TKS - 3

1911 Words
"Oh, selamat siang, Yang Mulia." Pandora mendengar keributan kecil dari rak perpustakaan sebelah selatan. Kakinya berjinjit untuk mengintip dari celah rak buku. Terkejut karena melihat kehadiran Pangeran Alaric di perpustakaan seorang diri. Sungguh, hal yang sangat amat jarang terjadi. Kecuali meteor sesuai perkiraan NASA akan menabrak bumi. Sorot tegas itu seakan mencari. Pandora terburu-buru mundur, sibuk dengan bacaannya sampai dirinya tidak sadar kalau seseorang berdiri di belakang, menunggu untuk berbalik. "Kau sibuk?" "Ya!" "Sibuk?" Alaric seolah senang dengan mempertanyakan kata yang sama. "Tidak terlalu," akunya kalah. Menyerah karena dirinya tertangkap basah. Sementara bisik-bisik dari pekerja lain menambah runyam segalanya. "Ada yang bisa kubantu, Yang Mulia?" "Mari perjelas soal ramalan konyol itu," kata Alaric dingin. Nada bicaranya ketus. Tidak terkesan ramah atau membangun relasi bagus antara kaum pekerja dengan bangsawan. "Kau ingin duduk?" "Aku membawa catatannya. Sebentar." Pandora mendengar kalimat provokasi dari sekumpulan para penggosip liar. Ia tidak mungkin mendapat tuduhan mencemari seorang pangeran kalau mereka maksud demikian. Sedangkan Alaric menuntunnya untuk duduk di sebuah kursi panjang, memintanya menjelaskan. "Apa ini bisa membuatmu lebih baik?" Pandora menarik napas. Mengintip dari balik bahu kekar pria itu dan melihat para gadis sibuk berpencar. "Ya, sedikit. Para gadis dari abad tujuh belas dan sekarang tidak ada bedanya." "Masyarakat kelas bawah suka bergosip?" "Terlampau senang," balasnya sinis. "Gosip menurut mereka hanya fakta yang tertunda." "Kau mengakuinya?" "Aku tidak suka bergosip, Yang Mulia." Alaric mengangguk, sedangkan Pandora memulai percakapan setelah membuka catatan di bukunya. "Ini dimulai dari ramalan kuno. Leluhur kerajaan sangat percaya pada ahli nujum untuk mencari tahu hari mujur di masa mendatang." "Apa itu berlaku di kehidupan sekarang?" "Beberapa orang masih percaya ilmu hitam mempermudah segalanya," sahut Pandora memaparkan. "Di sini tertulis, kudeta yang membuat Parvitz kacau balau akan ada di abad dua puluh. Itu sekarang. Pewaris kedua. Anak bungsu. Bukankah ini merujuk pada Anda?" Alaric mendesis. Mempertanyakan keabsahan dokumen itu dengan dengusan. "Kau mencoba melucu atau menebar berita palsu?" "Aku belum membicarakan ini pada Pangeran Dimitri," Pandora lekas menutup buku catatannya. "Karena dirasa terlalu sensitif dan berbahaya. Tentu saja kerajaan tidak mau mengalami kudeta yang membuat reputasi tercoreng, bukan?" "Itu hal yang mustahil. Kau tidak mungkin bisa membaca buku berbahasa sulit ini," pandangan pria itu mencemooh. "Seberapa banyak kau menguasai bahasa latin?" "Delapan puluh persen?" "Kau bergurau. Delapan puluh dan kau mengasumsikan arti tulisan konyol itu? Siapa gurumu?" "Ini tidak sebentar. Aku menemukannya tahun lalu. Di perpustakaan nasional. Tidak semua orang bisa membaca tulisan ini," kata Pandora dingin, menolak dirinya diremehkan. "Lalu menyamakan dengan buku-buku yang ada di perpustakaan istana. Semua mengarah ke kunci yang sama." "Aku tidak mungkin melakukan kudeta," bisik Alaric sinis. "Aku tidak ingin takhta. Tidak sama sekali." "Well, Yang Mulia. Masa depan masih abu-abu. Semua terkunci rapat-rapat di atas langit rahasia. Aku tidak ingin percaya ini. Tapi hati manusia, siapa tahu?" "Kau meragukanku?" Pandora menarik napas. Merasa terintimidasi sekaligus berkeinginan untuk tidak kalah atau tercecer menjadi butiran remah roti hanya karena tatapan dingin itu. "Aku tidak mengenal Anda. Reputasi Anda hanya sesuai berita kabar. Aku tidak punya asumsi atau pandangan apa pun." Mereka bertatapan. Dan Pandora merasa harus menyudahi ini semua sebelum menjadi setres. Alaric terlalu dingin dan keras kepala. Tidak menerima baik hasil catatannya. "Ini konyol." Dan pergi begitu saja meninggalkan Pandora yang mematung. *** "Kau baik-baik saja?" "Ya." "Merindukan ibumu?" Pandora meneleng, memandang api yang membakar kayu bakar dalam diam. "Tidak juga." "Lantas?" "Bertanya-tanya tentang kehidupan," ujarnya datar. Memeluk lutut yang terlipat dengan tatapan lirih. "Bayaranku cukup besar di istana ini. Tapi jika semua sudah selesai, apa yang harus aku lakukan setelah ini?" "Kau baru saja bertanya?" Kepala Pandora beralih. Memandang Ellie dengan pandangan bingung. "Kenapa memangnya?" "Kau meragukan kemampuanmu?" "Menjahit dan membuat kue manis?" Pandora mencibir. "Apa itu bisa disebut bakat? Atau kebetulan yang menyenangkan di saat senggang? Aku terbiasa mencuri waktu untuk istirahat. Ellie tertawa. Meluruskan kedua kaki setelah hari yang sibuk nan panjang di istana utama. Dia baru benar-benar menikmati waktu saat matahari terbenam. "Kau terlalu banyak merendah. Aku kadang-kadang iba melihatmu. Bagaimana perasaan Laito?" "Aku memintanya berhenti kalau dirinya kelelahan bekerja di sana dan terus berlari atas perintah para bangsawan," sahut Pandora lemah. "Dia terlalu tua di antara rekan yang lain. Saatnya untuk istirahat di rumah." "Kau tidak mengenal pamanmu," tambah Ellie muram. "Dia tidak akan mengenal kata lelah. Lagi pula, pria satu itu tidak akan mau merepotkanmu. Kau sudah banyak membantu." "Aku merasa belum melakukan apa pun." Pandora membalas pelan, menatap api yang membesar dan udara terasa jauh lebih hangat. "Aku sempat berpikir menjadi bebannya." "Kau bukan beban. Keajaiban." Ellie menyahut masam, menegur Pandora dengan cara menepuk bahunya. "Berhenti bersikap menyebalkan." "Aku mendengar dari istana, kalau Pangeran Alaric akan dijodohkan di pesta musim nanti." "Oh, dengan para gadis debutan tahun ini?" Bahu Ellie terangkat acuh. "Aku tidak tahu. Mungkin saja. Perempuan usia delapan belas yang matang akan menjadi incaran. Biasanya begitu." "Seperti Laura dan Dimitri?" "Mereka dijodohkan," kata Ellie datar. "Tapi berakhir penuh cinta dan punya anak kembar yang lucu serta pintar. Diberkatilah pernikahan itu." "Pasangan favorit publik." Pandora tersenyum, memainkan kaus kaki kesukaannya. Hadiah dari Laito yang berkesan. "Aku tidak menyangkal adanya cinta. Mereka selalu bersama. Cinta itu hadir karena terbiasa." "Ah, indahnya." "Kau tidak merindukan suamimu?" "Buat apa?" cetus Ellie agak sinis. "Dia bahagia bersama perempuan liar itu. Aku tidak mau peduli lagi." Pemikiran Pandora tentang pernikahan terlalu jauh. Menurutnya, perempuan bisa bebas dan mandiri tanpa terikat sistem patriarki selagi mereka mampu. Dia bukan seratus persen tenggelam dalam urusan feminisme kental yang membuat sebagian orang meradang. Budaya negaranya masih berpihak pada laki-laki. Kaum jantan yang kadang berbuat semena-mena. Meski hukum tidak selamanya berpihak pada mereka yang tanpa dua buah tonjolan. Laito tidak terlalu terburu-buru untuk urusan penerus. Pandora masih dua puluh lima. Mandiri dan muda. Masih banyak harapan untuk meraih impian lain. "Kau pernah berpikir untuk menikah dengan bangsawan?" Pandora menoleh. Memberi Ellie tatapan penuh tanya sekaligus mencemooh. Barangkali pelayan paling dihormati itu butuh belaian seorang pria setelah pengalaman pahit masa lalu. "Kau konyol. Tentu saja tidak! Aku tidak terlalu berambisi dengan aristokrat dan darah biru." Ellie menanggapi dengan tawa. *** Alaric membeku. Jelas kebingungan di pagi yang cerah dan menemukan kepala asisten membawakan koran pagi berisikan catatan berita kerajaan. Cukup menggemparkan. Karena Parvitz belum melegalkan jaringan di luar hubungan perempuan dan laki-laki. Termasuk bangsawan yang mempertontonkan contoh baik kepada semua orang. Namun di sana, tertulis bahwa Alaric terlibat dalam penyimpangan sebuah hubungan intim yang mengerikan. Sejujurnya, berita ini bohong. Terutama media yang gemar menyorot kehidupan keluarga kerajaan. Di samping penobatan Dimitri sebentar lagi dan dirinya harus kembali ke Cornelia secepatnya. "Apa-apaan?" Alaric nyaris kehilangan kesabaran. "Berita macam apa ini?" Tidak ada satupun dari mereka berniat bersuara. Alaric beranjak dari ranjang, melempar koran itu ke dinding dengan geraman. "Terkutuklah para jurnalis! Mereka bergurau!" "Dimitri tahu?" "Ya, beliau tahu." Alaric mendengus keras. "Lantas, apa tanggapannya?" "Berita ini membuat semua terkejut. Istana digemparkan dengan tulisan media setempat. Sebentar lagi akan berbeda. Pangeran memutuskan untuk meredam semua konflik dengan menarik paksa koran ini kembali ke percetakan. Mereka telah diperingati." Geraman Alaric terdengar keras. "Mereka harus paham arti menulis berita yang sebenarnya. Ini bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik." Alaric hanya tidak habis pikir dengan pemberitaan yang menyorot miring tentangnya. Sudah cukup media menyorot buruk kelakuan ibunya di masa lalu. Kali ini, tidak ada lagi yang tersisa. Kerajaan berusaha membersihkan semua skandal dengan baik. Di tempat lain, Dimitri hanya bisa merenung. Memandang kata demi kata yang tertulis di koran tanpa suara. Matanya yang dingin berpendar lemah. Bingung sekaligus cemas karena kabar ini tentu saja membuat satu istana kerepotan. "Ilama mungkin akan membantu." "Dia punya informasi?" "Seseorang baru saja bicara," kata Laura sedih. Meminta agar kepala asisten bicara padanya setelah Dimitri membiarkan perempuan paruh baya itu masuk. "Apa yang kau tahu, Ilama?" Mata cokelatnya berkobar cemas. Ilama menarik napas, melirik Laura sebentar dan bersuara. "Seseorang mengatakan padaku tentang Pangeran Alaric. Sebenarnya, kegiatan memalukan itu tertangkap basah seseorang. Namun, saksi malang itu terpaksa bungkam." Napas Dimitri berembus kasar. "Alaric yang memaksanya bungkam?" Ilama terdiam. "Kita bahkan tidak tahu siapa yang menyebarkan rumor kacau ini," bisik Laura pilu. "Apa mereka dari bangsawan atau tidak. Yang terpenting ini memalukan." Calon raja tampak kebingungan. Gelisah melumuri wajahnya yang letih. Sesaat Dimitri perlu waktu untuk memejamkan mata. Sementara Ilama menunggu cemas. "Siapa saksi kejadian itu?" "Dia seorang perempuan muda," kata Ilama terbata-bata. "Dia bekerja untuk istana." "Pelayan?" "Bukan." Kepala Ilama menggeleng. "Dia kurator buku yang diperkerjakan untuk istana." "Kurator buku? Ah, dia bekerja untuk perpustakaan kita?" Laura bertanya panik. "Siapa namanya?" "Pandora." "Kau yakin?" Suara Dimitri terdengar serak. Berusaha mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak. Dia tidak pernah melihat Alaric bersikap ceroboh sebelumnya. Kecuali masa lalu, ketika di militer. "Bagaimana bisa Alaric seteledor ini?" Laura menarik napas, memandang rupa suaminya yang bingung. Lalu meminta Ilama untuk mundur dan pergi. "Aku akan mencari tahu sendiri," kata Dimitri masam. "Aku tidak bisa membiarkan Alaric merasa bersalah dan terpukul." "Dan jika itu benar?" Dimitri menarik langkahnya. Sebelum menyentuh gagang pintu, berusaha untuk tidak melirik ke arah sang istri. Ia telah membulatkan tekad sekarang. "Aku akan segera mengambil tindakan." Laura tidak lagi bersuara. Barangkali Dimitri bisa memperintahkan segalanya dalam satu waktu. Karena Alaric muncul di aula secepat itu. Berusaha tampil rapi untuk menghadap sang kakak. Dia menghormati Dimitri melebihi dirinya sendiri. "Alaric," kata Dimitri pelan. "Aku tahu kita harus bicara." "Aku akan menjelaskan." Dimitri mengangguk. "Nanti. Kita perlu menunggu seseorang." "Siapa?" "Kau akan tahu," balasnya datar. Karena setelah pintu terbuka, Laura muncul di sana. Napas Alaric gemetar. Sama halnya dengan kedua bahunya yang tegang. Sementara Laura bersikap biasa. Mencari tempat untuk duduk saat mengangguk pada mereka. "Apa kita bisa bicara sekarang?" "Belum." Karena setelah pintu terbuka, yang selanjutnya muncul adalah Pandora. Dengan penampilan lusuh dan mencoreng citra gadis muda pada diri perempuan itu membuat Alaric membeku sekaligus meradang. Pandora, mau apa dia di sini? "Baiklah, semua sudah berkumpul." "Apa-apaan ini?" Alaric mulai tidak terima. Nada suaranya meninggi. "Kakak, aku pikir kita akan bicara berdua?" "Tahan dulu, Alaric. Aku memanggilmu dan Pandora tentu saja bukan tanpa alasan." Napas Alaric berhamburan. Tercecer dengan cara berantakan. Saat dirinya menoleh, melirik Laura yang membuang muka. Segala pikiran buruk berkelebat di dalam kepalanya. Pandora sama cemasnya sekarang. Dia mendengar berita itu dan rasanya seperti terbelah dua. Terutama saat calon raja memintanya menghadap. Pandora dihadapkan pada pilihan sulit. Seakan dia siap menyerahkan dirinya sendiri untuk diadili di istana. "Berita itu memalukan, benar?" Dimitri bersuara dalam. Nampak tegas dan keras. "Aku terkejut. Sama halnya dengan seluruh bangsawan. Tetua tidak akan tinggal diam untuk membuangmu sebagai hukuman, masa pengasingan." "Aku tidak melakukannya!" Alaric membalas sinis. Berusaha mengelak segala tuduhan yang dilimpahkan padanya. Dasar media kurang ajar! Pandora menunduk. Benar-benar takut sekaligus cemas. Barangkali isi kepalanya hanya ada Laito dan Ellie. Tidak ada lagi yang membuatnya setakut ini. "Satu-satunya cara untuk meredam berita ini hanya satu," ujar Dimitri dalam. Menyembuyikan kedua tangannya di punggung. Menatap Alaric dan Pandora bergantian. "Hanya pernikahan." Keduanya membeku. "Aku tidak bisa melakukannya," ujar Pandora lamat. Merebut atensi semua orang di dalam ruangan. "Yang Mulia, maaf seandainya aku bisa bersuara atas pendapatku sendiri." "Kalau ini menyangkut prinsip, kita tidak bisa menolerir itu. Batas istana hanya untuk meredam konflik. Kepentingan reputasi melebihi segalanya. Benar, Pandora?" Alaric kehilangan suaranya. Begitu pula fokus pada matanya. Bayangan menyakitkan atas pukulan telak pengkhianatan tidak cukup membuatnya terperdaya. Sekarang? Siapa yang berani menjeratnya sedalam ini? Ketika matanya melirik Laura, wanita itu benar-benar tidak mau melihat ke arahnya. Asumsi buruk Alaric hanya fokus pada satu sosok utama. Dalang dari balik berita konyol ini. Bukan tanpa alasan tudingan itu mengarah ke sana. Dan terasa dunia benar-benar ingin menertawakan kebodohannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD