Istana telah memberikan kabar membahagiakan ini ke publik. Sebagian lagi menerima dengan suka cita. Tetapi lebih banyak yang penasaran. Terlebih menaruh curiga karena istana tidak memberitahu siapa gadis beruntung yang bisa menikahi seorang pangeran. Seperti membuka peluang baru bagi rakyat biasa untuk bersanding dengan kelas bangsawan. Dongeng-dongeng yang sempat menemani mimpi indah mereka sekarang bisa saja berubah kenyataan.
Pandora menarik napas, membuangnya kasar. Seisi istana telah paham siapa perempuan beruntung yang menikahi Pangeran Alaric kelak. Mereka saling berpandangan, melihat Pandora seolah dirinya kutu pada rambut.
Ellie berusaha memberi aura positif yang sedikit membantu. Pandora sangat berterima kasih karena perempuan itu selalu ada untuknya di saat lelah sekalipun. Ellie tidak mengeluh. Dia mentaati benar perintah Laito untuk menjaga Pandora di dalam istana.
Karena dia bekerja, Pandora harus terburu-buru pergi ke perpustakaan demi pekerjaan baru. Dirinya hanya membungkuk seadanya saat melihat para pelayan senior sedang berbincang. Dan itu pasti sedang membahas dirinya. Karena saat Pandora melintas, semua orang diam. Menatapnya skeptis dan penuh iri.
Bahkan ada slogan yang menyertai saat kabar ini dirilis. Semua orang bisa menjadi putri sekarang. Tapi menurutnya, ini sama sekali tidak benar. Andai saja Pandora bisa menyingkap aib dan rahasia yang sebenarnya, dia akan dihukum dengan keadaan menyedihkan.
Langkah Pandora berhenti melihat Alaric melintas koridor dengan pakaian santai. Sama sekali tidak menggambarkan dirinya seorang pangeran yang terhormat. Kabar memang berembus kalau Alaric lebih senang berbaur bersama golongan lain dan duduk bersama di bar. Untuk kasus pertemanan, relasi pria itu cukup bagus. Tidak terbatas hanya dirinya seorang pangeran.
"Selamat pagi."
Sapaan itu meluncur di udara. Berasal dari para pelayan yang memandang Alaric bagaikan Adonis hidup di era milenial. Pandora membuang napas. Percuma untuk berbalik karena perpustakaan ada di gedung sebelah. Dan dia tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.
"Kau tidak bisa memilih pakaian yang benar?"
"Ini tren."
"Tren?" Alaric membeo tidak terima. Melirik sekitarnya dengan sinis dan para pelayan yang gemar bergosip perlahan mulai membubarkan diri. "Kau reinkarnasi pelayan abad tujuh belas atau bagaimana?"
"Kau percaya reinkarnasi?"
"Tidak."
"Sama." Pandora mengetatkan pelukannya pada dua buku tua yang ia temukan. "Aku harus pergi, Yang Mulia. Selamat pagi."
Pandora belum lima langkah pergi, Alaric menegurnya dengan cara dingin. "Kalau kita menikah, hal yang pertama kali aku rubah adalah penampilanmu. Duchess tidak akan berpakaian seperti gelandangan."
"Aku juga tidak akan memakai pakaian seperti ini untuk membuat Anda malu," balas Pandora agak sinis. "Tentu saja harus berubah. Mengikuti tren bangsawan. Gaun, mutiara, sepatu berkelas? Apa lagi?"
Alaric mendengus. Menikmati kejengkelan gadis itu dengan alis tertaut. "Aku bisa saja memerintahkan orang untuk merubahmu secara total."
"Stop. Anda belum menjadi suamiku."
Ucapan Pandora terhenti saat Pangeran Dimitri berjalan bersama sang istri untuk menyapa para pelayan. Keduanya bertemu di tengah koridor. Saling melempar pandang dan senyum calon raja merekah manis. "Senang melihat kalian akur."
Laura ikut tersenyum. Dan tiba-tiba Pandora merasa muak karena berhasil dikendalikan. "Benar. Aku turut senang. Kalian bisa melupakan masalah yang terjadi dan menjadi partner luar biasa."
Alaric mencibir cukup keras. Terdengar sampai ke telinga mereka. Tetapi Dimitri mengacuhkan reaksi tersebut.
"Aku permisi, Yang Mulia."
Pandora membungkuk agak lama. Berbalik untuk pergi dengan santai. Tidak berusaha tergesa-gesa walau ingin sekalipun.
"Kurasa dia cukup santai. Pembawaannya tenang. Aku harap kalian tidak saling mencakar."
"Kau tertipu penampilannya," sungut Alaric sebal. Berjalan melintasi koridor setelah mengabaikan sang kakak dan istrinya.
"Mereka akan akur di kemudian hari," kata Laura penuh takjub. "Aku bisa bertaruh."
Dimitri tertawa. "Kau cukup yakin. Tapi kita lihat nanti. Ayo, berkeliling sekali lagi."
***
"Aku tidak tahu apa alasan calon raja menyembunyikan simpanan adiknya dari dunia luar."
"Karena kaum bawah? Terkesan tidak pantas? Lagi pula, gayanya sama sekali tidak cocok bersanding dengan Pangeran Alaric sekalipun."
Pandora menarik napas panjang. Obrolan itu telah berlangsung kurang lebih lima belas menit. Topiknya tidak jauh dari dirinya, Alaric dan Dimitri. Terus begitu. Pandora berusaha mengabaikan eksistensi mereka, dan sama saja hasilnya merepotkan. Para pekerja cadangan memang gemar bergosip.
"Aku rasa, dia tidak mampu membayar. Masuk ke kalangan bangsawan sangat sulit."
"Tidak ada yang meminta kalian bergosip di sini." Madam Ellie muncul dengan raut kesal sekaligus menghakimi. Tidak perlu repot-repot memasang topeng ramah karena dirinya senior di sini. "Sudah, sana pergi."
"Madam Ellie." Mereka mengangguk bersamaan dan baru berani meninggalkan Pandora sendiri. Yang memilih untuk meneruskan pekerjaan, mengacuhkan dunia di sekitarnya.
"Pandora."
"Hm?" Gadis itu terkejut melihat Ellie berdiri di belakang. "Kau yang mengusir para gadis itu pergi?"
"Bagaimana perasaanmu?"
"Biasa saja," sahutnya santai. Mengangkat bahu dan menarik napas panjang. "Aku sudah terbiasa. Jangan cemas."
Ellie menarik bangku di sebelah Pandora. Dia baru bisa menemui gadis itu saat pekerjaannya selesai. Mencuri waktu untuk bertanya kabarnya. "Aku berpikir kehidupanmu di Cornelia kalau seperti ini."
"Apanya?" Ekspresinya berlumur miris. Pandora sebenarnya tidak sanggup membayangkan masa depan sedikitpun kalau ini menyangkut realita bangsawan. "Yah, aku tidak sederajat Putri Laura atau bangsawan lain. Tentu saja mereka akan melihatku seperti alien dari Mars."
Pandora mengulum senyum. Melepas pena dari jemarinya dan memandang Ellie hangat. "Kau cukup berdoa aku tidak akan beradu mulut dengan mereka dan meminta koki dapur memasak untuk Alaric."
"Pandora!" Ellie pucat pasi dan gadis itu tertawa.
"Aku bercanda."
Tatapan Pandora mengikuti Ilama bersama dua anak buahnya. Terlihat sibuk karena perintah Laura untuk mengurus pernikahan.
"Aku tidak terlalu suka dengan tangan kanan kepercayaan Putri Laura." Ellie bergumam rendah. Memandang Ilama datar. "Dia seperti bermuka dua. Dia juga yang menghadap Pangeran Dimitri dan bicara kalau kau menjadi saksinya."
"Bagaimana dia bisa tahu?"
"Ada seseorang yang memergokimu saat menangkap basah Pangeran Alaric dengan," bibir Ellie terburu-buru terkatup. "Intinya, kau tertangkap. Mungkin karena gerak-gerikmu mencurigakan."
"Hah." Pandora mendesah panjang. "Andai saja aku punya jubah tembus pandang seperti Harry Potter dan temannya. Aku tidak akan terperangkap seperti ini."
"Kau percaya Pangeran Alaric punya hubungan terlarang yang serupa seperti berita tersebut?"
Alis Ellie bertaut. "Aku tidak tahu. Tapi reputasi Pangeran Alaric memang suka bergonta-ganti pasangan. Tidak cukup hanya satu. Aku tidak tahu apa mereka pernah tidur bersama. Yang jelas, dugaan ini menguat karena Pangeran Alaric tidak pernah setia pada satu perempuan selama hidupnya."
"Oke."
"Oke? Hanya oke?" tanya Ellie penasaran. "Beri aku bocoran siapa partner sang pangeran sekarang. Aku penasaran."
Pandora terburu-buru menutup bukunya. Melirik Ellie dengan senyum misterius. "Kau akan terkejut seandainya tahu. Lebih baik tidak."
"Apa dia berasal dari dalam istana?"
Kepala Pandora meneleng, memandang Ellie penuh minat dan mengangguk. "Ya, dari dalam istana. Kau mengenalnya."
"Oh, ya Tuhan. Astaga. Ampuni dosa pangeran dan keluarganya." Ellie mengucap doa dan Pandora tertawa kecil. Baginya, itu sama sekali bukan urusannya. Perihal asmara dan kehidupan pribadi. Kalaupun ada dari mereka yang menyukai satu jenis, Pandora tidak akan berkomentar lebih.
"Aku harus pergi."
"Ah, benar. Makan siang." Ellie mundur dari kursinya. Merangkul Pandora yang membereskan buku dan menariknya untuk pergi dari perpustakaan. Meluncur ke dapur secepatnya sebelum jam berlalu.
***
Pandora menata rambutnya sekali lagi. Mencari keberadaan Laura setelah Ellie diberitahu bahwa Putri Laura mencari Pandora untuk bertemu. Tidak punya alasan untuk menolak atau menghindar, Pandora memilih untuk menemui calon ratu secepatnya.
Ellie memandang cemas selagi Pandora mengangkat sebelah kaki yang berbalut celana jins tua ke atas rumput. Seolah rumput ini terbuat dari emas dan dia perlu hati-hati melintasi pekarangan yang cukup luas.
"Selamat siang, Yang Mulia."
"Duduklah." Laura membalas ramah. Menaruh cangkir tehnya dan melirik Ilama. "Buatkan Pandora teh juga."
"Tidak perlu repot-repot. Terima kasih."
"Oh, kau tidak minum teh?" tanya Laura.
"Bukan. Kupikir aku baru saja makan siang dan perutku masih terasa penuh." Gadis itu membalas tanpa terbata-bata. "Air putih saja tolong."
Ilama pergi tanpa bersuara. Membiarkan Laura berdua bersama Pandora di dalam pekarangan.
"Nanti malam ada pesta. Bukan suamiku yang menggelar acara tersebut, tetapi para tetua."
Pandora menelan ludah. "Apa yang bisa kulakukan?"
"Tidak ada. Kau dipastikan hadir. Aku yang memintamu datang. Pangeran Dimitri menyetujuinya." Laura tampak senang. "Untuk penampilan, penata rias dan busana kerajaan yang akan mengaturnya. Kau akan tampil berbeda nanti malam."
"Apa itu diperlukan?"
Laura menarik napas. "Tentu saja. Kau calon istri Alaric. Semua orang penasaran tentangmu. Ini bagus sebelum pernikahan, kau diperkenalkan ke keluarga bangsawan."
Apa dia siap? Pandora bergumam dalam hati. Meringis menyadari dirinya tidak akan pernah siap terjun ke dalam konflik internal bangsawan. Terseret secara tidak langsung dan beradaptasi dengan cara hidup mereka. Atau mungkin pola pikir yang kuno.
Mata Laura mengawasi Pandora yang mematung. Gadis itu tampak berpikir keras. Sementara dirinya sudah mempersiapkan Pandora untuk debut nanti malam. Dimitri telah tahu, tetapi Alaric tidak. Dia tidak berpikir kalau Pandora akan hadir ke pesta tersebut.
"Mama, bisakah aku memetik satu bunga dan menyisakan tangkainya agar tumbuh lagi?"
Laura berpaling. Melihat salah satu putranya bersama penjaga kebun dan memakai seragam lucu. "Tidak bisa, Sayang. Kau harus memetik bunga bersama tangkainya. Dia akan mati secara perlahan-lahan tanpa kelopaknya."
"Oh, begitu. Aku pikir menyisakan batang membuatnya tumbuh lebih banyak. Aku salah."
"Tidak apa, tampan. Semua perlu belajar." Laura memberi senyum. Menatap sang anak penuh kasih saat bocah itu berlarian untuk menjelajah kebun lebih dalam lagi.
"Kau melihatnya," timpal Laura miris. "Aku memuja kedua putraku. Aku menyayangi keluargaku dengan sepenuh hati. Skandal itu akan merusak segalanya. Aku tidak mau kehilangan apa pun."
Pandora mengerjap. Merasakan dadanya mengempis saat membuang napas. "Aku mengerti, Yang Mulia."
Laura memberi senyum pengertian yang membuat Pandora luluh. "Terima kasih banyak. Aku berjanji, itu tidak akan terulang lagi di masa depan. Aku akan fokus pada tugas dan keluargaku. Sebagai seorang bangsawan, aku berutang budi padamu."