2. Nely Namanya

1424 Words
Mas Wildan datang membawa dua mangkuk soto Lamongan dalam nampan. Kuahnya mengeluarkan kepulan uap ke udara, menimbulkan aroma yang menggugah selera. “Ini, Dik. Ayo makan! Ada koyanya, kesukaanmu,” tawar Mas Wildan masih dengan ekspresi tak bersalah. Diangsurkannya salah satu mangkuk ke hadapanku. Tampaknya, rasanya memang lezat. Tercium dari aroma gurih yang mengundang rasa lapar, sebuah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Jika tidak, bisa mengantarkan pada kematian. Sayangnya rasa laparku menguar entah ke mana. “Mas, sejak tadi sore aku menghubungimu tapi hape mati melulu. Kamu ke mana?” Kutanyakan itu untuk menguji kejujurannya. “Oh, kehabisan baterai, Dik.” “Terus, kamunya ke mana?” “Keluar beli sabun sama cari makan.” “Sama siapa?” “Tar saja ngobrolnya, nanti keburu dingin sotonya. Ayo habiskan dulu!” Aku sudah tak selera melanjutkan makan malam ini. Sebenarnya makanannya enak, hanya saja pikiranku lagi kacau. Benar kata orang, selera makan itu tergantung pikiran. Saat pikiran tenang, makan tempe penyet sambal terasi pun terasa nikmat. Sementara itu, Mas Wildan makan dengan lahapnya. Isi mangkuk itu tandas tanpa menyisakan sebutir nasi pun. “Sore sudah makan sekarang sudah laper lagi ya, Mas?” “Tadi makanannya enggak cocok di lidah, Dik.” Pintar sekali kamu berkelit, Mas. Jelas saja kamu sudah lapar lagi. Bukankah menyalurkan hasrat kelelakianmu juga menguras banyak tenaga? Kuulang lagi pertanyaan yang tadi belum dijawabnya. “Keluar sama siapa sore tadi, Mas?” “Aku bayar sotonya dulu.” Dia menghindar terus. Aku sudah tidak tahan ingin membahas perempuan yang kencan dengannya. Kukirim foto di atas ranjang itu kepada Mas Wildan lewat aplikasi w******p. Kusertai keterangan berikut ini. [Jawab saja kamu tadi sore keluar dengan perempuan ini, Mas. Enggak usah muter-muter kayak bianglala]. Setelahnya kusentuh tanda kirim pesan. Di depan kasir, kulihat Mas Wildan membuka ponselnya. Pesan yang kukirim sudah centang dua warna biru, berarti sudah dibaca. “Ayo kuantar pulang! Kamu belum bawa baju ganti, ‘kan?” ajaknya saat sudah kembali di hadapanku. Dia sama sekali tak memedulikan pesan yang barusan kukirim. Benar. Saat aku datang ke sini memang tanpa persiapan. Sehingga baju ganti dan perlengkapan lain tak kubawa. Untungnya ada tetangga yang siap mengantar ke rumah sakit. Mas Wildan lalu mencoba meraih tanganku, tetapi kuhempaskan kasar. “Siapa wanita itu?” tanyaku sengit. Aku belum beranjak dari kursi kantin ini. “Oke, nanti aku jelasin. Enggak di sini!” jawab Mas Wildan sambil matanya melirik ke kanan dan kiri. Aku paham situasinya memang tidak kondusif. Enggak mungkin juga kami bertengkar di sini. Pertanyaan itu kucerca hanya untuk menekannya. Mas Wildan kembali mencekal tanganku. “Ayo, Dik!” “Lepasin! Aku bisa jalan sendiri,” jawabku ketus. Kami pun bergerak menuju halaman parkir depan. Orang yang berpapasan dengan kami sebagian mengalihkan perhatian. Apatah aroma perang dingin di antara aku dan Mas Wildan tercium orang sekitar? Benar-benar memalukan. Sebiasa apa pun aku berusaha bersikap, raut muka kesal di wajah tak bisa kubuat-buat. Satu kelemahanku, enggak bisa acting. Andai ini bukan rumah sakit, pasti aku sudah teriak sekencang-kencangnya. Taksi online yang dipesan Mas Wildan berjalan merayap menuju ke arah kami yang berdiri di teras gedung IGD. Saat sudah di dalam taksi, aku duduk mengambil jarak dengan Mas Wildan. Dia menggeser bokongnya, memangkas jarak di antara kami. Lalu dia mencoba untuk menggenggam tanganku, tetapi kutolak. Maaf Mas jika aku sekarang tak lagi jadi istri penurut. Aku manusia biasa. Tetap mengharapkan balasan kebaikan saat berbuat serupa. Pun aku bisa marah saat kesetiaanku kau khianati. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah. Kosong. Anak pertamaku–Rohim– sudah diungsikan ke rumah budenya. Setelah pintu gerbang dan ruang tamu dibuka, aku langsung menuju kamar. Kubanting pintu sekeras-kerasnya. Suara dentumannya sampai membuat dadaku sendiri menjingkat. Lalu aku berteriak sekencang-kencangnya. Tubuh kujatuhkan di ranjang dan kutekan pelipisku kuat-kuat. Hanya orang yang setia yang merasa begitu terpukul saat dikhianati. Jika ada seseorang menyikapi pengkhianatan sebagai hal biasa, maka fix dia pun terbiasa melakukan perkara yang sama. Itulah yang kurasakan saat ini. Syok. Aku pikir, kesetiaan akan dibalas hal yang sama. Namun kenyataannya tak demikian. Di sela pikiranku yang terus berkecamuk, terdengar gagang pintu dibuka. Mas Wildan masuk ke kamar dan duduk membelakangiku. “Siapa dia, Mas? Penyanyi, ‘kah?” tanyaku sinis, “p*****r, ‘kah? Kau temukan di mana w************n seperti itu?” lanjutku bersungut-sungut. “Jangan mudah menghakimi orang, Dik!” hardiknya. “Hah!” Aku terlonjak mendengar pembelaannya terhadap perempuan itu. “Lantas aku harus nyebut dia apa, Mas? Wanita salihah?” tegasku sambil melotot. “Enggak ada wanita salihah yang mau tidur dengan laki orang!” teriakku kencang. “Kamu memang selalu merasa benar, Dik. Orang lain yang selalu salah.” “Jangan berkelit, Mas! Jelaskan saja siapa wanita itu!” Saking ngototnya, kurasakan leherku menegang. Padahal selama ini aku tak pernah bicara dengan suara tinggi kepada Mas Wildan. Dia yang sudah jelas-jelas salah, masih saja menyerangku. Itu yang bikin aku tak tahan. “Dia juga istriku. Sama sepertimu.” Jawaban itu, laksana petir yang menyambar di siang bolong. “Apa? Istri? Kapan kamu menikah?” Kulontarkan pertanyaan itu dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan. Mas Wildan hanya diam. “Siapa yang nikahin? Aku kok enggak dilibatkan? Enggak butuh surat nikah, apa?” Kembali semua pertanyaan itu kulontarkan dengan nada pelan, namun kini sambil menahan isakan. Mas Wildan masih juga bergeming. “Semudah itu kau permainkan pernikahan, Mas? Pengecut! Dan wanita itu mau saja kau bodohi. Atau mungkin dia sudah kegatelan? Hingga suami orang diembat juga?” Aku lalu tertawa hingga gemanya kembali tertangkap telinga. Rasanya aku seperti orang gila. Akhirnya, pertahananku jebol juga. Aku tertawa lalu menangis. Tertawa lagi. Meraung, menerima kenyataan pahit ini. Aku sudah sering mendengar Mas Wildan bercerita kasus temannya main perempuan. Tidak kusangka kini giliran dia terperosok pada lubang yang sama. Hingga aku menyimpulkan semua pelaut itu b******k. Mas Wildan mendekat dan mencoba menarikku dalam pelukannya. Mungkin dia hendak menenangkanku yang terguncang. “Jangan sentuh!” tolakku tegas sambil mengibaskan tangannya. Segera kuseka air mata. Aku berdiri lalu membuka lemari dan mengeluarkan beberapa potong baju yang akan kubawa ke rumah sakit. Mas Wildan berdiri menyejajariku. “Dik, beri aku kesempatan. Aku akan berusaha adil. Aku janji tak akan ada yang berubah. Termasuk nafkah untukmu dan anak-anak.” “Oya, kalo gitu mana dompetmu?” Kuangkat tangan kananku dengan posisi telapak terbuka. “Buat apa?” “Sudah serahkan saja! Enggak perlu banyak tanya. Apakah perlu aku ambil paksa?” ancamku. Mas Wildan meyerahkan dompet dari saku celananya. Aku hendak mengambil ATM berisi gaji dari perusahaan kapal swasta itu. Begitu dompet kubuka, langsung kudapati pandangan tak sedap. Ada foto Mas Wildan dan wanita itu terpasang di dalamnya. “Gini katamu mau berbuat adil, Mas?” Kupampangkan foto itu tepat di depan mukanya. “Bahkan dompetmu hanya ada foto dengannya.” “Bukan aku yang naruh, Dik,” kilahnya. Oh, jadi kelakuan wanita itu. Dia benar-benar ingin menguasai suamiku rupanya. Tak akan kubiarkan semudah itu. Selain ATM, kuambil juga foto di dompet itu. “Buat apa fotonya juga diambil, Dik? Nanti cetak juga foto kita biar kupasang dua-duanya.” Tak kuhiraukan seruan Mas Wildan. Kusobek-sobek kasar foto itu lalu kubuang di tempat sampah tertutup di dekat meja rias. Tempat yang tepat untuk manusia sampah sepertinya. “Minggir!” ucapku kasar saat tubuhnya menghalangiku hendak keluar kamar. Mas Wildan terus mengekoriku. “Dik, tolong dengarkan aku!” Mas Wildan kembali mencekal tanganku kuat. Dia menarikku mendekat sehingga tak ada jarak di antara wajah kami. “Perlu kamu tahu, Dik. Hadirnya Nely menyelamatkanku. Sejak ada dia aku sudah tak pernah gituan lagi,” bisiknya di telingaku. Cih! Jadi nama wanita itu Nely. Aku membuang muka. Sudah kuduga Mas Wildan nekat menikahinya pasti urusan penyaluran hasratnya. Jika sangat terpaksa, dia bercerita menuntaskan perkara itu dengan tangannya sendiri. Kini sudah tidak lagi, sebab sudah ada Nely. “Nely sanggup datang tiap kali kapal sandar, Dik. Dia enggak minta apa-apa dariku,” bela Mas Wildan saat melepaskan cekalan tangannya. “Hah! Yang benar saja. Uang belanja enggak minta?” sahutku tak percaya. “Mana ada perempuan dengan sukarela menyerahkan dirinya tanpa menuntut apa-apa, Mas,” teriakku geram. “Enggak. Dia tak butuh itu. Bahkan semua pengeluaran saat bersamaku, dia yang nanggung.” Jujur mentalku langsung down mendengar penjelasan Mas Wildan barusan. Kupikir dengan ATM itu kuambil alih, akan mengakhiri petualangannya. Ternyata faktanya di luar dugaan. Siapa sebenarnya kamu Nel? Seberapa tebal isi kantongmu? Hingga sudi merogoh kocek demi suamiku. Aku harus cari cara untuk mengorek informasi tentangnya. Ibarat perang, aku harus paham betul kekuatan lawan jika ingin jadi pemenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD