Antara Cinta dan Persahabatan
Antara Cinta dan Persahabatan
Dua pemuda ganteng dan dua orang gadis cantik, selalu terlihat bersama di dalam kampus sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang terdapat di Kota Surabaya. Mereka berempat sudah bersahabat akrab selama hampir satu tahun ini. Mereka berkenalan di kantin kampus saat istirahat kala itu.
Amanda dan Helena di tahun pertama kuliahnya, Antonio dan Brian di tahun kedua. Antonio yang ceria langsung menghampiri dan mengajak kedua gadis itu berkenalan, sedangkan Brian—sahabatnya hanya melirik dengan mata dingin, tapi tangan kekarnya tetap juga disodorkan ke hadapan Amanda dan Helena. Sejak hari itu mereka berempat menjadi teman akrab baik di dalam mau pun di luar kampus.
Amanda adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di kota itu. Ia yang paling tua di antara mereka. Amanda lebih tua dua tahun dari Helena serta lebih tua satu tahun dari Brian dan Antonio. Namun, karena tubuhnya yang paling mungil dengan wajah baby face, membuat wanita itu terlihat hampir sebaya dengan ketiga temannya. Amanda pun satu-satunya asli keturunan Indonesia, sedangkan ketiga temannya adalah keturunan Tionghoa. Perbedaan ras dan kepercayaan dengan ketiga temannya, tidak membuat persahabatan mereka terganggu.
Tiga tahun yang lalu, setelah lulus dari SMA, Amanda langsung mendapatkan pekerjaan di Surabaya atas rekomendasi dari saudara ayahnya. Setelah dua tahun bekerja, ia bisa melanjutkan cita-citanya untuk kuliah. Kampus swasta dengan jurusan komputer akuntasi menjadi pilihannya saat memulai kuliah yang sudah dijalaninya hampir satu tahun ini.
***
Seperti yang sudah direncanakan Brian dan Amanda semalam, mereka akhirnya bisa memisahkan diri dari Helena dan Antonio sepulang dari kuliah Senin malam itu. Helena sudah dijemput kakaknya dan Antonio juga sudah kabur dengan motornya entah ke mana.
Kini tinggallah Amanda yang berjalan menuju parkiran tempat Brian menunggunya. Dilihatnya lelaki ganteng itu sedang berdiri bersandar di tiang dekat parkiran kampus dengan headset yang terpasang di kedua telinganya. Pasti ia sedang mendengarkan lagu kesukaannya.
Pemuda itu langsung tersenyum begitu melihat Amanda datang menghampirinya. Dilepaskannya kedua headset itu, lalu berjalan menuju motor gedenya yang terparkir tidak jauh dari tempat ia berdiri tadi.
“Yuk, kita langsung jalan aja, ya? Ntar keburu malam. Bisa-bisa kamu nginap di rumahku,” ucap Brian sambil menyerahkan sebuah helm ke hadapan Amanda yang sudah berdiri di sampingnya.
Amanda lalu memakainya dan menaiki motor Harley Davidson milik Brian. Ia langsung memeluk erat pinggang sang kekasih begitu motor dengan ban besar itu melaju membelah jalan di keremangan cahaya lampu jalan yang mereka lewati.
“Sepi banget rumahnya, emangnya pada ke mana semua?” tanya Amanda begitu diajak masuk oleh Brian ke rumah orang tuanya yang besar dan megah.
“Bokap sama nyokap lagi ke Solo. Cik Lenny gak tahu, mungkin pergi juga. Yuk, kita langsung ke tempat biasa ngumpul,” ajak Brian sambil menggandeng tangan Amanda menuju ruangan paling ujung dari rumah tersebut.
Ruangan yang terpisah oleh sebuah taman kecil di tengah rumah itu sudah beberapa kali dikunjungi oleh Amanda. Namun, bersama Helena dan Antonio juga. Tempat berkumpul mereka berempat selain di rumah kontrakan Amanda. Baru kali ini Amanda diajak sendiri oleh Brian ke tempat tinggalnya itu.
“Aku ke toilet dulu, ya?” pamit Amanda begitu tiba di ruangan yang sekaligus kamar tidur bagi Brian—putra bungsu seorang pengusaha sukses.
Di ruangan yang mirip dengan sebuah hotel mewah itu terdapat sebuah audio set yang dilengkapi oleh televisi berukuran besar di pojok ruangan. Satu set kursi sofa juga tersedia untuk bersantai di depan audio itu. Kulkas minibar serta ranjang berukuran besar dan mewah pun ada di ruangan yang dilengkapi oleh pendingin ruangan.
Amanda melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang terdapat dalam ruangan tersebut. Kaca rias besar dan lemari kaca yang dipenuhi oleh barang-barang perlengkapan mandi dan kosmetik Brian, terlihat tertata rapi di hadapannya. Toilet duduk yang bersih di samping kaca rias menjadi tempat tujuan dari Amanda. Ia sudah menahannya sejak keluar dari kampus tadi.
Tidak berapa lama kemudian, Amanda keluar dari kamar mandi yang bersih dan wangi itu. Ia berjalan mendekati Brian yang duduk menunggu di sofa sambil berkaraoke menyanyikan lagu kesukaannya.
“Manda, sini! Aku udah milihin lagu Mandarin kesukaanmu.” Brian memberi isyarat dengan tangannya agar Amanda duduk di sisinya.
Brian melanjutkan nyanyinya yang berbahasa Inggris dengan suara bariton yang membuat Amanda semakin menyukai pria anak orang kaya itu. Hobi mereka yang suka bernyanyi, membuat keduanya selalu terlibat dalam hubungan yang romantis.
Amanda juga mampu menghipnotis Brian kala gadis tomboi bertato kupu-kupu itu sudah mulai mengalunkan suaranya dengan fasih menyanyikan lagu Mandarin kesukaannya.
“Manda, kita menikah aja, yuk? Rasanya aku ingin kamu tinggal bersamaku di sini selamanya,” ucap Brian begitu Amanda menyelesaikan sebuah lagu dengan menawan, tidak kalah dari suara penyanyi muda Indonesia yang tenar saat ini.
“Kamu nanti mau jadi papa muda berusia 21 tahun?” tanya Amanda sambil tertawa lebar.
“Ya, mau aja, enak dong? Ntar kita masih muda sudah punya anak yang hampir sebaya. Aku rasa di usia empat puluh tahun, aku masih ganteng,” balas Brian percaya diri.
“Dan aku usia 41 tahun, pasti sudah terlihat tua,” keluh Amanda membayangkan ia dan Brian tetap bersama dua puluh tahun ke depan.
“Kamu akan selalu terlihat lebih muda dari aku, karena wajahmu yang seperti bayi ini.” Brian dengan gemas menciumi pipi mulus gadis yang ada di sampingnya.
Amanda balas menggelitiki pinggang pria muda yang rajin nge-gym tersebut. Candaan mereka di atas sofa berakhir dengan terlepasnya satu persatu pakaian yang melekat di tubuh keduanya.
“Manda, aku akan memperlihatkan tatoku yang pertama padamu,” bisik Brian sambil bersiap membuka pakaian terakhir yang melekat di tubuh atletisnya.
“No! Stop, Brian! Kita tidak boleh melakukan ini, belum saatnya.” Amanda langsung mendorong tubuh Brian yang menindihnya.
Kesadaran dari wanita yang tadi sempat larut oleh cumbuan dari kekasihnya itu kembali di akal sehatnya yang pintar. Ia tidak akan bertindak lebih jauh lagi. Segera Amanda memakai kembali pakaiannya yang tadi dilepas Brian. Diraihnya juga baju dan celana Brian yang berceceran di bawah sofa, lalu diserahkan kepada pemuda yang masih terduduk diam dengan mata menatap plafon kamarnya. Napasnya masih terlihat memburu dengan d**a kekarnya yang naik turun.
“Maafkan aku ya, Manda. Hampir saja aku menodaimu,” ucap Brian tidak lama kemudian. Ia pun memasang kembali pakaiannya.
“Gak apa-apa, kita sama-sama salah kok, aku juga terhanyut sama kamu,” jawab Amanda sambil tersenyum lembut. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.
“Yuk, aku antar kamu pulang, udah hampir jam sebelas malam ini,” ajak Brian sambil merapikan rambut pendek Amanda yang sedikit kusut oleh kemesraan mereka tadi.
Amanda menganggukkan kepalanya. Lalu berdiri meraih tasnya yang tergeletak di pojok sofa.
***
“Amanda, tolong datang ke ruangan saya,” perintah atasan Amanda melalui intercom kantor.
“Baik, Pak. Saya segera ke sana,” jawab Amanda sambil meletakkan kembali gagang telepon ke meja kerjanya. Gadis yang tampak anggun dengan rok dan blazer berwarna cokelat itu berjalan menuju ruangan atasannya yang terletak di paling pojok lantai satu.
“Amanda, saya baru saja dapat telepon dari kantor pusat Jakarta, bahwa kamu akan dimutasi kerja ke salah satu cabang baru kita di Kota Semarang,” ucap kepala cabang perusahaan tempat kerja Amanda selama tiga tahun ini, begitu ia duduk di hadapan atasannya itu.
“Maksudnya gimana nih, Pak? Kenapa harus saya yang dipindahkan?” tanya Amanda dengan kalut. Ini berita yang tidak pernah ia duga.
“Jadi begini, Manda. Kamu kan sudah bekerja selama tiga tahun di perusahaan ini. Kamu pun sudah menjadi karyawan senior di divisi finance dan akunting saat ini. Jadi kantor pusat ingin mempromosikan kamu menjadi kepala administrasi dan finance di kantor cabang baru kita di Semarang. Ini sangat bagus untuk kariermu ke depan lho, Manda. Apalagi gajimu otomatis akan disesuaikan dengan jabatanmu di sana nanti.” Atasannya berkata penuh semangat.
Amanda termangu mendengar penjelasan dari Pak Randa—kepala cabangnya yang begitu memperhatikannya selama ini.
“Kamu bersedia, ‘kan, Manda? Kamu harus menjawabnya sekarang juga, karena HRD pusat ingin jawabanmu hari ini,” desak Pak Randa begitu dilihatnya karyawan kesayangannya itu hanya duduk terpaku tanpa bicara.
“Saya tentu saja bersedia, Pak. Ini kan masa depan yang saya impi-impikan selama ini,” jawab Amanda tanpa rasa gembira sama sekali.
Entahlah. Ia sangat senang karena mendapatkan promosi dalam jabatannya. Namun, mengapa hatinya tiba-tiba terasa hampa? Bagaimana dengan kuliahnya? Dengan kekasih hatinya? Apakah ia akan melepas segala kesenangannya bersama Brian dan kedua sahabat yang juga sangat disayangi dan disukainya, Helena dan Antonio? Ah, bukannya senang akan promosi jabatannya, malah kegalauan yang menghampiri wanita mandiri itu.