Pandora mencoba meresapi segalanya dengan kepala terbuka. Namun, tetap saja semua hampa. Kosong. Matanya memburam karena berbayang. Bingung serta cemas. Kegelisahan memuncak sampai membuatnya mati rasa.
"Yang Mulia," bibirnya membuka untuk bersuara. "Aku merasa tidak bisa, keberatan dengan keputusan tersebut."
Dimitri lantas berpaling. Mengamati gadis berpenampilan seperti perempuan setengah abad yang masih gemar mencari kayu bakar. Walau kerajaan telah mengakomodasi segalanya untuk janda dan lanjut usia.
"Kau punya pasangan?" Suaranya terdengar tidak ramah. "Atau mencoba menjaga perasaan seseorang sekarang?"
Kepala Pandora menggeleng. Hal yang ia pelajari selama dua puluh lima tahun hidup hanya tidak pernah ingin mencari masalah dengan anggota bangsawan. Baik yang kelas menengah atau atas sekalipun. Itu tidak akan berdampak baik bagi masa depannya dan keluarganya.
"Bagus. Kita bisa mempercepat ini."
"Kau tidak bisa berbuat seenaknya hanya karena kata-kata jurnalis tak berdasar itu." Alaric merangsek dengan lautan emosi tercermin di matanya. "Mereka semua penipu! Tidak ada kebenaran di dalam sana."
Dimitri mendesah. Melirik sang istri yang menyerah dengan bahu terangkat. Laura sepertinya angkat tangan dengan urusan internal antara kakak-beradik. "Ini demi kebaikanmu. Dan Pandora adalah saksi dari perilaku abnormalmu. Apa yang bisa kulakukan untuk meredam skandal?"
"Tapi tidak dengan pernikahan."
"Apa yang harus kau cemaskan?" Suara calon raja terdengar sinis. "Aku yang akan mengaturnya untukmu. Kau hanya perlu diam dan semua akan membaik. Penobatanku sebentar lagi, Alaric. Dan kau mengacau."
Rasanya bagai petir yang menyambar ribuan kali. Alaric membeku, diam seribu bahasa. Sementara Pandora melirik, tidak bisa melihat pangeran bungsu itu terlalu lama. Rupanya ada kesalahpahaman yang mengalir ke benang kusut lain. Matanya menatap Laura, dan ibu dua anak itu sama sekali tidak mau menatapnya.
"Kau tidak percaya padaku?"
"Ini bukan sesuatu yang harus kupercaya atau bukan," kata Dimitri tajam. "Tapi berita terlanjur menyebar. Semua orang akan berprasangka pada keluarga kita. Aku seharusnya bertindak. Membuat berita itu teredam sebelum semua terlambat."
"Aku tidak melakukannya," balas Alaric dingin. Sorot matanya menajam memandang sang kakak. "Aku sama sekali tidak melanggar protokol apa pun."
"Benarkah?" Dimitri melempar seringai sinis. "Kau yakin dengan pendapatmu itu? Seolah aku tidak tahu apa pun? Skandal? Reputasi? Kebodohanmu di luar sana?"
Alaric bungkam. Reputasi adalah topik paling sensitif yang tidak ingin dia bahas.
Barangkali Pandora ingin tenggelam dalam lantai ini secepatnya. Dirinya terjebak dan tidak punya harapan apa-apa. Semuanya terasa buram, abu-abu.
"Kau tidak perlu merasa keberatan. Kalau kau menikahi Alaric, kau akan menjadi Duchess di masa depan."
Pandora mengangkat kepala, menggeser tatapannya dari lantai pada calon raja. "Aku tidak berminat masuk ke lingkaran kerajaan. Menjadi Duchess bukan impianku."
"Tapi impian banyak orang," sela Dimitri muram. Memandang Pandora dari atas sampai bawah. "Bahkan bangsawan tinggi sekalipun berharap bisa bersanding dengan Alaric di masa depan."
Pandora ingin sekali memutar mata. Namun, dia tidak bisa melakukannya karena di depannya calon raja. Menghadap raja sama seperti menunggu algojo, keputusan penting yang bisa merubah masa depan.
"Aku tidak berminat. Untuk alasan apa pun, aku menolak keras."
Alaric bersuara soal keputusannya. Menatap Dimitri sinis dan Laura bergantian. Sama sekali tidak menaruh perhatian pada Pandora yang butuh pertolongan. Dirinya berada di jurang putus asa. Antara ingin menangis atau meraung karena keputusan bodoh ini bisa merusak mimpinya di masa depan.
***
Pandora tidak memerhatikan sekitar. Terlalu larut dalam lamunan sampai seseorang meraih tangannya, menariknya masuk ke lorong kastil yang lebih sepi. Meminta perhatiannya dengan raut sinis yang menyala-nyala. Pangeran Alaric tampak kesal. Toh, semua orang kesal hari ini, termasuk dirinya.
"Kau bicara sesuatu. Pasti. Kau pasti bicara."
"Untuk apa? Kau ingin aku menggali pemakaman karena melanggar sumpahku sendiri?" Pandora mendesis, merasakan sakit pada pergelangan tangannya. "Aku tidak berminat melaporkan skandal Anda pada siapa pun."
Skandal di sini adalah Alaric dan Laura, bukan Alaric bersama pria. Yang artinya, pangeran bungsu masih normal. Tidak ada kelakuan menyimpang yang diberitakan koran nasional sampai membuat satu negara gempar. Istana langsung angkat bicara, meminta agar rakyat tenang dan menarik semua koran kembali ke percetakan. Media memang sembrono, aku Pandora muram.
"Siapa yang tahu? Kau mungkin mengincarku?"
Pandora tidak bisa memasang ekspresi jijiknya sekarang. Demi Tuhan yang menciptakan semesta dan isinya, pria ini terlewat batas.
"Aku lebih baik menjadi umbi-umbian daripada mengincarmu! Dua puluh lima tahun aku bernapas, menjadi bangsawan tidak pernah terlintas. Tidak peduli dengan aturan istana!"
Pandora muak dengan segala tuduhan yang tersemat olehnya. Tidak ada orang yang berani bicara buruk tentangnya selain penampilan kuno yang membuat sakit mata. Pandora bukan pengincar harta, bukan perempuan yang merendahkan harga diri demi tujuan uang maksimal. Lagi pula, menikahi bangsawan sama saja dengan mati perlahan-lahan. Ia tidak ingin terkekang dalam aturan apa pun.
"Aku bahkan tidak berdandan, tidak bersolek, tidak melakukan apa pun untuk menarik perhatian pria manapun. Tidakkah bicara Anda terlalu kasar?" Pandora menarik tangannya lepas. Tidak bisa menahan diri dengan mimik sinis dan sepasang mata yang menyala-nyala penuh amarah. "Kau benar-benar menyebalkan."
"Yang seharusnya marah adalah aku," ujar Alaric skeptis. "Kau tidak punya hak mencemooh sekarang."
"Karena aku bukan golongan darah biru? Karena aku bukan berasal dari golongan yang sama dengan kalian? Begitu?" Dengusan dingin mampir. "Kerajaan memang busuk. Aku tidak segan membaca banyak komentar kalau kalian semua palsu. Bermuka dua. Bersikap rasis pada orang lain. Terbakar saja kalian di neraka!"
Pandora marah. Terlanjur berapi-api. Napasnya tersengal dan tubuhnya gemetar. Tidak seharusnya dia melepaskan kendali diri di depan pangeran yang sama sekali acuh pada keadaan sekitar. Hanya bisa menuduh dan menyalahkan orang lain.
Sementara Alaric bergeming. Terus menatapnya seolah mampu membedah isi kepala itu dan mengeluarkan isinya. Sayangnya, itu tidak bisa. Alaric tidak akan mau melakukannya.
"Aku juga menolak pernikahan ini."
Kemudian melarikan diri. Cara satu-satunya melepas ketegangan adalah pergi. Pandora memperbaiki letak kacamatanya, merapikan kemeja tua dan rok panjang yang bisa membuatnya tersandung setiap saat. Menahan air mata dengan bergegas pergi.
Lalu melihat Laura bersama salah satu putranya. Berbicara dengan santun, sangat khas seorang bangsawan dan ratu di masa depan. Pandora hanya mampu diam, tidak bisa melakukan perlawanan karena posisinya salah. Kasta selalu menentukan. Di dunia monarki yang mencekik walau berubah konstitusional, dirinya tetap kelas bawah. Kaum proletar yang punya kesempatan menginjak istana dengan upah lumayan untuk bertahan hidup.
Ilama menangkap basah dirinya. Asisten kepercayaan Laura sejak perempuan itu masih menjabat sebagai Duchess di Damais.
"Terima saja nasibmu," kata Ilama dingin. Tidak menutupi ketidaksukaannya terhadap Pandora. "Lagi pula, ini penawaran bagus. Daripada kau tertawan di penjara belakang dan membusuk selamanya. Bersenang-senang di istana adalah impian semua orang."
Impian semua orang, benar.
Tapi tidak untuk dirinya.
***
"Ya Tuhan, Laito. Aku sama sekali tidak punyak hak untuk mencampuri urusan istana yang semena-mena."
Ellie memandang sedih saat Pandora menangis. Laito yang mendengar kabar ini segera pergi. Meminta izin untuk pulang lebih awal demi menemui Pandora. Diam-diam pergi ke rumah kecil di belakang kastil untuk melihat Pandora yang hancur, menangis tersedu-sedu karena nasibnya.
Ellie ada di sana. Perempuan itu sangat baik dan murah hati. Pasca kabar tidak sedap itu membuat istana kacau, Ellie mendengar semua orang bicara tentang Pandora. Ilama yang cerdik membuat gosip menyebar luas. Tanpa bisa Ellie cegah. Pandora mungkin tahu sesuatu, dan pernikahan ini jelas melanggar aturan. Alaric tidak bisa menikahi kaum bawah yang tidak sesuai klasifikasi menjadi istri seorang Duke.
"Apa yang bisa kulakukan?" Laito bertanya cemas. Pandora sama sekali tidak mau berhenti menangis. "Ellie, andai saja aku bisa membawa Pandora lari, semua akan baik-baik saja, kan?"
"Tidak!" Wanita itu menolak keras. "Kau mengancam keselamatanmu sendiri. Pandora adalah saksi kunci. Istana tidak akan membiarkannya lolos."
"Demi Tuhan, aku tidak melihat Pangeran Alaric bersama pria. Aku melihat dia dengan," bibirnya langsung terkatup, kembali menutupi kebodohan dengan tangisan. "Aku tidak bisa bersaksi atas hal yang tidak kutahu. Aku tidak melihat apa pun. Sungguh. Tolong, percaya padaku. Kalian harus mendengarkanku."
Ellie terdiam. Hanya bisa memberi dukungan berupa tindakan lemah. Sementara Laito merenung. Mencoba berpikir luas dan santai tentang masa depan Pandora.
"Aku mungkin bisa bicara dengan Pangeran Alaric. Untuk meluruskan segalanya," kata Laito muram. "Kalau cara ini berhasil, istana bisa membungkam skandal dengan cara lain."
"Seolah kau tidak tahu apa yang bisa istana lakukan pada kaum seperti kita," sahut Ellie dingin. "Kalau Pandora tidak punya pilihan, dia dipaksa harus mati. Menurut atau mati. Tidak ada pilihan bagus."
"Apa aku lebih baik mati saja? Tinggal di istana pasti lebih sulit. Aku terbatas dalam segala hal," ujar Pandora terisak. "Istana itu neraka. Aku tidak mau."
"Dan membuat pamanmu semakin sedih?" Ellie bertanya gundah.
"Kita pasti menemukan solusinya." Laito menyahut penuh positif. "Aku akan bicara pada Pangeran Alaric. Sebagai wali Pandora, tentu saja. Dia mungkin akan mendengarkan."
Pandora berharap itu keajaiban. Dan bukannya terpaksa menerima takdir yang ada di depan mata. Impiannya terhalang sepatu besar istana. Pandora tidak akan sebebas burung seandainya dia terperangkap di penjara.
"Kau tahu, itu semua percuma." Ellie bukan bermaksud memprovokasi. Tetapi jika istana sudah menetapkan keputusan, maka tidak ada yang bisa merubahnya. Kecuali titah raja. Sedangkan yang memberi saran di sini adalah Dimitri. Calon raja di masa depan.
"Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa jika membawaku ke istana sebagai seorang Duchess."
Pandora bangun dari kursi dengan gemetar. Memandang lirih pada dua orang terbaik yang hadir di kehidupannya. Laito dan Ellie sangat berharga untuknya.
"Aku akan mencari solusinya sendiri," katanya penuh kekalutan. "Aku akan bersaksi di depan Pangeran Dimitri sekali lagi."
"Pandora?"
Kedua mata gadis itu berbayang. Berkaca-kaca siap pecah dan mencoba memberi senyum terakhir sebelum dirinya melesat pergi. Membawa kekacauan itu untuk ditangisi sekali lagi.
***
"Jika ini semua benar terjadi, besok kerajaan akan memilih kandidat gadis dari debutan pesta musim. Pangeran Alaric harus menikah demi membungkam skandal."
Dimitri tercenung di kursinya. Obrolan para tetua sama sekali tidak membuatnya terkesan. Semua orang berlomba-lomba memberi saran yang membuatnya muak. Terlebih dirinya sudah memutuskan sekarang.
"Aku tidak setuju."
"Ini mengingatkan Anda dengan Putri Laura dulu, Yang Mulia. Para bangsawan sudah terlatih sejak mereka kecil dengan kepandaian yang beragam."
Kepala Dimitri meneleng. "Itu tidak akan membereskan masalah. Alaric punya saksi, dan kita harus membungkam saksi tersebut."
"Penjara adalah jawabannya," sahut salah satunya. "Kita bisa memendam suaranya di tanah dan membiarkan dia terkubur tanpa nama. Semua masalah selesai. Bukankah, kita terbiasa melakukannya sejak ratusan tahun lalu?"
"Gadis ini bekerja untuk istana. Dia cukup dikenal di desanya sendiri. Apa kita perlu melakukannya? Dan membut asumsi masyarakat semakin melebar?" Dimitri bertanya penuh gertakan. "Kalian tidak bisa mencari solusi bagus?"
"Pangeran Alaric baru saja melakukan tindakan ceroboh. Tidak masuk akal."
"Aku menyetujui saranmu, Yang Mulia. Untuk kasus pernikahan, aku menolak. Bangsawan kelas atas dan murni, harus menikahi keturunan murni. Sedangkan gadis malang ini dari kasta terendah. Pamannya sebagai pelayan di lapangan tembak. Ayah baptisnya hanya pedagang."
"Dia punya latar pendidikan mumpuni," pungkas Dimitri datar. "Lulusan terbaik di sebuah universitas ternama. Dia bekerja dengan baik di istana."
Para tetua saling memandang. Masing-masing menghela napas panjang dan berat. Mengamati Dimitri dengan ketidaksukaan yang kental. "Silakan dikaji ulang. Pernikahan bukan ritual sakral yang harus dilakukan secara sembarangan. Pangeran Alaric harus mendapat istri sepadan."
"Kalau aku tidak memaksanya, dia tidak akan menikah." Dimitri menghela napas berat. "Skandal ini bisa membuat pikirannya terbuka. Dan itu memang sebuah keharusan. Ini mempermalukan nama kerajaan. Selagi kita melarang budaya seperti ini, Alaric tertangkap basah melakukannya. Media sudah mengeluarkan pernyataan, sekarang giliran kita untuk bergerak."
"Apa menikahi gadis kelas bawah bisa menarik kepercayaan rakyat?"
"Tentu saja. Pernikahan ini bisa merubah protokol dan generasi penerus. Tidak melulu soal bangsawan dan darah biru mereka. Rakyat seakan diimingi harapan dengan pemimpin baru mereka."
Semua orang diam.
"Aku hanya meminta saran dan persetujuan kalian. Yang memutuskan tetap aku. Sebagai calon raja, aku harus bersikap bijak. Terlebih pada Alaric, adikku sendiri. Aku hanya ingin penyelesaian yang terbaik."
"Apa ini sebuah solusi?" Salah satunya masih belum mau menerima. "Rakyat akan percaya pada kerajaan lagi setelah pelanggaran ini?"
"Tentu. Aku bertaruh banyak. Lagi pula, aku membungkam media untuk tidak bicara apa pun lagi tentang Alaric selama beberapa waktu. Biarkan semua berita mereda dan kita kembali memulai kehidupan normal."
"Kaum proletar yang beruntung," ketus salah satunya. "Aku tidak bisa membayangkan golongan itu masuk ke dalam istana. Mereka hanya bisa menjadi beban dan membuat kekacauan baru di lingkungan internal."
Dimitri mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Kita belum pernah melihatnya secara jelas."
"Aku bisa bertaruh itu untuk diriku sendiri. Mereka hanya akan bungkam jika diberi uang banyak." Yang lain tertawa, sedangkan Dimitri hanya diam.
Pertemuan dibubarkan. Calon raja lekas bergegas untuk pergi dan tidak mau berlama-lama di aula yang terasa sesak. Melihat sang istri berdiri dengan cemas di ujung koridor, Dimitri berbalik pergi untuk menghindarinya.