9 Janji Pak Danu

2270 Words
“Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila masih dalam percakapan jarak jauh ini mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “I-iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah … bagus itu. Sama siapa?” Suara Mila di seberang sana terdengar bersemangat. “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar, ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah, ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja,” protesku. “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini,” ungkapnya dengan nada bangga. “Oke, makasih, ya.” “Tar saling up-date kabar, ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menetes melewati pipi. Aku jadi teringat saat kami masih tahap perkenalan. Kala itu kusempatkan konsultasi dengan Mas Satria. “Mas, ini ada pelaut berniat kenalan, jika cocok lanjut nikah, tapi aku takut. Katanya pelaut itu banyak yang nakal.” “Orang kalo mau nakal itu siapa pun bisa, Al. Enggak harus pelaut. Anggota dewan yang terhormat pun ada. Semua tergantung niat.” Aku setuju dengan jawaban yang diberikan Mas Satria. Memang laki-laki nakal tidak memandang profesi. Akhirnya kuterima tawaran perkenalan dengan Mas Wildan. Dia mempunyai sesuatu yang membuatku kagum. Berdasarkan informasi dari pihak yang menjodohkan kami, Mas Wildan orangnya suka membaca al-Qur’an. Dipercaya jadi imam salat di lingkungan kerjanya. Dia juga tidak merokok. Se-simple itu kriteriaku untuk calon suami. Apalagi saat berkunjung ke rumah, orangnya kelihatan pendiam. Saat itu aku makin yakin, dia satu di antara sekian pelaut yang akan setia. Terbukti selama tujuh tahun pernikahan kami. Namun, kini semua keyakinanku itu hancur berkeping-keping. Tepat menjelang usia pernikahan ke delapan kami. Andai aku tidak membuka wawasan dan pergaulan, mungkin pertimbanganku tidak akan sekompleks ini untuk mempertahankan pernikahan. Pasti yang kupikirkan hanya perceraian, tanpa mengupayakan perbaikan untuk rumah tanggaku. Ini efek relasiku yang tidak hanya dari rekan kerja. Aku juga bergaul dengan ibu-ibu pengajian. Salah satunya berteman dengan Ustazah Firoh. Beliau yang mengajarkanku arti sabar dalam menjalankan ketaatan. Termasuk patuh kepada suami selama tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan. Hingga aku sempat berdebat via telepon kemarin malam dengan Mbak Cahya. Apakah rencanaku pergi ke luar kota tanpa pamit kepada Mas Wildan ini dibenarkan? Sementara aku masih berstatus sebagai istrinya. Sebab keyakinanku mengajarkan keluarnya seorang istri dari rumahnya harus sepengetahuan suaminya. Untuk keperluan kerja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku dan Mas Wildan menyepakati tidak perlu izin khusus. Karena sifatnya sudah menjadi rutinitas, tetapi untuk ke luar kota adalah hal lain. Jujur aku sempat ragu, boleh tidak, ya? Alhasil, aku dinasihati panjang lebar oleh Mbak Cahya. “Wildan sekarang itu dalam posisi bermasalah, Al. Dia lagi mabuk janda. Kita pergi ke luar kota ini mau menyelesaikan masalahnya. Ini kondisi pengecualian, Al. Kamu jangan kaku memaknai dalil agama!” Baiklah, aku kali ini menerima pendapat kakakku itu. Memang sih, jika aku izin Mas Wildan terlebih dahulu jelas tidak akan diperbolehkan. Terus bagaimana masalah ini bisa terselesaikan? Kutata hatiku, tidak ada niat untuk membangkang suami. Justru aku ingin menyelamatkannya agar tidak makin salah langkah. Deru mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Kutengok dari jendela, mobil jenis MPV warna dark grey parkir tepat di depan pagar. Pemiliknya segera turun dan membuka pintu gerbang. “Alhamdulillah, keponakan Bude sudah ganteng-ganteng. Kita pergi jalan-jalan ya hari ini,” sapa Mbak Cahya ramah kepada anak-anak begitu kedatangannya disambut kedua anakku di teras. Setelah menyapa Rohim dan Rheza, Mbak Cahya membantuku untuk membawakan tas berisi kebutuhan anak-anak. Mulai dari baju ganti, popok, makanan ringan, dan mainan. “Sudah ini saja yang dimasukkan ke mobil?” “Ya, Mbak,” sahutku sambil mengunci pintu. Tidak lupa sebelumnya kunyalakan lampu teras. Jaga-jaga jika hari sudah petang namun kami belum datang. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyil adzim. Kulafalkan doa keluar rumah. Aku pasrahkan semua kepada-Mu Ya Allah. Apa pun nanti yang akan terjadi, aku yakin itu skenario terbaik dari-MU. “Oya, gimana ibu mertuamu, Al? Jadi ikut? Kalo iya kita ampiri,” tanya Mas Galih yang duduk di samping kursi pengemudi. Kemarin aku memang sudah menyampaikan ke Ibu mertua jika hari ini kami akan ke rumahnya Nely. Sekaligus mengajaknya bersama-sama menyelesaikan masalah ini. “Mboten Mas, lagi tidak enak badan katanya.” “Trus Pak Lekmu yang katanya jadi saksi nikah itu bisa ikut, ‘kan?” Kini giliran Mbak Cahya bertanya dengan nada terlihat jengkel. “Mboten pisan, Mbak. Katanya hari ini pas giliran narik bus.” “Gimana keluarganya Wildan itu, kok enggak ada yang mau terlibat?” ujar Mas Galih heran. Jangankan kakak iparku, aku saja ya kecewa mendengar respon dari Ibu mertua dan Lek Tomo semalam. Terlalu banyak alasan yang mereka buat. Andai tidak ada anak-anak dari pernikahan ini, jelas aku sudah tidak mau dipusingkan menyadarkan langkah Mas Wildan. Lebih baik aku memilih hidup sendiri. *** Kami masih menempuh seperempat perjalanan. Gawaiku menyala. Ada pesan dari Mas Wildan. Aku berdoa dalam hati semoga dia tidak melakukan panggilan video call, biar tidak menyulitkanku membuat alasan. Sebab posisiku masih di dalam mobil. [Dik, Mas berangkat] Selalu begitu, menjadi rutinitas Mas Wildan pamit setiap kali kapal mulai jalan. [Ya, hati-hati, Mas. Cuaca lagi kurang bersahabat] [Anak-anak lagi ngapain?] [Rheza tidur. Rohim lihat video] [Dik …] [Ya, apa …] [Enggak apa-apa. Hati-hati di rumah] Kubalas pesannya dengan kalimat pendek. Efek perasaanku yang tidak tenang. Kupikir dia akan bilang jika Nely ikut layar, ternyata tidak. Chat kami berakhir. Aku merasa lega sekaligus resah. Lagi-lagi membayangkan Nely ikut berlayar membuat dadaku sesak. Setelah satu setengah jam, akhirnya kami keluar dari pintu tol. Perasaanku tidak karuan sekarang. Kubuka Google, mencari letak desa yang tempat tinggal Nely. Masih sepuluh kilo meter lagi ternyata. Kecamatannya sudah cocok. Tinggal cari desanya saja. Laju kendaraan diperlambat, karena alamat yang kami tuju makin dekat. “Mas, itu barusan ada gang nama desanya,” seruku begitu melihat gapura. “Waduh sudah terlanjur. Kita putar balik saja ya kalo begitu.” Hatiku dag dig dug tidak karuan. Begitu masuk gang, petunjuk itu langsung tampak. Ada mobil warna putih yang kemarin parkir di halaman rumah mertuaku. Jika mobilnya diparkir di rumah, berarti Nely ke kapal naik kendaraan umum. Niat banget ya wanita itu. Betul ini rumahnya, menghadap ke utara. Letaknya tak jauh dari gang jalan raya. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan Imelda. “Mas, itu rumahnya yang ada mobil putih parkir di pinggir jalan.” Kuarahkan telunjuk pada sebuah rumah yang kumaksud. Kendaraan kami segera merapat. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh menit. Saat yang masih pantas untuk bertamu. Kami berjalan menuju gerbang yang setengah terbuka itu. Sementara teman Mas Galih menunggu di luar. Salam kami ucapkan, kemudian dua anak perempuan yang kukenali sebagai anaknya Nely keluar menengok kami. Oh, anaknya enggak ada yang diajak ke kapal ini ceritanya. Asyik dong, mereka berdua saja enggak ada yang ganggu. Mood-ku kian memburuk dihadapkan pada situasi ini. Kedua anak itu kembali ke dalam rumah tanpa mempersilakan kami masuk. Mungkin mereka takut karena wajah kami asing. Tidak lama kemudian, wanita berusia kisaran 55 tahun keluar menggunakan daster warna cokelat tua. Kemudian Mbak Cahya mengulang salamnya. “Wa’alaikumussalam. Mencari siapa, inggih?” tanya wanita itu dengan dahi berkerut. “Benar ini rumahnya Pak Danu? Kami ada perlu dengan Bapak,” jawab Mas Galih sopan. “Oh, iya. Silakan masuk!" Setelah mempersilakan kami duduk, wanita itu menuju ke dalam ruang tengah. Rumah bangunan khas Jawa ini cukup luas ruang tamunya. Bangunan utamanya masih utuh, hanya direhab bagian terasnya. Kami duduk pada kursi anyaman rotan yang ditata di pojok ruangan. Setelahnya wanita tadi keluar bersama seorang lelaki yang rambutnya sudah berwarna putih, tetapi masih terlihat sehat fisiknya. Selepasnya, laki-laki itu duduk dan menyapa kami, “Ngapunten, Panjenengan semua dari mana, inggih? Saya kok tidak merasa kenal.” Dahi lelaki tua itu berkerut. Dari sorot matanya, dia terlihat berusaha mengingat sesuatu. Mas iparku angkat bicara, “Ngapunten Abah, kami di sini berniat silaturahmi. Memang sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Saya hanya mengantarkan adik. Ada yang mau disampaikannya.” Mas iparku lalu memperkenalkan nama dan asal daerah kami. “Ayo Al, sampaikan maksud Sampean ke sini!” ucap Mas Galih sambil membuka telapak tangan kanannya. Jantungku mendadak berdetak lebih kencang. Kata Imelda, Pak Danu ini orangnya bijak. Bisa kulihat dari ekspresinya yang cukup bersahabat meski masih tersimpan rasa penasaran saat menatapku. “Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Datang ke sini sebagai tamu yang tak diundang.” Kuhirup napas dalam-dalam untuk mengambil jeda. “Saya ke mari, karena suami dikabarkan telah menikah dengan putri Bapak. Saya ingin memastikan kebenarannya. Karena sebagai istrinya, saya juga berhak tahu.” “Mbaknya enggak salah orang?” tanya Pak Danu, “anak saya memang janda, tapi belum menikah lagi,” lanjutnya. Aku dan Mbak Cahya saling berpandangan. Jawaban ini memang di luar perkiraan. Entah ini sungguhan atau sandiwara. Namun, jika Pak Danu pura-pura, rasanya tidak pantas. Masak orang yang baru pulang haji berbohong untuk urusan agama. Bukankah pernikahan itu urusan din yang tidak main-main? “Buk, Ibuk, Sampean lungguh’o kene disek!” Pak Danu menyuruh istrinya duduk di sampingnya. Sebab Bu Danu hendak beranjak ke dalam ruang tengah setelah menyuguhkan teh manis dan kudapan. Akhirnya, Bu Danu meletakkan nampan di meja dekat etalase baju dan duduk di samping suaminya. “Ini loh, anak kita katanya kok menikah dengan suaminya si Mbak ini. Sampean apa ya enggak ngerti?” Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu terdiam. Sepertinya beliau masih mengatur kata yang akan diucapkannya. Entahlah, aku merasa ibunya Nely itu merahasiakan sesuatu dari suaminya. "Anak kami memang pernah cerita kalau lagi dekat dengan seseorang. Tapi kami mengingatkannya untuk tidak gegabah. Jujur kami sebagai orang tua masih merasakan sakitnya menjemput anak kami di bandara dengan status janda,” jelas wanita yang kuakui lebih cantik daripada anaknya itu. Aku pun memutar otak saat melihat dua orang tua ini menyangkal adanya pernikahan anaknya. Bagaimana aku menunjukkan bahwa anaknya telah berbuat terlalu jauh tanpa sepengetahuan mereka? Aku mengendus ada upaya melindungi Nely dari gesture Bu Danu. Feeling-ku mengatakan Nely sudah berbicara kepada kedua orang tuanya terkait keinginannya menikah dengan Mas Wildan. Hanya saja, permintaan itu tidak disetujui karena Mas Wildan sudah berkeluarga. Jadilah Nely nekat nikah diam-diam tanpa sepengetahuan bapak ibunya. Di satu sisi, aku merasa puas sebab terbukti wali nikahnya Nely bukan bapaknya. Namun, aku juga merasa miris, berarti suamiku telah berzina selama ini. Sebab pernikahan mereka tidak sah menurut pendapat tiga Imam mazab. Sebagai bukti alasan kedatanganku tidak mengada-ada, kukeluarkan gawai di dalam tas. Galeri kubuka dan kutunjukkan foto-foto Nely bersama Mas Wildan. “Benar ini Mbak Nely putri Bapak?” Kuberikan gawaiku itu kepada Pak Danu. Pak Danu beserta istrinya melihat foto-foto itu. Digesernya hingga wanita itu menjingkat kemudian mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Mungkin beliau melihat foto di kamar hotel itu. Sengaja tidak kuhapus. Sementara Pak Danu lebih tenang, meski terlihat berpikir keras. Gawaiku yang beliau pegang, diserahkan kembali kepadaku. “Mbaknya statusnya masih istri atau sudah pisahan?” tanya Pak Danu penuh selidik. “Saya masih istrinya Mas Wildan, Pak.” Segera kukeluarkan KTP, KK, dan buku nikah. Manjur juga nasihatnya Mila, ternyata itu semua ada gunanya. Bahkan sangat berguna. Jika tidak, bagaimana caraku membungkam keraguan Pak Danu? Lelaki itu mengambil kacamata lalu memeriksa surat-surat berharga itu. Setelah diteliti baik-baik, beliau kemudian meletakkannya kembali ke meja. Keraguannya atas statusku sepertinya sudah tertepis. “Ngapunten, Mbak Nely sekarang di mana, inggih?” Sengaja pertanyaan itu kuberikan untuk makin menguatkan kelakuan anaknya. Kedua orang tua itu saling berpandangan. “Ke rumah temannya, katanya,” jawab Bu Danu terlihat ragu. Aplikasi w******p segera kubuka. Segera kutunjukkan statusnya Nely yang lagi selfie di kapal. Dia juga foto di bagian luar kapal yang memperlihatkan area pelabuhan. Sialnya dia juga foto bersama Mas Wildan yang mengenakan seragam. Kena kamu, Nel. Mungkin niatmu ingin memanas-manasiku, tetapi statusmu malah sangat membantuku. Meyakinkan bapak-ibumu. “Mbak Nely sekarang ikut suami saya berlayar, Pak.” Orang tua Nely mematung seketika usai kutunjukkan status w******p anaknya. Sepertinya mereka menahan malu atas kelakuan Nely. “Begini Pak Danu, kami ke sini tidak berniat mencari masalah. Tidak pula bermusuhan. Tapi kami ingin mencari solusi, menyambung seduluran,” ucap Mas Galih berusaha mencairkan suasana yang sempat menegang. “Jadi kami berharap Pak Danu bersikap bijak atas hubungan Mbak Nely dengan Wildan. Karena kami juga tak ingin keluarga adik kami berantakan. Kasihan itu anaknya masih kecil-kecil,” jelas Mas Galih sambil menunjuk Rohim dan Rheza. “Inggih, Pak. Kami sudah cukup malu anak kami berstatus janda, jangan sampai dituduh janda perusak rumah tangga orang. Panjenengan bisa pegang omongan saya. Saya Danu Subagio tidak akan menerima siapa tadi nama suaminya?” tanya Pak Danu kepadaku. “Wildan,” sahutku. “Kami tidak akan menerima Wildan di rumah ini,” lanjut Pak Danu tenang. Namun, berkebalikan dengan sikap Bu Danu yang terlihat gusar. “Alhamdulillah! Terima kasih, Pak. Insyaallah urusan kami sudah selesai. Kami mau undur diri dulu,” sahut Mas Galih mengajak kami pamit. Sebelum kami pamit, ibunya Nely mempersilakan untuk meminum teh yang disuguhkan terlebih dulu. Anak-anakku yang bermain mobil-mobilan di lantai segera kuajak membereskan mainannya. Rheza kugendong, sementara Rohim digandeng Mbak Cahya. Kami berpamitan dan saling meminta maaf. Bunyi notifikasi pesan masuk terdengar Begitu aku berjalan menuju mobil. Sebuah pesan dari Mila. [Say, ada insiden di kapal. Kamu masih di rumahnya Nely apa sudah selesai?] Pesan dari Mila ini membuatku bertanya-tanya. Insiden apakah? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD