TKS - 2

1517 Words
"Kau tidak apa?" "Aku baik-baik saja," Laura berkilah. Mematut dirinya sendiri di depan cermin dengan perasaan kebas. Matanya melirik sang suami yang baru saja bergegas berganti pakaian setelah mandi. "Kalau penobatan selesai, Alaric akan kembali ke Cornelia?" "Ya. Sesuai aturan yang berlaku. Cornelia tidak sepenuhnya kosong. Alaric masih sering mengawasi kota besar itu." Dimitri membalas sembari mencari kemeja yang cocok. "Kenapa bertanya?" "Kau pikir dia bisa hidup sendirian?" Alis suaminya terangkat naik. Dari sudut matanya, Laura bisa menangkap iris tajam itu melirik ke arahnya. "Tentu. Dia terbiasa melakukannya. Militer, ingat? Dunia kampus dan banyak hal lagi selama masa pengasingan. Itu proses dewasa." "Bagaimana jika di pesta musim nanti, kita mengenalkan kandidat yang cocok?" Tawaran Laura ada benarnya. Semua keluarga bangsawan pasti memiliki pendamping. Entah dari golongan gadis muda atau perempuan tua sekalipun. Mereka akan mencari kandidat yang pantas untuk melahirkan generus agar tidak tergerus zaman. Meneruskan dinasti darah biru yang terlanjur mengalir dari ratusan tahun. "Kita tahu reputasi Alaric," balas Dimitri muram. Membayangkan adiknya menolak semua daftar wanita pilihan dengan raut sinis. "Dia akan menolak." "Kita membebaskannya memilih." "Itu sama saja dengan ikrar kekalahan," tegur sang suami masam. Kedua matanya bersinar redup di dalam kamar yang terang. "Alaric tidak akan memilih." "Bagaimana dengan gadis kelas bawah?" "Apa maksudnya?" "Dari kalangan rakyat biasa." "Kau tidak sembarangan bicara, kan?" Laura mencibir. Menopang dagunya dengan mimik serius. "Tidak. Untuk apa? Kita perlu seleksi ketat untuk hal ini." "Ego Alaric akan terluka jika perempuan ini tidak sepadan. Dia bangsawan kelas atas. Pantas bersanding dengan perempuan terpandang." Laura terdiam. Tidak lagi membantah apa pun saat pergi dari kamar. Melihat kedua putra kembarnya sibuk belajar di salah satu ruang khusus. Sampai pelayan mengumumkan sarapan. Dan anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka untuk menyantap makanannya sendiri sampai mengerti benar arti tata krama. "Aku berpikir Alaric sulit sekali dilunakkan. Kau tahu, kehidupan militer dan kerajaan yang sangat keras. Dia pada dasarnya tidak sama sekali peduli soal takhta." "Dan calon istrinya kelak harus acuh pada kedudukan. Menjadi seorang Duchess bukan kesalahan. Itu kebanggaan." Dimitri meringis. "Kita sempat mendapat gelar itu di kota Damais sebelumnya." "Duke dan Duchess dari Damais?" "Kau merindukan tempat itu?" "Percayalah. Aku merindukan aroma tanah setelah hujan turun," bisik Laura ketika mereka sampai di meja makan. Pelayan menghidangkan aneka makanan untuk sarapan. Bermacam-macam kebutuhan tercukupi. Dimulai dari makanan pembuka dan pencuci mulut setelah sarapan berakhir. "Bagaimana renovasi berjalan?" "Sembilan puluh lima persen, Yang Mulia. Kami pastikan pembangunan selesai sebelum acara penobatan." "Itu bagus. Tempat itu akan menjadi sakral setelahnya. Aku tidak percaya ada yang mencoba merusaknya dari dalam. Selain karena usia bangunan yang tua." Laura termenung. Sarapannya terasa hambar di dalam mulutnya. Lidahnya yang terbiasa menyantap makanan lezat tiba-tiba berubah hambar. Dirinya tidak lagi berselera. Melainkan hanya berpura-pura mengisi perut. Agar sang suami tidak mengajaknya berbicara. Isi kepalanya bercabang. Semalam bukan masalah sepele meski gadis itu telah bersumpah. Laura hanya harus memastikan skandal ini tetap teredam di dalam tanah. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu. Pandora harus menutup mulut selamanya. Dan Alaric mungkin tidak akan pernah berhenti. *** "Kau tidak berniat mencari pasangan?" "Paman," tegur Pandora masam. Ini sebenarnya hanya candaan. Tapi menurutnya, sang paman kadang-kadang terlewat batas. Walau Pandora sama sekali tidak tersinggung. "Usiaku baru dua puluh lima, belum separuh abad. Apa aku setua itu?" "Ini kota besar. Pikiran kuno itu akan selalu ada. Apa lagi di kalangan atas. Gadis-gadis akan debut di pesta musim. Kau tahu, memakai gaun dan perhiasan mahal warisan leluhur." "Apa mereka dijual?" Laito tersedak roti bakarnya. "Pandora, hati-hati kalau bicara." "Dalam budaya kuno Inggris, para perempuan memang dipersiapkan debut mereka sebagai gerbang untuk saudara perempuan lain agar cepat mendapat jodoh. Mereka akan menanti pelamar di hari berikutnya. Bersyukur yang datang sepadan atau yang lebih besar. Seperti Duke atau Viscount, semisal? Apa nama lainnya sekarang selain dijual?" "Kau sepertinya terlalu banyak membaca." Pandora meringis, tidak menampik fakta tersebut. "Aku tidak terlalu kuno karena banyak duduk di kursi perpustakaan bersama tumpukan buku. Melainkan merasa maju dan terbuka." "Kau mengenal Pangeran Alaric?" Gadis itu bangun hanya untuk menambah air putih yang kosong di gelas sang paman dari teko. Membantunya merapikan peralatan makan dan mencuci piring. "Siapa yang tidak kenal pangeran bungsu yang arogan dan sinis? Prestasinya terlalu melegenda." "Aku mendengar itu sebagai sarkasme," sindir Laito dengan senyum. "Aku bisa merasakan ketidaksukaanmu pada pangeran kemarin." Seketika skandal yang membuat nama kerajaan tercoreng memenuhi benaknya. Pandora menghentikan gerakan mencuci piring sesaat. Menarik napas untuk menyingkirkan bayangan senonoh itu dalam kepalanya. "Kau salah sangka." "Aku mengenalmu tidak satu tahun, belasan tahun." Laito berujar kalem. "Kau tidak mencoba menarik perhatiannya, kan?" "Kisah cintaku memang menyedihkan," aku Pandora pahit. "Tapi tidak pernah terpikir sedikitpun untuk memikat perhatian bangsawan sekelas Pangeran Alaric. Kalau ada perempuan yang pantas, adalah para darah biru di sana. Bukan aku." "Itu terdengar melegakan," sahut sang paman ceria. "Aku hanya tidak mau kau tertimpa masalah karena kehidupan kerajaan sangat kelam." "Apa ini termasuk orang di dalam istana?" "Ellie tidak bercerita padamu?" Laito mendesah berat. "Dia senior di istana. Seharusnya dia bicara beberapa hal yang terus membuatmu waspada." "Ada beberapa hal yang memang diharuskan tetap menjadi rahasia." Pandora membalas setelah kembali ke kursinya, duduk di sana. "Termasuk isi istana. Aku tidak terlalu peduli." "Aku mencemaskanmu saat kau tinggal di istana. Kapan kontrakmu selesai?" "Bulan depan." Pandora tersenyum ceria. "Aku akan mencari pekerjaan lain selama kita mendapatkan uang. Kau terlalu tua untuk terus bekerja menjadi pesuruh di lapangan tembak para bangsawan." Laito tertawa suram. "Apa karena pamanmu masih melajang?" "Kalau kau bahagia, itu cukup. Pernikahan hanya terdengar omong kosong." Pandora bangun setelah melihat jam. Ini saatnya bekerja, pikirnya. Tidak mau menghabiskan waktu terlalu lama dan bersantai atau para pelayan di sana akan bergosip buruk tentangnya. "Kenapa kau terus memakai kacamata?" "Aku sudah terbiasa," sahutnya. "Sejak kuliah, ingat? Kalau aku melepasnya, itu di saat aku ingin." "Seseorang pernah melihatmu dirimu yang sebenarnya?" "Yang sebenarnya?" Keningnya berkerut penuh tanya. "Pandora tanpa tampilan seperti nenek tua," kata Laito dengan senyum. "Pandora muda yang enerjik. Seperti dirimu sekarang." Pandora tidak ingin membahas ini, tapi pamannya harus tahu. Kalau akar permasalahan ketidaksukaannya terhadap si pangeran bungsu karena sikap kurang ajar pria itu sendiri yang tidak kenal tempat. Alaric memang berprestasi. Tetapi untuk urusan mata keranjang, pria itu layak mendapat apresiasi berupa piagam. "Ada." Laito penasaran. "Sungguh?" "Pangeran Alaric." Kemudian melambai agar tidak mendapat serangan pertanyaan emosional lain. "Aku pergi. Sampai nanti!" *** Ellie benar. Tempat ini indah. Hanya saja menyimpan kenangan yang disaksikan oleh penduduk di lingkup istana. Pembicaraan buruk tentang kondisi internal istana yang sebenarnya tidak boleh sampai ke luar. Apalagi terdengar seluruh rakyat. Reputasi yang dijunjung keluarga bangsawan nomor satu akan hancur lebur. Kepercayaan rakyat akan mengendur. Mereka akan mengajukan mosi yang berhasil menurunkan kredibilitas kerajaan serta negara. Pandora kecil yang naif beranggapan bahwa istana seperti di cerita dongeng klasik. Seribu satu malam yang berkisah tentang putri dan pangeran hidup bahagia selamanya. Punya anak dan saling mencintai. Rupanya itu dongeng. Yang akan menjadi pengantar tidur sempurna bagi anak kecil sebelum bermimpi indah. "Bawa kemari bolanya." Si kembar yang menjadi penerus kerajaan terlihat riang. Mereka tampak lugu sekaligus manis sebagai calon putra mahkota di masa depan. Kehidupan berat menanti mereka. Menanggung beban sebagai pewaris takhta yang sebenarnya. Salah satu di antara mereka, hanya bersikap sebagai penyokong. Pendukung terbesar dengan kekayaan yang sama. Keduanya dicintai publik. Sama-sama memiliki reputasi bagus di mata rakyat yang mencintai pasangan raja dan ratu di masa depan. Kedua pewaris telah lahir. Posisi Laura sebagai calon ratu semakin menekan kuat. Jantung Pandora berdentum tidak nyaman. Saat dirinya berbalik, terburu-buru pergi sebelum Laura menangkap basah dirinya yang baru saja tiba. Ia hanya tidak ingin mendapat masalah seperti semalam. Yang membuat hidupnya di ambang kehancuran dan merana. "Oh, ya Tuhan." Kacamatanya terlepas. Begitu pula retak pada lensa dan bengkok pada tepian pinggir murah. Pandora meringis, merutuk keteledoran ketika meraih kacamata miliknya dan mendongak. "Pangeran," membungkuk pada Alaric yang menjulang. "Aku tidak melihat Anda." "Memang." Alaric membalas angkuh. Ekspresinya persis seperti si tuan tanah congkak yang menyebalkan. "Kau melamun ketika berjalan." "Ya. Salahku." "Kau darimana?" "Rumah." "Kau tinggal bersama Laito?" "Ya." "Berapa lama?" Pandora mengernyit. Memandang Alaric serius dan penuh tanya. "Apa itu penting?" "Kau membalas pertanyaanku?" "Aku rasa cukup memberitahu kondisiku pada selembar kertas sebelum aku memasuki area istana. Formulirku masih disimpan dalam ruangan khusus." Pandora membantah, menolak menjelaskan. "Ya Tuhan. Maafkan aku. Aku harus pergi sekarang." "Kau tampak seperti The Nun sekarang." Valak? Pandora nyaris meradang karena jengkel. Sebelum dirinya berbalik, Alaric lebih dulu berjalan pergi menjauhinya. Dengan pakaian formal yang mencolok, pria itu seperti dongeng milenial yang nyata. Visual dari seorang pangeran serta pebisnis bertangan dingin. Pewaris dari segala keuangan besar di sebuah negara. Dan memang itu adanya. Yang membedakan antara Alaric dan Dimitri hanya posisi mereka. Dimitri akan memimpin negara, sementara Alaric memegang satu kota sebagai tatanan pemerintahan. Sisanya, tidak ada. "Pandora!" Madam Ellie memanggilnya. Cemas karena Pandora tidak kunjung tiba. Menemukan gadis itu melamun di teras. Masih belum bisa melupakan ekspresi congkak yang ingin membuatnya mencakar pangeran bungsu dengan kedua tangannya. "Kau tidak apa?" "Aku tidak pernah ingin menyantap manusia sebelumnya." Pandora mendengus. Menatap datar pada kacamatanya yang retak dan menarik napas. "Maaf, Madam Ellie." "Ayo." Dengan lembut menarik tangannya untuk pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD