EMPAT

1112 Words
Selamat malam. Jangan lupa di favorit ya. Jangan lupa tinggalkan like dan vote kalian.  Kali ini Gea tidak akan pernah datang terlambat lagi ke kampus seperti biasanya, dia juga sudah berusaha untuk tidak begadang. Tapi, tetap saja pada pagi harinya yang menjadi kendalanya adalah telat bangun. Sekalipun dia berusaha untuk tidur lebih awal. Pagi itu, temannya memberitahukan bahwa akan ada dosen baru dikelasnya. Gea tidak peduli dengan orang-orang yang menghalangi jalannya menuju kelas. Karena dia sudah menjadi langganan dimarahi oleh dosen lantaran selalu bangun terlambat, Gea kali ini tidak akan sanggup lagi jika dimarahi oleh dosen baru. Begitu dia tiba di depan kelasnya. Gea mengetuk pintu begitu melihat dosennya masih sangat muda dan mempersilakannya masuk. Gea langsung ke tempat duduknya seperti biasa. "Bangke lo kebo banget kalau tidur, nggak bisa dikit aja lo tuh usaha buat bangun pagi sekali doang!" keluh Rangga karena hanya dia yang setia membangunkan Gea setiap hari dengan telepon. "Ya maaf, besok-besok gue janji deh," "Otak lo kadang pintar. Tapi kalau urusan bangun pagi lo itu asli kebo," ulang Rangga. Gea tidak menjawab apapun. Dia menutupi wajahnya dengan buku kemudian berbisik lagi dengan Rangga yang paling asyik diajak mengobrol ketika mata kuliah seperti ini. "Yang pegang buku dan yang cowok sedang bergosip, maju!" Gea dan Rangga mengedarkan pandangannya kemudian sadar dan mereka berdua menunjuk diri mereka sendiri sambil menyeringai sadar bahwa mereka berdua telah salah dengan yang diperbuatannya tadi. "Maju!" Gea dan Rangga saling menyalahkan satu sama lain. "Lo sih," "Mata lo," "Lo yang ngajak gue ngobrol," "Eh kalian berdua daripada ribut mending maju!" ucap teman mereka yang duduk dibangku paling depan. Karena mereka duduknya paling belakang, maka dari itu mereka harus bersiap-siap menjadi sasaran dosen jika kejadian seperti ini lagi nanti. "Siapa nama kalian?" "Saya Rangga, Pak," "Saya Gea, Pak," "Nama lengkap kamu?" tanya dosennya yang terlihat usianya tidak jauh dari mereka bahkan terlihat lebih muda dari beberapa mahasiwa yang sudah berumur dua puluh lima lebih. "Anggea Syahira," jelas Gea. Dosennya pun langsung memberikan spidol kepada mereka berdua. "Tulis nama kalian masing-masing di papan tulis! Nama lengkap," pinta dosennya setelah memberikan mereka berdua spidol. Gea yang sudah terlebih dahulu selesai menuliskan namanya. Kemudian disusul oleh Rangga yang selesai menuliskan namanya disamping kanan nama Gea. Terlihat dosennya berpikir kemudian mengambil penghapus dan menghapus beberapa huruf nama mereka. Hingga nama Gea yang tersisa hanya Sya, sedangkan nama Rangga tetap dibiarkan sesuai nama panggilannya. "Kesan pertama saya ngajar di kelas ini kita sudah nemu dua sejoli yang cocok banget ya, SyaRangga. Kalau Sya diganti jadi Se maka akan jadi SeRangga," canda dosennya sehingga membuat mereka yang ada di sana tertawa lepas ketika dosennya membuat kedua remaja itu terlihat kesal. "Jadi kalau saya mau panggil kalian, nama geng kalian berdua itu SeRangga ya!" "Pak, ih nyebelin banget," Pria itu hanya tersenyum. "Saya nggak suka kalau saya lagi serius justru ada yang ngobrol. Apalagi kalau misalnya ada meeting di kantor, terus ada yang ngobrol sudah pasti bos kalian nyuruh kalian keluar, paham?" dosennya menyandarkan bokongnya diujung meja sambil berdiri dan memutar-mutar spidol ditangan kanannya. "Kalian mungkin nggak kenal saya, kalian juga nggak kenal saya. Urusan kalian cuman kuliah cari nilai, tapi bodo amat sama etika. Jujur, saya terkejut lihat sikap kalian yang ngobrol," Rangga terlihat sudah sangat kesal karena diceramahi di depan teman-temannya. "Saya nggak bermaksud mempermalukan kalian berdua. Tapi, ini adalah pelajaran untuk kalian berdua. Bahwa di dunia kerja, kalian nggak bakalan pernah nemuin yang namanya ngobrol saat kerja. Saya tahu kok yang paling menyenangkan itu adalah ketika obrolan di mulai dengan kata 'eh tahu nggak' dan itu pastinya nggak bakalan pernah selesai sampai besok, lusa, minggu depan, bahkan sampai sepuluh tahun lagi nggak bakalan selesai obrolan itu, selalu ada kelanjutannya. Jadi apa yang kalian omongin tadi itu bukan urusan saya, tapi ingat cara menghargai itu adalah dengan cara diam ketika orang lain bicara," Gea dan Rangga menunduk. "Kalian duduk!" Dosennya berdiri dan tetap memainkan spidol ditangannya. Ekspresinya ketika berbicara pun berbeda. Ada hawa-hawa dinginn dan barangkali ini merupakan dosen yang tidak bisa diajak bercanda seperti dosen yang lainnya. "Mungkin banyak yang nggak peduli. Bahkan orang tua kalian nggak peduli sama apa yang kalian lakukan di luar, gimana cara menghargai itu. Jangan sampai ketika orang bilang kamu tidak pernah diajarin sopan santun sama orang tua? Alhasil orang tua yang di rumah sedang bekerja justru disangkut pautkan sama masalah kita. Semua orang tua pasti ngajarin anaknya sopan santun, tapi kitanya aja yang kadang nggak bisa hargai orang, dan untuk kalian berdua saya maklumi. Tapi, kalau kalian tidak suka dengan mata kuliah saya, silakan keluar! Saya hanya akan ngajarin yang serius mau belajar," Rangga dan Gea saling tatap dan menunduk. Jam kuliah untuk dosen baru mereka pun selesai. "Nama dosennya siapa?" tanya Gea kepada Rangga yang sepertinya terlihat kesal karena diajak mengobrol dan justru dimarahi oleh dosennya karena perbuatan Gea. "Pak Deni," "Masih muda banget kelihatannya," "Lebih muda dari teman-teman kita deh kayaknya, itu yang agak berumur jauh lebih tua," canda Rangga yang kemudian mengajak Gea keluar kelas. "Tapi ya tuh dosen tadi bilang kalau di kelas hari dipanggil Bapak. Karena itu bahasa formal sekalipun usianya jauh lebih muda, tapi ilmunya yang keren. Kalau diluar boleh dipanggil Deni aja sih katanya," "Deni?" kali ini Gea mengulang nama itu dan merasa bahwa nama tersebut tidak asing dan pernah disebutkan oleh kakaknya ketika itu. Dia juga mengatakan bahwa Deni akan menjadi dosen di kampus Gea. "Haaaah?" teriak Gea yang membuat Rangga langsung menutup mulut Gea dengan tangannya. "Ngagetin aja lo sialan, itu teman-teman ngelihat gue kayak ngelihat setan tahu nggak gara-gara lo," Gea baru ingat bahwa pria yang waktu itu dia lihat di kantor kakaknya adalah ternyata dosennya yang menyebalkan pagi ini. "Jijik gue," "Sama gue?" tanya Rangga. Gea menggeleng, "Bukan lo. Tapi sama Pak Deni, tingkahnya itu nyebelin. Dia yang waktu itu pernah gue lihat di kantor kakak gue, tapi sekarang ngajar di sini. Dikutuk apa sih gue sampai ketemu dia?" "Ngomong gitu nanti jatuh cinta nyaho lo. Udah gitu dia yang bikin lo mewek-mewek karena lo kangen dia," "Najis, dia udah bikin gue malu pagi ini," "Berani taruhan?" "Nggak usah taruhan jug ague udah menang. Jijik banget gue sama cowok sombong begitu," "Sombongnya berkelas, gue dengar dia itu presiden Direktur. Tapi ngajar di sini ikhlas, nggak ambil bayaran," "Yang benar aja? Munafik banget berarti," "Elah ini kan kampus punya orang tua dia," Gea langsung menoleh kearah Rangga. "Beneran?" "Sumpah deh, ini tuh emang punya Bapaknya dia. Orang tajir melintir gitu, bahkan orang-orang tuh udah pada tahu," "Terus kalau emang tajir kenapa ngajar?" "Nyari bini kali, seleksi gitu," "Mana ada yang mau sama dia kalau sikapnya dingin begitu," Rangga menggenggam tangannya dengan erat kemudian berdoa. "Andai gue cewek, udah pasti mau sama dia," "Gila lo, lo tuh cowok," Rangga hanya ingin melihat aksi Gea karena selama ini dari semua temannya, hanya Gea yang tidak pernah bercerita mengenai cowok yang ditaksirnya sekalipun banyak yang mau. Tapi Gea selalu mengabaikan karena hanya ingin fokus kuliah. Tapi tidak ada yang tahu barangkali Gea tidak ingin memperlihatkan dirinya yang jatuh cinta pada siapapun. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD