3. Mobil Sama

1447 Words
Entah dapat kekuatan dari mana. Aku justru tertantang untuk membuktikan bahwa sikap Nely itu hanya modus belaka. “Oke, mari kita lihat sampai kapan si Nely itu kuat bayar biaya hotel tiap kapal sandar, Mas,” tantangku angkuh. Aku tidak boleh terlihat gentar. Jangan karena informasi sepihak dari Mas Wildan, aku langsung percaya begitu saja pada sosok Nely yang diceritakannya. Bisa saja itu semua hoax, bukan? “Aku mau balik ke rumah sakit sekarang, Mas. Kamu mau ikut atau istirahat di sini terserah!” Kusiapkan juga baju-baju Rheza, perlengkapan mandi, dan skincare. “Aku mau mandi dulu. Nanti aku nyusul,” sahutnya. “Oh ya, besok pagi aku harus balik. Karena sore kapal sudah muat. Aku enggak bisa ngajukan libur mendadak karena semua sudah terjadwal,” jelas Mas Wildan dengan tenang. “Kamu bilang enggak bisa libur buat jagain Rheza, tapi kamu liburan di tempat lain aku juga enggak tahu, Mas.” Biasanya aku langsung percaya apa yang dikatakannya. Namun, sejak kasus ini terkuak, rasa curigaku membabi buta. “Kamu sudah enggak percaya sama aku sekarang, Dik?” “Kamu sendiri yang merusak kepercayaan itu, Mas.” Tak lama berbasa-basi, aku langsung mencari kontak motor. Kuambil tas isi baju dan perlengkapan yang tadi telah kusiapkan. Rasanya aku ingin segera menghindar dari Mas Wildan. Kenapa dia enggak balik kerja malam ini saja? Tidak bertemu dengannya untuk sementara waktu sepertinya lebih baik buat kesehatan jiwaku. *** Waktu menunjukkan jam sembilan malam lebih. Arus kendaraan masih cukup ramai saat kutempuh perjalanan menuju rumah sakit. Jarak rumahku dan fasilitas pelayanan kesehatan tempat Rheza dirawat hanya tujuh kilo meter. Saat berhenti di perempatan lampu merah, air mataku kembali tumpah. Tiba-tiba terbayang perceraian, ataukah aku harus berkompromi dengan si Nely? Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana nasib rumah tanggaku setelah ini. Kucoba mengalihkan fokus ke anakku dulu. Rheza lebih membutuhkanku sekarang. Setiba di rumah sakit, aku segera menaruh tas di kursi tunggu ruang pemulihan pasca operasi. Kami belum mendapat kamar untuk rawat inap. Kata pihak rumah sakit, semua kamar masih penuh. Semoga besok sudah ada kamar kosong. Ibu menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang pasien di ruang pemulihan pasca operasi. Rupanya beliau tertidur di samping cucunya. Wajah yang sudah keriput itu, haruskah kubebani lagi masalah? Sungguh, aku tak tega. Biarlah kusimpan sendiri dulu sampai batas kekuatanku. Baru jika aku sudah tak kuat menanggungnya, akan kulibatkan keluarga besar. “Buk, bangun! Biar Alya yang gantiin jaga Rheza.” Kugoncang bahunya perlahan. Begitu melihatnya terjaga, aku kembali menitipkan pesan, “Oh ya, nanti kalo Mas Wildan sudah datang, Ibuk minta diantar pulang saja. Dia ke sini bawa mobil.” “Ibuk pingin di sini, Nduk,” tolaknya. “Ibuk istirahat saja di rumah. Kita belum dapat kamar soalnya. Lagian sudah ada Mas Wildan. Besok saja Ibuk balik ke sini lagi sama Mbak Cahya. Karena Mas Wildan harus balik kerja.” Kucoba terus meyakinkan Ibu. Akhirnya beliau menurut juga. Wanita berusia kepala enam itu berjalan meninggalkan ruangan. Pandangan kualihkan kepada Rheza. Kuelus-elus tangan mungilnya. Seandainya aku tidak pernah keguguran, Rheza akan menjadi anakku yang ke tiga. “Rheza, cepat sadar ya, Nak! Habis ini kita main kereta Thomas lagi.” Kuajak anakku bicara meskipun matanya masih terpejam. Katanya hal itu bisa merangsang kesadarannya agar cepat pulih. Tangan kecil yang tadi kupegang, kini memberi reaksi. “Bunda ….” Suaranya lirih memanggilku. Alhamdulillah. Anakku sadar. “Ya, Sayang … bunda di sini.” “Mimik .…” Rupanya dia haus, tetapi aku harus bertanya ke perawat dulu. Apakah anakku sudah boleh minum sekarang? “Sebentar ya, Sayang, tunggu dulu!” Segera kuberlari kecil menuju perawat yang berjaga di pojok ruang pemulihan. Dari penjelasannya, anakku boleh minum air putih atau teh karena sudah lewat dua jam pasca operasi. Segera kuambil air mineral kemasan botol 600 ml itu beserta sedotannya. Kuganjal kepala Rheza dengan bantal. Lalu kulepas masker yang terhubung ke tabung oksigen itu. “Diminum pelan-pelan ya, Sayang.” Setelah menyedot tiga kali, Rheza kembali bicara. “Ayah …” Ya Allah, anakku mencari bapaknya. “Iya Sayang, ayah pulang. Bunda teleponkan dulu, ya.” Kucoba melakukan panggilan ke Mas Wildan, tetapi ponselnya sedang sibuk. Kuulang sekali lagi masih saja nomornya ada di panggilan lain. Ya ampun, Mas. Kamu lagi telepon sama siapa sih malam-malam begini? Gigiku sampai gemeretak saking geramnya. “Sebentar ya, Sayang. Ayah masih di jalan.” Jawaban itu kuberikan untuk menenangkan Rheza. Kukeluarkan boneka mobil Thomas untuk menghiburnya. Hadiah dari teman Mas Wildan ini menjadi teman tidur Rheza di rumah. “Lepas! Lepas!” Tangan Rheza mencoba untuk mencopot masker yang dipasang di mukanya. “Jangan Sayang, biar Adik sembuh dulu. Tetap dipakai, ya!” Ponselku bergetar. Rupanya panggilan dari Mas Wildan. Aku tadi memang meninggalkan pesan agar dia segera masuk ke sini jika sudah tiba di rumah sakit. “Ada apa, Dik?” Suara di seberang itu terdengar lirih. “Dicari Rheza. Dia sudah sadar.” “Iya, iya. Ini aku sudah di dalam lift. Dua menit lagi nyampe.” Selang beberapa menit kemudian Mas Wildan datang. Kuperhatikan dua laki-lakiku yang sangat mirip itu. Semoga kemiripan itu berhenti di fisik saja. Jangan sampai Rheza meniru kelakuan bapaknya saat berumah tangga nanti. “Ayah … gendong!” pinta Rheza. Anak itu terlihat senang bapaknya pulang. Mas Wildan menatapku, seperti minta persetujuan. “Gendong saja. Hati-hati! Awas selang infus dan oksigennya.” Aku tinggalkan mereka berdua. Sebab penjaga pasien dibatasi satu orang saja. *** Semalaman kami bergantian menjaga Rheza. Sehingga tak ada kesempatan berbicara. Hingga waktu pagi tiba. Ibu dan Mbak Cahya datang membawa dua bungkus nasi pecel. Ibu menyuruh kami sarapan, tetapi kami kompak menolak. Pukul tujuh pagi perutku belum menuntut haknya. “Buk, Wildan pamit balik dulu.” Diciumnya punggung tangan ibuku. “Oalah … kok sebentar?” sahut Ibu dengan dahi berkerut. “Inggih, Buk. Cuma dapat izin sehari. Jadwal kru lain yang libur.” “Ya wis. Hati-hati ya, Nak. Kerjo adoh iku akeh penggudo. Sing rajin dungo.” Pesan Ibu kepada menantunya itu terasa mengena sekali. Kerja jauh dari rumah memang rawan ujian. Godaan perempuan terutama. Mas Wildan beralih pamit padaku, “Dik, Mas berangkat dulu. Yang sabar ya!” Kuraih tangannya dan kucium punggung tangan itu. “Maaf enggak bisa anter.” Biasanya aku selalu mengantar Mas Wildan ke terminal. “Enggak apa-apa, kamu jaga Rheza saja. Aku usahakan mengurus libur secepatnya.” Dia mengecup keningku seperti biasa saat hendak balik kerja. “Ja’alallahu taqwa zaadaka wa ghofaro dzanbaka wa wajjahaka lil khoiri haytsuma wajjahta.” Kusematkan doa untuknya, meski hati ini sakit. Sebuah doa agar ketakwaannya bertambah, diampuni dosa-dosanya, dan di mana pun berada, kebaikan menyertainya. Rutinitas yang kulakukan setiap mengantar keberangkatan Mas Wildan mencari nafkah. Namun, kali ini ada rasa yang berbeda. Kulepas kepergiannya dengan perasaan entah. *** Jarum jam dinding belum tepat menunjuk pukul sembilan pagi. Mbak-Mbak perawat memberi kabar akan ada kamar untuk anakku. Kamar VIP penuh. Sehingga kami dipilihkan kamar kelas satu, tetapi dicarikan yang pasien satunya juga anak-anak. Akhirnya, Rheza sudah boleh pindah dari ruang pemulihan ke kamar rawat inap. Di kamar ini kami lebih leluasa mengobrol. Tak lama Mas Satria–kakak laki-lakiku–datang bersama istrinya, Mbak Nilam. “Loh, kamu di sini toh, Al?” tanya Mas Satria dengan dahi berkerut. “Iya, dari tadi aku di sini. Kenapa emangnya, Mas?” “Tadi pas aku mau parkir beli cemilan buat Rheza, aku lihat Wildan masuk mobil. Lah mobile sama persis warnanya dengan punya kalian, loh. Aku pikir ya sama kamu. Di kursi depan ada perempuan berkerudung,” ucap Mas Satria berapi-api. “Mas salah lihat kali. Mas Wildan sudah balik pagi tadi,” sangkalku. Padahal hatiku mulai bergemuruh. “Enggaklah. Aku yakin itu suamimu,” kekeh Mas Satria. “Lah mobilku di parkiran kok, Mas. Ini kontaknya ditinggal sama Mas Wildan.” Aku tunjukkan kontak yang masih tergeletak di atas nakas. “Aneh, enggak mungkin aku salah lihat. Tahu gitu aku samperin dia tadi. Biar yakin,” bantah Mas Satria sambil garuk-garuk kepala. “Wis toh, Mas. Kamu ini niat jenguk Rheza apa bikin Alya kepikiran!” pungkas Mbak Nilam. “Ya nantilah aku tanyakan, Mas. Biar Jenengan mboten penasaran.” Kupaksakan menyunggingkan senyuman. Sepertinya mulai sekarang aku harus belajar bersandiwara. Laki-laki yang mulai beruban itu pun mendatangi keponakannya. Selain dibawakan camilan, Rheza juga dibelikan kereta warna merah, James namanya. Temannya Thomas yang suka kebersihan. Rheza sangat senang mendapat hadiah dari pamannya. Sementara itu, aku kian penasaran. Informasi suamiku naik mobil bersama seorang wanita berkerudung membuatku linglung. Mungkinkah itu Nely? Rumahnya di mana kok sampai menjemput Mas Wildan ke sini? Andai anakku tidak sedang sakit, pasti aku bergerak cepat menyelesaikan teka-teki ini. Aku berpikir keras siapa kira-kira yang bisa kumintai bantuan mengumpulkan informasi tentang Nely.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD