10 Tawaran ke Paranormal

1782 Words
Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” tanyaku tidak sabar. “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologinya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi hape kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa, Mil?” “Ya pas hape mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya suamiku cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. Hape Mas Dhimas dah enggak aktif. ‘Kan kamu tahu sendiri, kalo kapal sudah ke tengah laut, susah dapat sinyal.” “Ya, aku ngerti. Tadi jam setengah sembilanan Mas Wildan masih chat sama aku. Berarti itu belum kejadian, ya?” “Belumlah. Sama, aku tadi jam segitu juga masih sempat telepon Mas Dhimas sebentar. ‘Kan mereka lagi sibuk-sibuknya karena lagi muat. Katanya penumpang dan muatannya cukup banyak hari ini.” “Astaghfirullah … aku ikut gemeter, Mil. Apa Mas Wildan juga ikut nyebur nolongin Nely?” Meski aku saat ini benci setengah mati sama Nely, mendengar kabar dia kecebur ke laut rasanya kok ya kasihan. “Kurang tahu, Say. Info lengkapnya baru bisa kita dapat 29 jam lagi. Besok sore kalo perjalanan lancar baru ada sinyal.” “Ya, aku paham, Mil.” “Ya sudah, pasrah aja. Apa pun yang terjadi pasti itu yang terbaik buat kita.” “Ya, Mil, makasih support-nya.” “Trus, gimana hasil pertemuan dengan bapaknya Nely?” Pembicaraan kami beralih topik. Kuceritakan poin-poin dari pertemuan dengan Pak Danu. Setelah itu percakapan jarak jauh kami akhiri. “Ada kabar apa, Al?” tanya Mbak Cahya yang sedari tadi memperhatikanku. “Kata temenku, Nely kecebur ke laut, Mbak.” “Enggak kaget. Wong wedok banyak tingkah ya gitu akibate.” Aku juga kesal dengan tingkah yang dibuat Nely. Namun, belum lengkapnya informasi membuat pikiranku galau. Astaghfirullahal‘azim. Istighfar terus kulafazkan. Agar hati ini tenang. “Na’udzubillahi min dzalik. Jangan sampai anak turunan kita punya kelakuan seperti Nely. Nekat nikah sama suami orang tanpa restu orang tua.” Kakakku masih meluapkan keterkejutannya atas fakta yang baru diterima. “Nely itu kalo enggak tertolong apa ya enggak su’ul khotimah? Belum sempat minta maaf sama orang tuanya,” cemooh Mbak Cahya. “Apa didoakan selamat saja ya, Mbak? Biar sempat tobat,” imbuhku. “Didoakan mati dimakan hiu ya kasihan. Kalo selamat itu ya gregeten. Apa ada jaminan dia akan berubah?” Mbak Cahya sepertinya mulai tersentuh sisi kemanusiaannya. Meski masih tampak keraguan dalam nada bicaranya. Kakakku itu tentunya paham, mengubah sifat seseorang tak semudah membalikkan telapak tangan. “Masalahnya mengubah watak itu enggak mudah, Al. Apalagi dia sudah berumur, kecuali masih anak-anak,” imbuhnya. Betul, Nely sudah terlalu berumur untuk bisa berubah. Meski itu bukan hal yang tidak mungkin. Sepanjang perjalanan pulang, Mbak Cahya terus memberi nasihat. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan penuturannya yang telah lebih lama merasakan asam garam kehidupan. *** Khusus hari Ahad ini Bik Sum tetap kuminta datang ke rumah walau hanya setengah hari. Biasanya beliau libur setiap tanggal merah. Sebab saat ini aku butuh bantuan memasak dan bersih-bersih rumah. Tubuhku meriang sejak semalam. Mungkin kecapekan setelah perjalanan dari luar kota. Ditambah tidurku yang tidak bisa nyenyak memikirkan kabar Mas Wildan dan Nely di tengah laut sana. Apalagi cuaca sering hujan lebat disertai angin kencang. Menunggu sore terasa begitu lama, masih sembilan jam lagi. Semoga kapal segera ada sinyal. Dalam posisi rebahan memandangi langit-langit kamar, pikiranku mengembara. Seumpama Mas Wildan menolong Nely dan ikut tenggelam tak terselamatkan, berarti aku akan menjadi janda ditinggal mati. Ini lebih mudah prosesnya daripada akhirnya aku harus bercerai lewat pengadilan. Prosesnya panjang kalau Aparatur Sipil Negara mengajukan cerai. Harus mendapat persetujuan dari instansi dan dinas setempat terlebih dulu. Belum lagi antrean sidang yang harus dijalani. Mengingat sekarang kasus perceraian meningkat drastis. Kututupkan kedua tangan ke muka. Kenapa pikiranku jadi ngelantur ke sana? Bagaimana nanti jika anak-anak tanya tentang bapaknya? Masak aku bilang, “Ayahmu tenggelam sama istri barunya.” Ah, bukan istri. Aku mengikuti pendapat terkuat tentang pernikahan seorang janda tetap harus dengan wali. Konsekuensinya aku tidak mengakui Nely itu sebagai istri Mas Wildan. Sebab pernikahan mereka batil, tidak sah. Itu jika mereka mati. Lantas bagaimana jika mereka selamat? Bukankah ada tim lain yang bisa membantu mereka? Kepalaku tambah pusing dibuatnya. Mending kubuat istirahat saja sejenak. Mumpung ada Bik Sum yang jaga anak-anak. Mataku kupaksa merem agar lekas tertidur. Akhirnya, tak lama kemudian telinga ini sudah tidak mendengar apa-apa. *** Suara bel pintu membangunkanku. Kulihat jam dinding hampir pukul dua belas. Siapa bertamu siang-siang begini? “Monggo silakan masuk! Saya bangunkan Ibuk dulu, tadi tidur soalnya. Greges badannya.” Lamat-lamat kudengar suara Bik Sum. Kemudian terdengar si tamu melarang Bik Sum membangunkanku. Suaranya seperti tidak asing. Maka kuputuskan bangun, sudah dua jam tubuh ini istirahat. Aku duduk dulu di tepi ranjang agar kesadaranku pulih benar. Sambil kupanggil Bik Sum, “Ada tamu, Bik?” Tak lama kemudian Bik Sum mendorong pintu kamar yang tak menutup sempurna. “Iya, Buk, Bu Lek Panjenengan.” “Lek Titik?” Kupastikan namanya karena ada beberapa Bu Lek yang kumiliki. “Inggih,” jawab Bik Sum sambil mengangguk. “Suruh tunggu sebentar, Bik. Saya mau ganti pakaian. Baju yang ini sudah basah kena keringat soalnya.” “Syukurlah, Buk. Berarti dah mau baikan kalo sudah keringetan.” “Ya Alhamdulillah, Bik. Semoga sehat. Banyak hal yang harus saya lakukan,” sahutku sambil melirik tumpukan berkas rencana kenaikan tingkat yang terabaikan. “Saya ke belakang buatkan teh buat Lek Titik dulu, Buk,” pamit Bik Sum. “Iya, Bik. Silakan.” Pintu kamar segera kututup. Almari baju kubuka untuk mengambil pakaian ganti. Kupilih daster panjang bahan katun yang adem saat dipakai. Juga kerudung. Karena kudengar suara suami Lek Titik dari ruang tamu. Dia bukan mahromku, jadi aku tetap harus menutup aurat meski menemui mereka di dalam rumah. “Mbak Alya, gimana sudah baikan, ta? Ya Allah, sampe sakit gini ponakanku.” Bu Lek Titik langsung berdiri menggapai tanganku begitu aku keluar dari kamar. “Biasa, kecapekan, Lek,” jawabku dengan menyunggingkan senyuman. Agar Lek Titik tidak menganggap sakitku ini serius. “Masih hangat gini badannya,” timpalnya setelah menempelkan punggung tangannya di dahiku. “Sudah mending ini, Lek. Semalam malah panas banget.” “Wis ta jangan dipikir nemen-nemen. Nanti kalo sakit ya Sampean sendiri yang susah.” “Inggih, Lek.” Setelah mengantar Lek Titik, suami Lek Titik pamit pulang karena mau mengirim barang ke luar kota. Besok baru kembali. Lek Titik akan menginap, menemaniku malam ini. “Mbak Al, Sampean enggak merasa janggal ta dengan perubahan Mas Wildan sekarang?” tanya Lek Titik saat beliau kembali duduk di kursi tamu. “Janggal gimana, Lek?” Aku yang tidak paham maksudnya sampai mengernyitkan kening. “Ya ‘kan Sampean tahu sendiri, Mas Wildan itu selama ini baik-baik saja. Sholatnya ya rajin. Perangainya ya apik. Barangkali ada sesuatu yang mengubahnya.” “Maksud Lek?” tegasku yang masih belum yakin arah pembicaraannya. “Siapa tahu diguna-guna.” “Apa, diguna-guna?” sahutku dengan mulut menganga. Rasanya tidak percaya zaman sudah semodern ini masih saja ada orang yang percaya dukun. Lek Titik hanya mengangguk. “Mboten paling, Lek. Itu karena dia gabung di grup mobil yang kebetulan ada janda gatel yang kesepian, Lek.” Kucoba memberi alasan yang masuk akal. “Biar tahu Mas Wildan itu dipengaruhi unsur ghaib apa tidak, enggak ada salahnya kita tanyakan sama yang paham, Mbak Alya,” bujuk Lek Titik. Rupanya alasan yang kuungkapkan tadi belum mempan. Lek Titik masih terus berusaha memengaruhiku. “Maksud Lek, kita ke dukun? Mboten-mboten. Saya tidak mau.” Kali ini aku menolak dengan tegas. “Bukan dukun. Lek ya paham kalo ke dukun itu haram.” Ya Allah, Lek Titik masih juga mengelaknya. “Trus apa namanya Lek, kalo bukan dukun? Kiai?” tegasku. “Ya bukan juga. Pokoknya biasanya orangnya dimintai tolong orang-orang yang merasa ada gangguan dari jin dan sejenisnya. Ini orangnya ya rajin jemaah ke masjid. Ya bekerja juga, jualan bawang di pasar sama mengolah sawah.” “Saya takut, Lek. Saya tidak punya pengalaman ke orang-orang seperti itu.” Aku bicara jujur. Aku memang takut. “Enggak apa-apa, Mbak Alya. Nanti Lek anter. Di sana enggak ada menyan dan sesaji kok. Cuma lewat zikir. Paling nanti kalo Sampean ke sana cuma dikasih air dalam botol yang sudah dizikiri sama garam kasar buat ditabur di pintu pagar. Itu katanya buat penangkal jin-jin jahat yang mau masuk rumah.” Bulu kudukku langsung merinding mendapat cerita dari Lek Titik. “Nanti saya pertimbangkan, Lek. Ini juga tidak tahu apa Mas Wildan masih hidup apa sudah mati.” “Loh memangnya ada apa?” Kuceritakan sedikit informasi tentang Nely yang kecebur ke laut. Juga berita yang kudapat saat bertandang ke rumah Pak Danu. “Innalillahi, jan kebacut tenan kelakuan dua orang itu. Jadi kemarin Sampean jauh-jauh ke rumah orang tuanya Nely? Trus Rheza yang baru selesai operasi ini diajak pergi-pergi? Hm … hm … semua gara-gara bapakmu yang banyak polah itu Cah Ganteng.” Lek Titik lalu mengambil Rheza yang sedang mengikuti kereta baterainya yang berjalan mendekat ke arah kami. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Sebentar lagi kapal akan ada sinyal. Kucek pesan yang sempat kukirim ke Mas Wildan semalam, masih centang satu. Dia tidak membuat status sama sekali. Hanya Nely yang kemarin pagi membuat status. Siang ini statusnya sudah terhapus. Karena sudah lebih dari 24 jam dan belum ada status baru lagi setelahnya. Apa mereka benar-benar tenggelam lalu hilang terbawa arus air laut? Kutinggalkan ponselku di atas nakas. Segera kuajak Lek Titik salat Zuhur lalu makan siang. Alhamdulillah Allah Maha Baik, saat aku sakit dikirimkan Lek Titik untuk menemaniku menggantikan Bik Sum yang barusan pamit pulang. Tadi tidak lupa kusalamkan amplop berisi uang lembur Bik Sum hari ini. Saat kami makan lalapan lele sambal tomat, tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan dari Mila. Segera kuberdiri menuju wastafel untuk mencuci tangan yang belepotan sambal. Duh Mila, kabar apa yang kamu bawa? Diriku sudah tak sabar menerima info terkini. “Hai, Al. Aku barusan bisa hubungi Mas Dhimas,” sapanya ceria seperti biasa dari seberang sana. “Trus gimana jadinya?” “Duh … aku nggak tega cerita ini sama kamu.” Pernyataan Mila membuatku berpikir jika Nely dan Mas Wildan sudah mati tenggelam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD