4. Mertua Tak Memihak

1709 Words
Saat kita tertimpa musibah, kunjungan dari keluarga dan kerabat memang cukup menjadi obat pelipur lara. Makanya, Rasulullah sallahu ‘alai wa sallam menganjurkan kita melaksanakan salah satu ibadah ghairu mahdhah ini. Beliau sampai menggambarkan bahwa siapa saja yang menjenguk orang sakit, maka ia akan berjalan di taman surga sampai ia kembali. Alhamdulillah, keluargaku juga berduyun-duyun menjenguk Rheza. Setelah Mas Satria dan Mbak Nilam pamit, kini datang Ibu mertua dan suaminya. Kebetulan sekali, ada yang ingin kusampaikan kepada Ibu mertua perihal anaknya. Apakah beliau tahu jika Mas Wildan telah menikah lagi? Jika Ibu mertua tahu, tetapi tetap diam, berarti mereka telah bersekongkol. Hanya saja, jika harus bicara di kamar ini rasanya tidak tepat. Sebab di sebelah juga ada pasien yang hanya tersekat tirai. Tentu mereka akan mendengar apa yang kami bicarakan nantinya. Maka, aku harus mengajak Ibu mertua bicara di luar. Ternyata Rheza sangat pengertian, setelah minum s**u, kini dia tertidur. “Buk, ngapunten ada yang mau saya bicarakan berdua sama Panjenengan.” Dengan sopan kuutarakan maksudku. “Hm … mau bicara apa, Mbak Alya?” sahut mertuaku dengan ekspresi agak kaget. “Tentang Mas Wildan, Buk.” “Oh …,” jawabnya singkat tanpa menatapku. Namun, beliau tampak mengkhawatirkan sesuatu. “Pak, saya minta tolong Rheza ditemani dulu, inggih. Nanti jika dia bangun mencari saya, tolong kirim pesan saja. Saya tidak jauh, di ruang lobi sebelah,” pesanku pada Bapak mertua sambung. Usianya lima tahun lebih muda dari Ibu mertuaku. “Ya, Mbak. Sampean selesaikan saja urusan sama Ibuk.” Dari jawaban Bapak mertua sambungku itu, tampaknya beliau sudah paham apa yang akan aku bicarakan. Entahlah, itu hanya dugaanku saja. Akhirnya, Ibu mertua kuajak menuju ruang lobi yang terletak di antara dua deretan kamar inap kelas satu. Ada sepaket sofa dan kursi di sana. Di sinilah kami duduk sekarang. Ditemani akuarium berukuran kira-kira 1,5 x 1 meter. Ada ikan hias warna-warni di dalamnya. Menjadi hiburan bagi kami yang suntuk menjaga pasien di dalam kamar. Selain itu, juga ada televisi yang sedang menyiarkan acara kuliner. Di seberang sofa ini, ada meja jaga para perawat, kira-kira sejauh lima meter. Kemungkinan apa yang kami bahas tidak akan terdengar oleh mereka selama nada bicara kami normal. “Hmm …, mau bicara apa, Mbak Alya?” Ibu mertuaku selalu memanggilku dengan embel-embel Mbak. Hal ini pernah diprotes sama Mbak Cahya. “Kok mertuamu manggil ‘Mbak Alya,’ kenapa enggak manggil ‘Nak Alya’ saja?” Menurut kakakku, hal itu kurang pantas, tetapi aku tak mau ambil pusing soal panggilan itu. “Saya langsung ke inti masalah saja inggih, Buk. Apa Panjenengan sudah tahu jika Mas Wildan nikah lagi?” tanyaku hati-hati. “Huk … huk ….” Seketika Ibu mertuaku terbatuk. Langsung kuambilkan air mineral kemasan gelas sekalian dengan sedotan yang tersedia di meja sebagai fasilitas dari rumah sakit. Setelah menyedot beberapa kali, Ibu mertua kembali bicara, “Memangnya Mbak Alya tahu sejak kapan masalah ini?” Busyet deh, aku yang bertanya malah balik ditanya. Kemungkinan Ibu mertua tahu lebih dulu masalah ini. “Kemarin malam, Buk,” jawabku singkat. “Baru kemarin malam?” tegasnya. Loh kok beliau yang kaget sih. Harusnya ‘kan aku. “Inggih, gara-gara perempuan itu mengirim foto duluan ke saya.” Ingin rasanya kutunjukkan foto anaknya bareng Nely di kamar hotel itu, tetapi masih kutahan. “Ibuk pikir, Mbak Alya itu sudah ngerti. Tapi tidak mau cerita ke ibuk. Makanya bulan lalu pas Sampean sama Mas Wildan ke rumah, Mas Wildan ibuk tangisi,” akunya. “Ibuk nangis saat itu karena dapat kabar dari Lek Tomo, katanya Mas Wildan nikah lagi. Lek Tomo yang dimintai jadi saksi, bilang kalo Mbak Alya merestui,” lanjutnya. Aku langsung menyandarkan punggungg di sofa. Kubuang napas kasar dari rongga mulut. Sebulan yang lalu Ibu mertua sudah tahu. Berarti pernikahannya sudah terjadi sebelumnya. Tepatnya kapan? Kugigit bibir bawahku sambil memutar memori satu bulan ke belakang. Namun, aku tetap tak bisa konsentrasi menemukan rangkaian peristiwanya. “Jadi, Ibuk tidak ikut dalam prosesi pernikahannya?” tegasku. “Ya ndak lah, Mbak Alya. Setelah semua sudah terjadi ibuk baru diberi tahu.” “Berarti Mas Wildan mboten minta restu sebelumnya ke Panjenengan?” tanyaku memastikan. Ibu mertua geleng-geleng. Mas Wildan…Mas Wildan. Aku yakin kebahagiaanmu dengan Nely hanya sesaat. Lah ibu kandungmu saja tak kau anggap. Aku tak terlalu kau anggap masih wajar, sebab hanya perempuan yang kebetulan jadi istrimu. Statusku akan kembali menjadi orang asing, saat ikatan pernikahan ini berakhir. Namun, wanita di sebelahku ini, seburuk apa pun pola pengasuhannya di masa lalu padamu, dia tetap wanita yang telah melahirkanmu. Bisa-bisanya kamu menikah lagi tanpa mengantongi restu darinya. “Kenapa Ibuk tidak cerita ke saya kalo tahu kabar itu?” “Lah katanya Sampean sudah merestui, ibuk ya enggak berani ikut campur. Ibuk pikir malah ibuk yang enggak dianggap. Ada masalah penting begitu kok Sampean enggak cerita ke ibuk.” Kesannya di antara kami jadi saling menyalahkan. Padahal, aku sama sekali tak ada niat menyalahkan Ibu mertua. Aku sendiri mengakui kami memang tidak terlalu akrab. Beliau orangnya pendiam dan kurang humoris. Sementara aku lambat beradaptasi dengan orang pendiam, tetapi bisa menjadi sangat akrab dan banyak omong dengan orang-orang yang lebih dulu mengawali obrolan. “Inggih, Buk. Kita sama-sama tidak tahu masalah ini.” Kupegang kepalaku dengan kedua tangan. Dengan posisi kedua siku bertumpu pada kedua paha. “Trus gimana? Apa Sampean bisa menerima masalah ini?” Pertanyaan yang tak mudah kujawab. “Saya masih bimbang Buk, harus gimana,” jawabku sambil terpejam. “Cuma satu yang pasti, saya tidak bisa terus-terusan begini. Jika Panjenengan masih menginginkan saya dan anak-anak, tolong Ibuk berada di pihak kami. Karena saya tidak melihat gelagat Mas Wildan berniat meninggalkan wanita itu,” pintaku sekaligus ancaman meski dengan nada mengiba. Mertuaku terdiam. Aku pikir beliau dengan semangat 45 akan membela menantunya ini. Ah, aku lupa. Kami tidak terlalu akrab. Berharap beliau di pihakku sepertinya sia-sia saja. “Ibuk pas itu ya sudah bilang ke Mas Wildan, jangan cari perkara! Lah Ibuk malah diceramahi,” keluhnya dengan wajah yang terlihat melas. Sebenarnya usianya masih 55 tahun, tetapi beliau tampak lebih tua. Sepertinya kesulitan hidup menjalani single parent di usia muda menjadikan kulitnya lebih cepat keriput. “Mas Wildan bilang kalo dia itu tidak melakukan dosa. Lah menikah lagi bagi laki-laki itu boleh dalam agama. Begitu katanya,” jelasnya. “Trus, Mas Wildan bicara apa lagi, Buk?” “Aduh gimana ya ibuk ngomongnya …” ucapnya pekewuh. Beliau terlihat sungkan. “Mboten menopo Buk, sampaikan saja. Saya siap mendengarnya,” sahutku agar beliau leluasa. “Hm … katanya hubungannya sama Sampean sekarang terasa hambar. Ibuk ya enggak ngerti yang dimaksud hambar itu gimana. Kalo sayur hambar bisa ditambahi garam. Trus kalo pernikahan diapakan?” Astaghfirullah. Hatiku langsung cekot-cekot mendengarnya. Jadi Mas Wildan menganggap hubungan kami selama ini hambar. “Ya, intinya begitu Mbak Alya. Sampean tahu sendiri ibuk ini enggak bisa ngomong banyak kalo sama Mas Wildan. Beda kalo sama adiknya.” Ya, aku paham apa yang dimaksud Ibu mertua. Memang beliau tidak terlalu dekat dengan Mas Wildan. Sebab sejak bayi procot suamiku itu sudah diasuh oleh Mbah Uti. Sementara Ibu mertua kerja pada sebuah pabrik rokok di luar kota. Apalagi setelah itu Ibu mertua bercerai. Komplit sudah. Hingga Mas Wildan dewasa tak pernah diasuh langsung oleh kedua orang tuanya. Inilah juga yang menjadikanku tidak terlalu dekat dengan sosok yang mengenakan kerudung warna salem ini. Oleh karena suamiku sendiri juga tidak terlalu dekat dengan ibunya. Baru akhir-akhir ini, ibu dan anak itu berusaha kembali membangun kedekatan setelah Ibu mertua jenak tinggal di kota yang sama dengan anak-anaknya. Dulu sebelum kasus ini muncul, Mas Wildan sering bilang kalau dia merasa kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sebagai gantinya, dia sering mendapat kebaikan dari orang tua teman-temannya. Dalam perkembangannya saat remaja pun, kondisi ini menjadikan Mas Wildan merasa insecure. Dia merasa kurang percaya diri dalam bergaul. Dampaknya, dia menjadi anak yang pendiam. Tak kusangka, perasaan haus kasih sayang ini tetap dia bawa hingga dewasa. Orang menyebutnya ada inner child dalam dirinya. Lihatlah sekarang efeknya! Mas Wildan dengan gampang menerima tawaran kasih sayang dari Nely. Padahal aku sebagai istri tak kurang-kurang memberi perhatian. Meski memang harus terbagi dengan anak-anak dan pekerjaan. Aku dan Ibu mertua sama-sama terdiam. Tampaknya kami berdua saling mengoreksi kekurangan diri masing-masing. Aku sebenarnya kasihan padanya. Ingin kurengkuh tubuh kurus itu, tetapi rasa canggung menjadi penghalangnya. Hingga ada sosok yang keluar dari lift mengagetkanku. Mila, jauh-jauh dari luar kota datang ke sini. “Hai, Say!” Dia menyapaku dan melambaikan tangan. Sadar di sampingku ada wanita yang lebih tua, dia mengucapkan salam lalu mencium punggung tangan Ibu mertua. “Buk, kenalkan ini Mila, suaminya juga sekapal sama Mas Wildan.” “Oh … diajak ke kamar saja kalo gitu Mbak Milanya.” Kami menuju ke kamar tempat Rheza dirawat. Ibu mertua dan bapak mertua tak lama kemudian pamit pulang. Beliau minta maaf sebab tidak bisa menginap. Aku tidak mempermasalahkan sebab masih ada Ibu yang akan menemani. Selama aku di ruang lobi, ternyata pasien sebelah kamar sudah diperbolehkan pulang. Sehingga mereka sekarang berkemas lalu pamit kepadaku. Jadilah Rheza menjadi pasien tunggal di kamar ini. “Ya ampun Mil, kok repot jauh-jauh ke sini sih. Aku jadi enggak enak.” “Enggak apa-apa, Say. Lagian aku sekalian cek lokasi calon perumahan baru. Mau buka proyek di sini juga. Trus ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kamu,” ucapnya dengan suara lirih. Perempuan yang menjadi owner bisnis properti ini seperti menyimpan hal penting. “Bicara apa sih?” tanyaku penasaran. “Hm … tentang Pak Wildan. Aku kemarin dapat cerita banyak dari Mas Dhimas. Aku marahin suamiku itu kenapa enggak cerita dari dulu. Aku ikut gemes dengarkannya. Katanya Pak Wildan lagi deket sama perempuan namanya Nely.” Ya Allah, pertolongan-Mu memang dekat. Baru tadi pagi aku membatin siapa yang bisa kuajak mencari tahu sosok Nely. Kini hadir Mila yang siap menceritakan segudang informasi. Kubuka ponsel hendak menunjukkan foto Nely kepada Mila. Sebelumnya kuputuskan menyimpan nomor Nely di daftar kontak. Kuberi nama Ulat Bulu. Kemudian kucek status w******p-nya. Langsung muncul status dari si Ulat Bulu. Dia berfoto dalam mobil hanya memperlihatkan tangan laki-laki yang pegang hand rem dan tangan perempuan menindih di atasnya. Caption-nya, 'OTW antar suami berangkat cari nafkah.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD