anak saja. Selama ini kami kirim ke Nely langsung. Setelah cerita dari Mbak Alya, kami merasa khawatir jatah anak-anak digunakan untuk urusan lainnya. Ada pikiran juga untuk mengambil hak asuh anak-anak jika memang Nely sering mengabaikan mereka. Terimakasih Mbak atas informasinya. Semoga Mbak Alya diberi kemudahan menghadapi ujian ini. Wassalam. Alhamdulillah, Imelda bersedia membuka komunikasi. Ngeri membaca informasi tentang Nely darinya. Nanti akan kusampaikan kepada Mas Wildan, semoga dia sadar siapa wanita yang sedang dihadapinya. *** “Alhamdulillah, itu Bunda sudah datang,” seru Mbak Cahya. Dia sedang menggendong Rheza yang tampak rewel. Mereka berdiri di teras. Karena pagar sudah terbuka, aku segera memasukkan mobil ke car port. “Ya sayang, maaf ya bunda tadi masih ada perlu.” Kucoba mengambil alih Rheza begitu turun dari mobil dan setelah cuci tangan. “Sepertinya dia ngantuk Al, kamu keloni saja biar tidur!” saran Mbak Cahya. Akhirnya, kubopong Rheza ke kamar sambil nenen. Aku memang mempunyai prinsip anak-anak harus minum ASI sampai usia dua tahun. Menjadi wanita bekerja tidak boleh mengantarkanku untuk mengabaikan hak anak tentang asupan makanan terbaiknya. Sebulan lagi Rheza baru kusapih. Apalagi sekarang air susuku sudah tak terlalu bancar. Mungkin karena selera makanku turun drastis akhir-akhir ini. Bisa jadi juga aku stres sehingga menghambat produksi ASI. Benar, Rheza tenyata mengantuk. Hanya saja dia tidak bisa memulai tidur, makanya rewel. Lima menit kukeloni, dia akhirnya terlelap. Sementara itu, Mbak Cahya sepertinya sudah siap menanyakan masalah yang ingin diketahuinya dari tadi. “Al, ada masalah apa di rumah mertuamu?” Tuh ‘kan benar dugaanku. Mbak Cahya langsung to the point ke inti masalah. Aku sudah tidak bisa mengelak dari pertanyaannya. Maka, kuajak dia pindah ke kamar sebelah agar tidak mengganggu Rheza yang baru saja terlelap. Kuceritakan semuanya dari awal hingga pertemuanku dengan Nely barusan. “Edan itu si Wildan, hidupnya baru enak dikit saja sudah banyak tingkah.” Sudah kuduga respon Mbak Cahya pasti berang. Apalagi Mas Wildan ada tanggungan utang padanya. “Oya, bilang ke suamimu itu Al, suruh lunasi utangnya sekarang juga. Cash enggak pake dicicil.” Inilah yang membuat Mbak Cahya enggak terima. Mas Wildan masih punya pinjaman untuk tambahan biaya sekolahnya beberapa waktu lalu. Utang belum lunas, sudah bikin ulah. Layaknya pekerjaan di bidang lain, di kapal pun anak buah kapal–ABK–yang mau naik jabatan juga harus sekolah lagi. Selama sekolah tentu tidak mendapat gaji. Dalam kondisi ini kebutuhan membengkak, sementara pemasukan berkurang. Sehingga kami terpaksa utang untuk mencukupi kebutuhan. Kami berjanji akan mengangsurnya setiap bulan saat gajian. Namun, karena Mbak Cahya geram dengan tingkah Mas Wildan, dia meminta pinjamannya dikembalikan sekaligus. Sekarang juga. “Enggak ada yang melarang orang nikah lagi, tapi kalo sudah pantas. Lah nyukupi kebutuhan anak istri saja masih kau rewangi bekerja, kok nambah istri. Wis keblinger bojomu iku, Al.” Tuduhan Mbak Cahya itu tak berlebihan. Aku jadi enggak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluargaku yang lain jika tahu masalah ini. Kakakku yang terkenal kalem saja bisa sebegini emosinya. Lantas bagaimana dengan Bapak dan Ibuku? “Oya, kamu tahu alamat wanita itu?” tanyanya dengan menatapku tajam. “Sepertinya di **-nya ada foto yang disertai lokasi rumanhnya, Mbak.” Segera kubuka ponsel. Kuklik aplikasi berlogo kamera dengan background warna degradasi ungu ke jingga itu. Begitu kudapat akunnya Nely, segera ku-scroll foto-foto yang telah di-upload-nya. Kutunjukkan gambar itu kepada Mbak Cahya. “Oalah, arek’e biasa. Masih cakepan kamu. Sudah jangan minder. Besok kita datangi rumahnya.” Mbak Cahya tampak bersemangat, sementara aku yang deg-degan. “Tapi di sini cuma tertera desa, kecamatan, dan kabupatennya, Mbak.” “Ya dicarilah, Al. Nanti kusampaikan ke Mas Galih. Sepertinya dia punya kenalan dari daerah itu. Di Kediri, ‘kan?” tegasnya. “Nanti biar temannya Mas Galih diajak sekalian buat gantiin nyupir kalo Masmu capek.” Tekad Mbak Cahya tampak bulat untuk meminta bantuan Mas Galih dan temannya. Jarak rumahku ke rumah Nely bisa dibilang tidak dekat. Sidoarjo-Kediri, meski masih satu provinsi, tetapi harus melewati tiga kabupaten lagi baru sampai. Tak kusangka Mbak Cahya punya pikiran sejauh itu. Aku memang mendapat saran dari Ustazah Firoh kemarin agar memastikan model pernikahan yang dilakoni Mas Wildan dan Nely. Gayung bersambut, Mbak Cahya mengajak mencari alamatnya Nely. Syukurlah, aku jadi enggak perlu pusing mengajak orang lain. Bertepatan besok itu hari Sabtu, sehingga aku libur kerja. “Kita nanti ke sana ngomong apa saja, Mbak?” Jujur aku masih belum tergambar apa yang akan kami lakukan nanti. “Ya diniatkan silaturahmi ke orang tuanya. Kita ngomong baik-baiklah. Sekiranya kondisi ini bisa diperbaiki. Syukur-syukur jika orang tuanya juga nggenah. Biar bisa nasihati anaknya. Aku enggak tega lihat anakmu masih kecil-kecil terus kehilangan bapaknya.” Kata-kata Mbak Cahya membuatku terenyuh. Tadi dia begitu emosi mendengar Mas Wildan nikah lagi, tetapi kini masih berusaha memperbaiki kondisi. Bisa jadi kalau orang lain langsung memintaku bercerai. “Sudah sore, aku balik dulu. Jangan lupa banyak berdoa. Minta sama Allah diberi kekuatan, abot masalah iki.” “Inggih, Mbak. Matur nuwun, ngapunten ngrepoti Panjenengan,” ucapku dari hati terdalam. “Kamu itu adikku, Al. Masak aku tega biarkan kamu kena masalah sendirian. Sudah enggak usah sungkan gitu,” sanggahnya. Kakakku lalu pamit. Dia memelukku erat dan kurasakan air matanya jatuh membasahi kerudungku. “Wis ya Al, yang kuat!” pesan Mbak Cahya dengan matanya yang basah, menjadikanku ikut berkaca-kaca. Bukan karena masalah yang menimpa, tetapi rasa pedulinya yang ingin membuat keluargaku tetap utuh. Aku bingung harus mencari informasi kepada siapa untuk menemukan alamat lengkap Nely besok. Lalu aku teringat Imelda. Barangkali dia pernah ke rumah Nely sehingga bisa sedikit memberi gambaran. Segera kukirim pesan kepadanya. Kubilang kalau aku besok mau ke rumah Nely. Alhamdulillah, pesan segera dibalas. Malah dia menyertakan nomor ponsel agar kami bisa lebih leluasa berbicara. Tanpa menunggu lama, nomor yang dia berikan langsung kusimpan. Segera kutelepon Imelda. Panggilan langsung diangkat. Dari suara salam yang diucapkan, memang kentara jika dia masih muda. “Ya Mbak Alya, aku bisa bantu apa?” sapanya dengan logat melayu yang cukup kental. “Iya, Mbak. Saya besok berencana ke rumah Bu Nely sama kakak saya. Barangkali Mbak Imelda pernah ke sana. Bisa minta tolong kasih petunjuk?” Imelda lalu menyebutkan gang yang harus kumasuki dari jalan provinsi. Katanya rumahnya hanya berjarak dua ratus meteran dari jalan raya dan menghadap ke utara. “Oya, Mbak. Kalo karakter orang tuanya Bu Nely gimana, ya? Biar saya siap-siap juga hadapi mereka.” “Kalo ibunya hampir sama sikapnya kayak Nely, Mbak. Dulu sebelum Mas Rifki kenal sama aku, mereka sudah ada masalah sebenarnya. Nely sudah mau dicerai karena dia ketahuan punya hubungan dengan laki-laki lain saat ditinggal Mas Rifki tugas ke luar negeri, tapi enggak jadi cerai karena ibunya ngancam mau bunuh diri.” Astaghfirullah … benarkah cerita ini? Kudengarkan dengan seksama agar tidak ada informasi yang terlewat. Imelda masih melanjutkan ceritanya. “Kalo bapaknya lebih enak, Mbak. Pak Danu itu lebih bijak nyikapi masalah. Karena beliau juga ketua RT saat itu. Jadi kalo Nely salah, ya diperlakukan salah. Enggak kayak ibunya, anaknya salah masih saja dibela.” “Oh … gitu ya, Mbak. Makasih banyak infonya.” “Oh ya, satu lagi. Pak Danu sama istrinya tahun lalu pergi haji, semoga hati mereka masih bersih menyikapi masalah ini. Jujur aku kaget Nely enggak berubah. Malah makin menjadi.” “Kalo menurut Mbak Imelda, kira-kira ortunya Bu Nely tahu tidak jika anaknya nikah lagi?” “Feeling-ku mereka enggak tahu, Mbak. Enggak mungkin sepertinya mereka setuju dengan pernikahan siri. Sementara Pak Danu tokoh masyarakat yang cukup disegani di kampungnya. Beliau juga pensiunan pegawai negeri.” “Ya, Mbak. Terima kasih ya infonya. Sangat membantu.” “Sama-sama, semoga berhasil, ya. Oya, satu lagi. Nely itu enggak punya kerjaan, Mbak. Dia sekarang pegang uang karena semua tabungan selama jadi istrinya Mas Rifki dia yang bawa. Mungkin sekarang uangnya masih banyak, makanya bisa foya-foya. Kami saja yang di sini menerima banyak tagihan utang dari teman-temannya. Pokoknya hati-hati ya, Mbak! Jangan percaya dia enggak butuh materi dari suami Mbak Alya. Itu strategi dia saja. Dia itu pinter sandiwara.” Informasi dari Imelda ini poin yang sangat penting. Telepon dengan Imelda kuakhiri dengan mengucap banyak terima kasih. Terbuka semua kedokmu sekarang, Nel. Kalau begini kondisimu, enggak perlu lama kau akan kalang kabut. Ternyata dia tak se-wow yang kukira. Kupikir saja dia benar-benar wanita kaya yang enggak butuh harta. Ternyata sama saja. Janda yang cari penghidupan. Baru saja kutaruh gawai di atas meja, panggilan telepon masuk. Ternyata Mas Wildan. Tumben tidak pakai video call. Segera kugeser ikon telepon warna hijau. Tanpa salam dia langsung bicara. “Dik, kamu habis buat keributan ya di rumahnya Ibu?” hardiknya. Dari intonasinya dia terlihat sangat marah. “Kata siapa?” “Ibu barusan telepon, nangis-nangis ke aku. Ya ampun, Dik. Enggak bisa ta kamu tenang hadapi masalah ini?” “Mana bisa aku tenang, Mas. Sementara suamiku mulai berani ganjen menggoda janda,” teriakku. “Kamu ‘kan yang mulai pertengkaran itu? Coba kamu enggak nuduh Nely macam-macam. Pasti kalian enggak akan ribut di rumah Ibu,” berangnya. Mas Wildan menghindar dari pernyataanku barusan. Dia malah melimpahkan kesalahan kepadaku. “Ya Allah, Mas. Sebegitunya kamu bela Nely?” Tangisku kini pecah. “Ya enggak bela. Dia ‘kan berkunjung baik-baik ke Ibu. Tiba-tiba kamu datang bikin gaduh. Pasti Lek Titik ya yang ngabari?” Aku diam saja tak menjawab pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya itu. “Sudahlah jangan ikut-ikutan Lek Titik. Dari dulu Lek Titik sama Ibu itu kurang akur. Makanya suka kalo lihat keluarga kita hancur.” Tak kuhiraukan masalah Lek Titik dengan Ibu mertua. Lalu kualihkan pada kabar yang lebih penting. “Mas, aku barusan telepon istrinya Pak Rifki, mantan suaminya Nely. Ternyata Nely enggak sebaik yang kamu ceritakan, Mas. Dia–” bicaraku terpaksa terjeda sebab Mas Wildan memotongnya. “Kamu itu, Dik. Cari informasi ke istrinya Rifki. Ya jelas saja pasti jelek-jelekin Nely,” sangkalnya. “Ya enggak gitu, Mas. Nely itu enggak kaya Mas. Dia banyak utangnya.” Lalu terdengar bunyi panggilan diakhiri. Entah Mas Wildan mendengar atau tidak kalimat terakhirku barusan. Namun, sepertinya dia mendengar, makanya panggilan langsung ditutupnya sepihak. Mata hatimu benar-benar telah tertutup, Mas. *** Pagi ini aku bersiap ke rumah Nely. Sebenarnya aku gerogi karena tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Apa dia akan memaki-makiku juga di rumahnya nanti? Sambil menunggu Mbak Cahya datang, aku membuat kopi agar pikiranku lebih rileks. Namun, niat itu kuurungkan sebab ada panggilan dari Mila. “Ya, Mil. Ada apa?” “Gila wanita itu, Say. Barusan suamiku telepon, katanya wanita itu mau ikut layar.” “Hah, yang bener? Tahu dari mana?” Aku masih tidak percaya dengan kabar ini. “Iya bener, Say. Katanya Mas Dhimas, Pak Wildan lagi ngurusin free pass buat Nely. Itu, tiket gratis buat anggota keluarga ABK.” Hm…nekat juga dia, banyak utang saja belagu. Mendengar kabar Nely mau ikut layar, hatiku gado-gado rasanya. Nyesek karena dia akan bersama Mas Wildan, tetapi ada untungnya juga. Nanti pas aku ke rumahnya enggak perlu melihat wajahnya yang menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD