TKS - 5

1121 Words
Saat Pandora tersadar dirinya terlalu banyak melamun, ia harus pergi sebelum patroli istana menangkap basah dirinya masih berkeliaran di tengah malam. Ini cukup larut, walau suasana terasa sangat sepi. Dirinya melihat Laura bersandar pada tiang penyangga belakang kastil dalam diam. Calon ratu di masa depan itu tampak merenung. Pakaian tidurnya yang mahal melekat sempurna. "Yang Mulia," sapa Pandora. Tidak mau berbasa-basi tapi seharusnya dia tidak membiarkan Laura begitu saja. "Bagaimana menurutmu dengan pernikahan?" "Apa aku diperkenankan menjawab?" Pandora berpaling, memandang Laura datar. "Aku keberatan. Seandainya Anda tidak melakukan sesuatu yang salah, aku tidak mungkin terseret kasus ini." "Bukan aku." Pandora ingin tertawa. Jelas sekali malam itu Laura dan Alaric terlihat panik. Walau Laura yang seribu persen ketakutan karena posisinya bisa terancam. Dan Alaric cukup tenang. Dirinya telah banyak belajar menjadi militer dan orang biasa. Didepak dari istana jelas bukan kesalahan atau hal yang menjurus pada kemelaratan. "Kau tidak bisa menuduhku sembarangan," kata Laura dingin. "Ini semua memang kebetulan. Kau tertangkap dan suamiku meminta pernikahan." "Aku secara spesifik membenci kata kebetulan," balas Pandora pahit. "Kalau ini tidak direncanakan, apa yang bisa kulakukan?" Laura bungkam. Dirinya sama-sama terdesak. Calon ratu tidak mungkin mau menemuinya jika ini bukan perkara penting. "Kau tidak punya pilihan. Terima saja takdirmu." "Apa hak-hak personal tidak ada?" Pandora berucap getir. "Seandainya aku ingin menikah, aku ingin menikah dengan pria yang kucintai. Bukan sebaliknya. Menjadi bangsawan sama sekali tidak pernah terlintas dalam kepalaku, Yang Mulia." Mata cokelat Laura meredup. Selintas, Pandora melihat emosi berkelebat di mata indah itu. Sifatnya sementara. Karena setelahnya, Laura memasang wajah angkuh khas bangsawan yang gemar mencibir kaum rendah. "Tidak akan ada bedanya hidup di istana dan terbakar di neraka. Keduanya sama-sama membuatku hancur." "Apa pernikahan seburuk itu?" "Aku bukan keluarga bangsawan," balas Pandora pahit. "Apa kehidupanku harus diatur? Anda mungkin menyesali perjodohan, tapi aku bersumpah akan tetap diam." Sebelum kepedihan menguasai dirinya, Pandora harus bergegas pergi. Laura tidak perlu melihat betapa hancur dirinya. Terutama tentang pernikahan. Tidak ada hal baik yang bisa kerajaan tawarkan untuknya. Pandora akan hidup sengsara selamanya. Kebahagiaan ditukar dengan uang. Kebebasan telah lenyap. "Aku permisi, Yang Mulia. Selamat malam." Pandora berjalan pergi. Melintasi lorong yang sepi dan bermandikan cahaya lampu tidur temaram. Napasnya berembus berat. Matanya menangkap bayangan Alaric yang muncul dari pintu lain. Mereka bertemu, dan Pandora tidak punya suara untuk bicara soal apa pun. Dirinya hanya membungkuk, dan pergi secepatnya. "Kau memaksanya menyetujui?" Laura menarik napas. "Aku tidak punya pilihan. Kakakmu setuju. Lagi pula, pernikahan antar kelas yang berbeda tentunya akan menarik banyak perhatian." "Aku muak dengan jalan pikiran kalian," kata Alaric sinis. "Kau berbuat sejauh ini untuk menghancurkanku?" Laura menghela napas panjang. "Kau salah sangka. Aku tidak berbuat apa pun yang bisa membuatmu hancur." "Lantas, ini? Kau kira aku tidak tahu apa-apa?" Alaric mendengus keras. Bersidekap dengan kedua mata menyipit pada Laura. "Aku mengenalmu cukup lama dan itu tidak sebentar." Tidak ada yang lucu dari percakapan mereka. Namun, Alaric terlihat geli dengan menahan tawa sarkasme sebelum berbalik pergi. *** "Kau terlihat tegang." "Maaf, Yang Mulia." Pandora mengambil napas, bergeming memandang cangkir tehnya. Sedangkan Ellie berdiri di samping pintu. Sedang bekerja dan bukan menunggunya. Dimitri mengulas senyum tipis. "Santai saja. Kau seharusnya istirahat dan bukannya memikirkan hal sekeras ini. Yah, walau kau bersaksi dan aku cukup punya bukti." Pandora hanya merasa kalah. Dia merasa tidak punya kekuatan untuk melawan. Selagi istana tidak mengeluarkan ultimatum berupa peringatan, seharusnya dia aman. "Alaric benar-benar memalukan, benar?" Dimitri mendengus pahit. "Walau aku yakin ini tidak sepenuhnya salahnya. Karena hubungan terjadi berkat dua pihak yang saling membutuhkan." Dimitri meraih cangkir teh melatinya. Menyesap aromanya dan menatap ke luar jendela yang luas. Pemandangan taman yang cukup lebar memanjakan mata. Tukang kebun bekerja keras untuk mempertahankan nilai estetika tetap ada. "Keputusan ini juga sulit bagiku," ucap Dimitri pelan. "Tapi aku harus memutuskan demi kebaikan bersama. Kau tidak perlu cemas. Istana akan mencukupi kebutuhan keluargamu." "Itu tidak perlu, terima kasih." "Kau melukai harga diriku," sahut Dimitri muram. "Tapi itu memang tidak diperlukan, Yang Mulia. Aku yakin, pamanku juga akan menolak hal ini." Pandora berujar getir, masih tidak bisa menatap sosok Dimitri yang menjulang dan berwibawa. "Pernikahan ini bukan keinginanku atau kami berdua. Ini hanya kesalahan." "Ini hanya akan bersifat sementara. Aku percaya, Alaric tidak akan tahan dalam kehidupan bernuansa ikatan. Kau bukan orang yang dia cintai." Pandora mendongak, pandangannya bergeming ke arah Dimitri. "Sementara? Ini tidak akan berlangsung selamanya?" "Tidak. Kalau kau ingin perceraian, mungkin kita bisa membahasnya. Hanya saja, kita harus membiarkan ini semua mengalir. Untuk sementara, sampai semua skandal teredam." Dimitri menarik napas. Mengusap pelipisnya yang berdenyut. Matanya tidak berhenti melirik Pandora yang diam. Gadis itu tampak seperti patung. Tidak bergerak dan hanya bereaksi sedikit untuk membalas. "Satu tahun." Alis rapi Dimitri tertarik sinis. "Aku hanya butuh satu tahun untuk bersama Pangeran Alaric. Selebihnya, kami akan bercerai. Istana pintar berbicara dusta. Katakan saja kalau kalian butuh pewaris dan aku mandul." Pandora menawarkan kesepakatan yang tidak biasa. Barangkali Dimitri bisa menuruti, tetapi permintaan ini cukup sulit. Sekurangnya dua tahun. Karena rakyat tidak cepat melupakan. Mereka akan mengira kalau semua hanya pengaturan agar semua orang tetap bungkam untuk kasus amoral ini. "Aku akan menjalani pernikahan ini. Yang Mulia, Anda hanya perlu mengiyakan." Dimitri diam. Bungkamnya berarti tanda berpikir. Pandora mungkin terlalu cerdik untuk ukuran perempuan kelas rendah dengan pendidikan yang bagus. Gadis itu penyandang beasiswa penuh selama berkuliah. Kilas balik pendidikannya sangat bagus. Berani mengambil risiko meski dicela banyak orang. "Kita sepakat." Pandora menarik napas panjang. "Satu tahun. Dan seandainya kau hamil di masa depan, tawaran ini tidak berlaku lagi." "Kami tidak akan melakukan hubungan selayaknya suami istri," kilah Pandora serius. "Itu tidak perlu. Pangeran Alaric bisa mencari perempuan lain untuk menyalurkan hasrat. Dan aku akan berusaha sebaik mungkin menutup skandal itu dari publik." Calon raja sama sekali tidak bersuara. Pandora bangun dari tempat duduknya. Memandang Ellie dengan getir yang memenuhi mata. Sampai pada akhirnya tiba untuk pergi. Membungkuk agak dalam dan berjalan melintasi ruangan besar menuju pintu. Ellie menatapnya cemas. Dan Pandora tidak punya pilihan selain memberi senyum perhatian. Meminta agar wanita itu fokus pada pekerjaan dan mengacuhkan dirinya. Alaric ada di sana, menanti dengan santai. Tidak ada tanda-tanda sesuatu yang bermasalah dari mimik wajahnya. Pandora paham. Pria itu hanya terlalu pintar bersandiwara. "Kau menyetujuinya?" "Setidaknya hanya satu tahun, kan?" Alis Alaric yang rapi tertaut. "Satu tahun?" "Pernikahan. Selebihnya aku bebas. Kembali ke kehidupan normalku sebelum semua ini terjadi. Aku tidak akan muncul di hadapan Anda atau istana ini lagi. Aku akan pergi menjauh dan tidak terlihat." Alaric menatapnya tanpa bicara. Pandora tidak perlu malu lagi karena dipandang menghina oleh pria itu. Semua tentang penampilan. Hanya soal harga diri. Alaric tidak mungkin melirik dirinya. Tidak mungkin mengapresiasi Pandora sebagai perempuan biasa tanpa gelar. "Aku pergi, Yang Mulia." Lalu berjalan pergi untuk membiarkan Alaric berteman dengan sepi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD