TKS - 6

1557 Words
"Tapi kerajaan sangat sulit tertebak." Laito menghela napas. Ingin membakar cerutu tapi Pandora ada di sini, melingkari meja bundar yang terbuat dari sisa batang kayu. Meminum segelas cokelat hangat. Pandora yang belum berubah. Gadis itu terbiasa melarikan diri pada segelas minuman manis mengenyangkan daripada arak saat punya masalah. "Orang-orang tidak tahu kalau kerajaan punya segudang masalah," kata Pandora agak ketus. "Semua orang mementingkan kepentingan diri mereka dan keluarga. Suka menghamburkan uang dan pesta semalaman suntuk. Itu terjadi selama ratusan tahun. Berlangsung sampai sekarang." Laito mendengus muram. "Mereka semua punya uang. Apa yang bisa kita lakukan sebagai kaum miskin?" Pandora tidak bisa menampik fakta tersebut. Dirinya juga lahir dalam sistem monarki yang berjalan aneh. Meski tidak sepenuhnya kerajaan memegang andil dalam urusan pemerintahan, mereka punya peran penting untuk menggerakkan tentara jika keamanan terganggu. Berperan penting membolak-balik keadaan di setiap kota sesuka hati. Laito memandang cemas ke arah putri baptis sang kakak. Baginya, Pandora sudah lebih seperti keponakan sendiri. Bagian dari keluarga. Gadis itu hidup terlunta setelah orang tuanya pergi akibat kecelakaan pesawat saat usianya masih lima tahun. "Kerajaan menjanjikan uang padamu?" "Ya. Aku menolaknya." "Itu bagus." Laito mengangguk. "Aku juga tidak akan menerima bantuan sepeser apa pun atas namamu. Keponakanku mengambil keputusan tanpa dibayar. Aku juga harus menanggung risikonya sendiri." Pandora bergeming. "Kau benar-benar melihat Pangeran Alaric bersama kekasihnya hari itu?" tanya Laito cemas. "Argumenmu tidak bisa dibuktikan?" Diamnya Pandora pertanda iya, menurut Laito. Keponakannya terbiasa berbohong untuk banyak urusan termasuk memendam perasaannya sendiri yang kacau. Bukan tidak mungkin Pandora akan mendapat perlakuan semena-mena di istana lain karena dirinya bukan dari golongan yang sama. Keponakannya akan menjalani kehidupan berat di masa mendatang. "Hanya perlu satu tahun," kata Pandora getir. "Setelah itu aku boleh pergi. Aku akan melarikan diri. Aku dan paman. Kita bisa mencari tempat tinggal yang lebih baik. Aku tidak akan muncul ke istana atau meminta tanggung jawab dalam bentuk lain." Laito mendesah. "Apa boleh buat? Satu tahun bukan waktu yang sebentar." Dan melihat bahu keponakannya merosot. "Satu tahun, dan kau harus menerima semuanya dengan tangan terbuka. Sabar dan pasrah saja tidak cukup." "Ellie pernah bercerita padaku," ujar Pandora lamat. Mengenang obrolan mereka secara diam-diam. "Kalau Putri Laura suka menangis pasca melahirkan. Dia mendengar ini dari Ilama. Saat menceritakan kisah itu secara tertutup. Ilama tidak membeberkan semuanya, hanya sebagian kecil tentang istana yang buruk. Putri Laura bukan keluarga biasa. Dia terlahir luar biasa. Keluarganya berpengaruh." "Ah, kakeknya mantan Viscount." Laito mendengus muram. "Karena perjodohan, mungkin? Atau Putri Laura punya kekasih yang dia cintai." Pandora tidak lagi bersuara. Kalau dirinya terlewat, semuanya akan hancur. Meski dirinya percaya pada sang paman seribu persen, Pandora hanya perlu menahan diri. Kadang-kadang ia tidak percaya pada dirinya sendiri. Dan itu mencemaskan. Lebih baik melupakan skandal itu untuk selamanya. "Kau melamun." "Satu-satunya pernikahan penuh cinta yang pernah kulihat hanya ada pada orangtuaku," bisik Pandora lemah. "Sayangnya, mereka terlanjur pergi sebelum aku paham arti cinta dan kekuatan itu sendiri." "Setelah semua ini selesai, kau bisa menggapai semua impianmu yang lain. Lupakan saja soal asmara. Kau bisa mendapatkannya setelah skandal ini meredup. Kau pasti bisa." Kalimat itu sebagai penyelamat. Pandora hanya tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih karena Paman Laito banyak membantunya. Mengeluarkan dirinya dari rasa sakit setelah kehilangan orang-orang yang mencintainya. *** "Yang Mulia." "Laito," ujar Alaric datar. "Kenapa terburu-buru? Santailah dulu." Laito tidak lagi punya alasan untuk pergi. Dia hanya harus memasak setelah ini karena Pandora sudah pergi ke istana untuk bekerja. "Ada apa, Yang Mulia?" "Mengapa keponakanmu berpakaian seperti perempuan kuno abad tujuh belas?" tanya Alaric sinis. "Dia terlalu terobsesi pada buku tua atau bagaimana? Mengikuti tren yang tertingga zaman di era sekarang." "Itu kemauannya," balas Laito mantap. "Aku tidak punya hak untuk menegur sekalipun itu tidak memancing tindakan yang terlarang. Pandora tidak melakukan hal yang salah." Satu decakan mampir. Alaric membuang muka hanya untuk mencemooh bangsawan lain yang sedang belajar ilmu berburu. "Yah, kau benar. Hanya saja itu menggangguku." Kedua mata cokelat Laito melebar. "Kenapa begitu, Yang Mulia?" "Kau tahu, dia seperti karakter The Nun yang pernah kusaksikan bersama teman lamaku. Berkeliaran di kastil dengan penampilan menjengkelkan hanya akan membuat semua orang kesal," balas Alaric. Bibir Laito terkatup. Membayangkan Pandora dibenci hanya karena gaya pakaiannya? Itu sangat aneh. "Aku tidak tahu kalau gaya berpakaian bisa menimbulkan kebencian." "Karena semua orang di istana modis. Mereka tahu caranya berpakaian dan berpenampilan menarik. Sementara keponakanmu menggambarkan visual kurator buku tua yang menyebalkan." "Ah, dia seolah-olah muncul dari sampul buku." Alaric menarik napas, bersandar pada bantalan kursi yang nyaman. "Memang. Satu-satunya cara hanyalah berusaha mengabaikan eksistensi perempuan itu tidak ada. Apa ini juga menyinggungmu?" Laito bergeming. Sepantasnya Pandora harus diperlakukan sama seandainya dia benar menjadi Duchess di Cornelia. Orang-orang akan melihatnya berbeda. Pandora pasti akan berubah dari segi penampilan. "Setiap manusia punya kesempatan untuk berubah," ucap Laito semangat. "Keponakanku juga akan menunjukkan hal serupa. Andai saja dia berubah menjadi kupu-kupu, orang lain tidak akan menyadari kalau dia hanya perempuan biasa." Salah satu alis Alaric terangkat naik. Mengamati Laito yang berapi-api dan berseri saat membicarakan sang keponakan membuatnya muak. Pandora hanya akan berguna sebagai peredam berita ini sementara. Selebihnya tidak ada. Secara spesifik, gadis itu tidak terlalu berarti. "Aku tidak yakin. Tapi karena kau seorang paman yang merangkap sebagai ayah sementara, aku asumsikan itu sebagai bentuk semangat." Alaric menegak anggurnya lagi. Menatap datar ke arah lapangan yang riuh. Beberapa orang mencoba unjuk gigi dengan memamerkan kemampuan membidik mereka. Sebagai garis dasar turun-menurun, setidaknya para pria dibekali ilmu berburu dan memanah. Atau diselingi kegiatan lain yang menyenangkan. Mereka hidup di era monarki yang lebih modern. Tidak ada pakaian ketat yang membuat bagian kaki sesak lagi. "Aku permisi." Laito undur diri. Membiarkan Alaric sendiri berteman dengan sepi. Matanya menerawang lurus. Memandang sekumpulan burung dalam sangkar yang siap dijadikan umpan. Lalu pada sekumpulan para bangsawan lain yang menaruh perhatian secara terbuka padanya. Kabar miring itu telah berembus cepat seantero negeri. Meski perusahaan percetakan telah menarik koran mereka kembali, perusahaan penerbitan harus menerima ultimatum dengan membayar denda sejumlah uang atas nama pencemaran nama baik. Kerajaan tidak akan tinggal diam untuk membuat reputasi mereka tetap terjaga sempurna. Ini semua karena perintah Dimitri. Dan Alaric tidak lagi di fase bisa membantah atau dirinya akan ikut hancur lebur bersama pemberitaan yang muncul. *** Saat Alaric tiba, ia melihat Dimitri sedang menghabiskan waktu bersama kedua anaknya. Ada Laura di sana, duduk dengan Ilama yang berdiri sebagai asisten setia. Perhatian Alaric hanya tertuju pada keluarga kecil yang secara tidak sengaja diciptakan oleh aturan istana. Dan sementara Dimitri perlu bersiap-siap sebelum penobatan, Alaric juga harus bersiap untuk pernikahan. Prinsipnya sebagai pria bebas dan akan menikah dengan gadis yang ia inginkan, pupus sudah. Kerajaan seperti mengenal betul jalan pikirannya. Dengan membuat pengumuman mereka akan menjodohkan Laura dan Dimitri secara cepat dan berlandaskan kesepakatan. Itu sebelum wafatnya Raja Ivan. Rakyat berpesta-pora. Sementara Alaric merana, menyembunyikan eksistensi diri demi menyembuhkan hati. "Paman!" Suara si kembar mengejutkannya. Alaric lantas menoleh, melihat dua keponakannya melambai dengan riang. Lalu Dimitri yang mengangkat bolanya ke atas, menyapa sang adik yang baru saja tiba. Alaric hanya mencoba menahan diri untuk tidak berpaling ke arah Laura. Tapi rupanya itu sangat sulit. Ia melirik kakak iparnya dalam diam, kemudian mengangguk dan memilih untuk pergi. Tanpa ada hasrat ingin bergabung dan menyesuaikan diri. Rasa marah itu masih ada. Masih tertinggal. Dimitri memang calon raja di masa depan, tetapi pria itu tidak punya hak menentukan jalan hidupnya juga. Berkat artikel yang menjatuhkan, tanpa bukti nyata dan Dimitri seolah membungkam segalanya untuk tidak membahas hal memalukan itu. Karena jika Alaric bicara tentang yang sebenarnya, semua akan hancur. Termasuk perasaan sang kakak atau mungkin hati kedua anak Laura. Berita itu akan dianggap menghina dan sangat memalukan. Yah, setidaknya kabar tentang dirinya yang menyukai sesama tidak menampilkan gambar dan hanya berupa tulisan semata. "Alaric." Sang kakak menyusulnya sampai masuk ke dalam. Membiarkan kedua anaknya bermain dengan istrinya yang mengawasi. Alaric berhenti. Menarik langkahnya tanpa suara. Pandangannya lurus menatap depan. Pekarangan yang hijau tiba-tiba membuatnya teringat dengan mata milik seseorang. "Pernikahan dipercepat. Besok istana akan mengumumkan kabar bahagia ini. Aku pastikan Pandora tidak akan muncul untuk sementara sampai berita mereda dan upacara pernikahan bisa dilaksanakan." "Kapan?" "Minggu depan. Penobatanku ada di akhir bulan. Dan saat itu juga, kau bisa pergi ke Cornelia. Masa berkabung kita sudah selesai." Alaric berdeham. "Aku tidak punya hak untuk menolak perintahmu, bukan?" Raut Dimitri berubah dingin. Sorot mata sang kakak menajam. Mengamati wajah yang sama sekali tidak mau melihat ke arahnya. "Aku melakukannya demi dirimu. Demi orang lain. Demi istana ini. Kau tahu, tetua mencelamu berulang kali." "Aku tidak melakukannya dan kau keras kepala. Kau seolah-olah memegang bukti itu," kata Alaric mendesak. Melirik sang kakak yang terpaku. "Aku berani bersumpah dengan tidak pernah menciptakan skandal kotor apa pun." "Kalau tidak, kau pernah bermain api dengan siapa?" tanya Dimitri getir. Atensi Alaric berpaling. Memandang Dimitri dalam diam. Lidahnya terasa kelu, membeku di dalam mulutnya. "Aku bilang, aku tidak pernah menciptakan noda kotor. Aku tidak pernah terlibat di dalamnya." Dimitri merespon dengan dengusan. "Kau serupa dengan mendiang raja dulu. Meski ayah sedikit membencimu karena kau begitu mirip dengan istrinya yang berselingkuh." Alaric membuang pandangannya. Menarik napas getir dan menghelanya perlahan. Tiba-tiba mendesak ingin bertanya sesuatu. "Kau bahagia dengan pernikahanmu?" "Ya. Sangat. Laura memberiku dua anak. Pewaris kerajaan ada di mereka. Ada banyak alasan mengapa aku mensyukuri pernikahan ini." Pendar pada mata Alaric berubah. Dirinya mengangguk, memilih untuk bungkam saat membungkuk pada sang kakak dan pergi dari koridor itu secepatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD