"Siapa yang mengirimkan ini?"
"Ilama. Putri Laura yang memintanya."
"Apa ini perlu? Pendapatku?" Pandora mencibir. Melirik katalog itu dengan sinis. "Aku tidak akan menolak apa pun. Sudahlah. Boneka ini hanya akan menurut saja."
Ellie membuang napas getir. "Pandora, kau bisa memilih setidaknya gaun pengantin yang kau mau. Ayo, coba saja."
"Aku tidak menaruh minat pada pernikahan pura-pura ini, Ellie." Pandora membalas letih. Kepalanya sakit dan sama sekali tidak bisa bekerja secara maksimal. "Aku juga perlu belajar beradaptasi di kehidupan bangsawan setelah ini. Lupakan saja. Pekerjaanku banyak."
Ellie mendengus. "Kau tidak berkonsentrasi sama sekali."
"Ya, memang." Pandora mengiakan dengan pahit. Matanya berpendar redup. Di dalam terangnya ruangan, bermandikan buku-buku kuno yang menjadi hobi sekaligus mata pencahariannya. "Bagaimana aku bisa berpikir selagi pernikahan dipercepat? Kerajaan memang senang membuat jantung para bawahannya lepas."
Ellie melepas sarung tangannya. Menyimpannya di dalam saku kemeja seragamnya. Memandang Pandora cemas. Gadis itu tidak terlihat bersemangat sama sekali.
"Hanya satu tahun dan setelah itu kau bebas. Kau pasti bisa menjalaninya. Semua pasti berlalu."
"Satu tahun dan itu tidak sebentar. Aku harus berpura-pura manis serta meluaskan kesabaran selama menjadi istri seorang Duke."
Pandora mendesah panjang. "Atau menulikan kedua telingaku dari semua kalimat yang membuat hatiku panas. Aku mungkin akan sakit hati, tapi aku akan mencoba. Lagi pula, sudah terbiasa dicela, kan?"
Mimik Ellie berubah muram. Satu-satunya yang mengenal baik Pandora hanya dirinya. Saat Ellie bertanya tentang kebenaran dari berita Pangeran Alaric, Pandora hanya diam. Itu berarti kenyataan. Skandal pangeran bungsu itu benar adanya. Dan kerajaan memegang bukti dengan cepat. Menanggung rasa malu karena sikap meresahkan Pangeran Alaric sudah tersebar luas saat Parvitz memegang teguh pada sistem kuno.
Ada banyak larangan yang ditegakkan di negara ini. Dan bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman. Tetapi untuk kasus Pangeran Alaric, dirinya hanya harus mengikuti aturan istana sebagai solusi dari masalah. Jalan terbaik adalah dengan pernikahan. Karena kerajaan kesulitan memberi hukuman bagi calon pewaris. Dan terutama, karena dia adalah seorang Duke.
Istana mengirimkan kabar tentang kebohongan itu. Juru bicara mengadakan jumpa pers dan berkata ada pihak dari sayap lain yang mencoba memanaskan situasi sebelum penobatan. Beberapa orang percaya. Dan sebagian lagi menolak, memilih untuk mengintimidasi istana yang penuh manipulasi dan keburukan.
Dan kabar sengaja ditiupkan dari dalam istana. Sebelum kabar pernikahan antara pangeran dan seorang perempuan dari kalangan biasa berembus kencang, kebanyakan dari mereka penasaran. Istana belum memberi jawaban. Tetapi mereka masih harus menanti. Yang lagi-lagi membuat Pandora tertawan di dalam, tidak punya celah untuk pergi menemui pamannya di desa.
"Sayang sekali, Laito tidak bisa mengoperasikan sebuah ponsel. Kau mesti harus mengirim pesan dengan surat," kata Ellie kaku. "Pamanmu ada-ada saja."
"Aku bisa mengganggumu," balas Pandora santai. "Kau bisa mengirim pesan padaku tentang kondisi paman. Selagi aku di kota antah-berantah."
"Cornelia, Pandora."
Bola mata gadis itu berputar bosan. "Seperti nama es krim abad sembilan belas."
Ellie hanya tersenyum.
***
Laura menahan napas. Memandang Alaric yang baru saja tiba. Secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat Laura cemas, gelisah jika ada saksi yang melihat mereka berdua.
"Kau takut?"
Alaric menghampiri dengan seringai. Melihat raut pucat Laura dengan senyum yang menusuk mata. "Kenapa? Tidak ada salahnya berbincang dengan adik iparmu sendiri."
Laura mendengus. Merapatkan mantelnya saat masuk berjalan. Ini tempat yang cukup jauh dari aula utama.
"Kau tahu, pernikahanmu dipercepat. Kau seharusnya ikut antusias."
"Untuk apa antusias?" Alaric mencibir, bersidekap di jendela untuk memandang sebuah guci besar koleksi istana. "Aku menikah dengan gadis yang tidak kumau."
Laura mendesah. "Ini hanya setahun. Berjalan sebentar."
"Lantas, kalau sudah selesai?" tanya Alaric sinis. "Kau mau kembali padaku?"
"Aku tidak bisa," kata Laura datar. "Aku punya keluarga sendiri. Lagi pula, kita berdua hanya masa lalu. Tidak bisa kau berjalan maju dan melupakan semua itu begitu saja?"
"Tidak."
Alaric menggeleng tegas. "Tidak, aku tidak mau melakukannya."
Laura memilih untuk tidak bersuara. Matanya yang teduh memandang Alaric tanpa arti. Alaric akan menikah, dan itu berarti semua masalah akan selesai dan memudar. Pria itu akan kembali ke Cornelia, semua urusannya akan menjadi urusan Dimitri dan dirinya sebagai raja dan ratu di masa depan.
"Setidaknya menunjukkan diri sebagai calon pengantin yang baik." Laura berujar datar. Menatap Alaric serius. "Kau sedang bertaruh dengan nama baik kerajaan."
Alaric hanya diam. Saat Laura berbalik, merapatkan mantel dan terburu-buru pergi. Membiarkan Alaric sendiri, menjauh dari kehancuran secepatnya.
Alaric berjalan pergi. Menyusuri lantai tanpa suara. Membiarkan suara hewan malam menemani sepi. Langkahnya terdengar redup, temaram bersama lampu taman.
Kemudian melihat Pandora di depan sana. Seorang diri di taman. Kakinya tenggelam dalam air. Yang tersisa hanya tubuh bagian atasnya yang duduk di atas rerumputan pendek. Melamun menatap malam.
Alaric menghela napas. Memandang sekeliling hanya untuk melihat siapa yang masih berkeliaran di dalam istana saat malam. Karena ini bukan termasuk kastil bagian depan, orang-orang sibuk beristirahat setelah melakukan pekerjaan seharian penuh. Bagian belakang kastil agak menjorok dan sepi. Biasanya yang tinggal di sana hanya para pelayan dan pekerja mingguan untuk membantu pelayan sebagai tambahan tenaga kerja.
Langkah Alaric mendekat. Ia tidak tahu mengapa kedua kakinya membawa pada Pandora yang mematung. Menelisik pakaian gadis itu dari cahaya lampu, Pandora sama sekali tidak berdandan seperti nenek tua sebelum tidur. Gadis itu memakai piyama yang mungkin terbilang murah.
"Ellie, aku belum mengantuk. Kalau kau ingin pergi tidur lebih awal, silakan. Aku sudah cukup kenyang sekarang."
"Ellie?"
Pandora mendongak. Tersentak memandang siapa yang menghampiri dengan tubuh menjulang. Matanya melebar. Kedua kakinya yang terendam di air terangkat. Tercengang karena kehadiran Alaric.
"Yang Mulia," sapanya. "Kupikir Ellie yang mendekat."
"Siapa Ellie?"
"Kepala staf dapur." Pandora membalas tanpa ekspresi. "Anda tidak mengenalnya?"
"Tidak, aku kenal." Alaric mengangkat bahu. "Kau dekat dengannya? Para pelayan di sini?"
Kening Pandora berkerut agak dalam. Gagasan tidak ingin menjawab dan segera pergi ada. Namun, rasanya tidak sopan membiarkan pangeran bungsu di sini dan dirinya memilih untuk pergi. "Tidak. Satu-satunya yang dekat denganku hanya Ellie. Dia tetangga kami di desa. Kerabat jauh Paman Laito."
"Ah, Laito. Pamanmu memutuskan untuk melajang seumur hidupnya. Apa dia kesepian?"
Pandora mengerutkan alis. "Ya, hanya kadang-kadang. Dia lebih sering menyibukkan diri."
Dan Alaric terdampar di sini. Berbincang bersama calon istri yang sama sekali tidak dia kenal. Asal-usul Pandora memang terbilang jelas. Berasal dari kasta rendah dan bukan bangsawan seperti istri lain para kerabatnya. Satu-satunya yang akan menabrak tradisi tersebut adalah dia. Alaric tidak yakin pernikahan yang berlandaskan protokol akan bertahan lama. Toh, hanya satu tahun. Dia bisa bertahan selama itu dengan ikatan tanpa memedulikan kehadiran Pandora nanti.
Matanya mengamati postur gadis itu. Tidak terbilang pendek karena tinggi badannya sepadan dengan bahunya. Pandora tidak memakai rok serta kemeja lusuh dan kusut. Rambut panjangnya terikat sanggul, tanpa riasan dan kacamata. Tampil polos sebelum tidur dan Alaric merasa itu sedikit luar biasa.
Pandora yang berdiri di depannya bisa terlihat arogan dan angkuh secara alami. Walau tidak sebenarnya begitu. Gadis itu bersikap ketus saat pertemuan pertama mereka. Dan menangkap skandal antara dirinya dan Laura, Pandora seperti perlu menjaga jarak.
"Anda menatapku terlalu serius. Ada yang salah?"
"Tidak ada. Kau berpakaian normal malam ini."
Pandora mendengus. "Aku hendak tidur. Rok itu tentu saja tidak bisa membuatku nyaman di atas kasur."
"Anda sendiri? Menemui Putri Laura?"
Ekspresi Alaric berlumur rasa terkejut. "Kau melihat kami lagi?"
"Tidak. Hanya menebak." Senyum gadis itu terlihat sangat menyebalkan. "Saat aku tahu, ini di jam malam yang sama. Kalian sangat senang berjumpa di malam hari, ya?"
Pandora berpaling. Kembali duduk untuk membuat dirinya rileks. Melirik Alaric yang masih membatu, berdiri dengan isi kepalanya sendiri.
"Skandal apa pun, kebohongan apa pun pada dasarnya akan tercium juga. Ini istana, tempat seluas ini tidak mungkin bisa selamanya memendam bangkai. Meski tidak sampai ke dunia luar."
Alaric tidak membantah. Karena kebohongan ibunya juga tercium setelah bertahun-tahun pernikahan. Yang didasari cinta, berujung bencana. Alaric hanya belum lupa bagaimana raja mengalami patah hati menyakitkan karena istrinya berpaling. Cinta itu tidak lagi ada. Yang mendasari hubungan mereka merenggang dan terputus karena ruang.
"Hanya satu tahun, dan aku akan bersikap baik. Aku juga tidak ingin mencoreng nama kerajaan. Terutama keluargaku."
"Aku ingin membuat kesepakatan."
"Apa-apaan itu," Pandora tersentak. Kepalanya terlempar ke samping karena terkejut. "Konyol. Tidak ada kesepakatan. Aku sudah menerimanya."
"Kesepakatan apa maksudmu? Kau bersepakat dengan Dimitri, bukan denganku." Alaric membalas lebih sinis. Tidak terima dengan bantahan gadis itu. "Kita berdua harus membangun relasi di depan publik seolah saling mencintai."
Pandora pucat pasi.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya secara natural. Tapi mungkin kau akan banyak belajar. Atau kita sama-sama akan belajar."
Membayangkan dirinya melambai di depan kamera dengan tatapan penuh cinta, rasanya sangat mustahil alias tidak mungkin. Pandora tidak terbiasa berpura-pura untuk kasus perasaan terhadap orang lain. Ada kebencian yang ia coba sembunyikan pada ketiga anggota bangsawan kelas atas. Yang berhasil memporak-porandakan kehidupan damainya.
"Kau harus mau melakukannya. Istana akan menyebar kabar kalau aku punya kekasih diam-diam dari golongan bawah. Dan itu kau."
"Lantas, aku akan menjadi sasaran hujatan?"
"Itu urusanmu. Kau bisa mengatasi cacian itu sendirian." Alaric berkata santai. Sama sekali tidak mau ambil pusing dengan kejadian yang bisa saja terjadi di masa depan pada Pandora.
"Bagaimana jika kita tertangkap basah berbohong?"
"Aku terlatih untuk membuat pengalihan. Orang-orang akan percaya kalau kita saling mencintai. Topeng itu harus ada. Saat di depan publik, itu yang menjadi utama."
Pandora kehabisan kata-kata. Dirinya hanya diam. Memandang pangeran bungsu itu dalam diam. Tidak ada hak untuk membantah. Karena sandiwara memang diperlukan selama satu tahun agar pernikahan tetap bertahan sesuai kesepakatan. Pandora hanya perlu menjalaninya.
"Oke."
"Ah, satu lagi. Kau perlu menghilangkan kesan formal padaku. Biasanya, para pasangan membunuh formalitas itu di depan umum. Kalau kita menikah, kedudukan kita setara."
Pandora mendengus. "Tanpa embel-embel Anda dan Yang Mulia?"
"Ya, semacam itu."
"Oke, aku mengerti."
Pandora belajar dengan cepat. Sesaat gadis itu kembali merenung. Berusaha sekeras mungkin mengacuhkan eksistensi dirinya. Dan Alaric tidak lagi peduli. Dia telah menyampaikan peraturan secara jelas. Karena merasa percakapan ini sudah berakhir, Alaric memilih untuk mundur dan pergi. Membiarkan Pandora sendiri, larut dalam jalan pikirannya yang rumit.