DUA PULUH

2819 Words
Taraaaaaaaaaaaaaaaa, jangan senyum-senyum sendiri.  Deni mengantarkan Gea terlebih dahulu karena tadi istrinya mengatakan bahwa teman-teman kampusnya sudah tiba di rumahnya terlebih dahulu. Kemudian mereka berdua mampir di minimarket untuk membeli makanan ringan untuk teman-temannya. Sebegitu takutnya Gea ketahuan menikah oleh teman-temannya sampai harus bersembunyi dari mereka semua. Deni juga tidak keberatan dengan istrinya yang ingin menyembunyikan status itu. Lagipula juga Gea belum hamil. Jangankan hamil, untuk berhubungan suami istri saja mereka belum pernah sama sekali mengingat Gea yang pernah mengutarakan perasaan takutnya sampai Deni harus sabar dan tidak pernah lagi membahas mengenai hubungan intim itu kepada Gea. Mereka hanya sering berciuman, berpelukan. Itupun sangat jarang dilakukan karena ketika pulang bekerja, Kelana selalu menjadi penengah di antara mereka berdua. Setelah dia pulang mengantarkan Gea, ia mengantar Kelana ke rumah sang mama karena katanya Kelana akan diajak jalan-jalan nantinya. Tiba di rumah sang Mama. Kelana langsung turun dari mobil dan berlari menuju pintu utama sedangkan Deni di sana hanya berjalan dengan perlahan masuk ke rumah orang tuannya. Semenjak menikah, dia dengan Gea sepakat untuk tinggal bersama dengan Kelana dan pindah rumah. Dia juga yang tidak mau jika urusan rumah tangganya dengan Gea terlalu diikut campuri nanti. Apalagi mereka yang menunda ingin punya keturunan. Takut jika Mamanya menyentil atau menyakiti hati Gea. Deni hanya ingin statusnya berubah terlebih dahulu. Tidak ingin terlalu buru-buru. Setelah ini juga pasti akan ditanya 'kapan nambah anak lagi?' itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah berhenti. "Nenek," panggil Kelana saat masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan mamanya Deni. Pria itu membawa makan siang Kelana yang dimasak oleh Gea tadi. Padahal Deni tahu kalau mamanya sudah pasti memasak. Tapi karena Kelana ingin membawa bekal sendiri dari rumah. Sampai pada akhirnya mereka terlambat untuk mengantarkan Kelana terlebih dahulu dan justru mengantarkan Gea. Mamanya yang berada di halaman belakang menyirami bunga kemudian langsung mematikan air keran dan menggendong Kelana. "Cucu Nenek udah datang aja," kata mamanya lalu dia bersalaman kepada mamanya. "Ma, apa kabar? Papa udah ke kantor?" Mamanya mengusap bahu Deni. "Kabar Mama baik. Kalian beriga baik-baik aja?" Deni mengangguk pelan. "Baik juga, Ma," "Gea mana?" Ia menarik napasnya. "Gea lagi ada tugas kuliah, Ma. Jadi dia ngerjain di rumah orang tuanya. Aku barusan udah anterin. Nanti sih katanya bakalan langsung pulang kalau udah selesai," "Oh ya udah, nggak apa-apa. Kamu udah sarapan?" "Sudah kok, Ma," Mamanya mengajak dia menuju ruang tamu sambil menggendong Kelana. "Kelana, taruh tasnya di dalam kamar ya!" suruh Deni kepada keponakannya itu. Kelana turun dari gendongan mamanya Deni lalu pergi ke kamarnya. "Gimana sama Gea? Dia bisa sayang sama Kelana? Mama jarang lihat dia ke sini. Tapi waktu Mama ke rumah sakit jiwa, dia yang sering kunjungi kakak kamu. Kadang dia yang mandiin," Deni menunduk dan tersenyum dengan tenang. "Perihal Kelana, aku nggak ragu sama dia, Ma. Karena Gea baik banget ngurusinnya. Sesibuk apa pun dia, bahkan dia rela begadang ngerjain tugasnya kalau Kelana pengin main dulu," "Kebutuhan kamu terpenuhi?" "Terpenuhi kok, Ma. Semua pekerjaan rumah dia kerjain sendiri. Kecuali ngasuh Kelana saat dia kuliah. Kalau di rumah, dia nemenin Kelana sampai Kelana tidur. Kadang tidur bertiga," Mamanya menggeleng, "Maksud Mama, bagaimana hubungan kalian dalam hal suami istri... maksud Mama ya kebutuhan biologis kamu, apa tersalurkan? Mau sesibuk apa pun, harus luangkan waktu. Jangan sampai karena kejadian itu bisa buat kalian nggak betah satu sama lain. Hubungan intim bukan cuman muasin nafsu, tapi itu juga buat hubungan rumah tangga kalian semakin kuat," Deni mengerti kali. Tapi, dia belum apa-apa dengan Gea. "Aku belum pernah lakuin itu sama Gea, Ma," Mamanya terlihat terkejut dengan pengakuan Deni. "Kenapa? Gea nggak mau? Atau kamu ang nggak punya nafsu?" Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Bukan begitu, Ma. Tapi kami memang masih butuh pengenalan satu sama lain. Mama tahu sendiri kalau aku sama Gea singkat banget kenalannya. Aku ajak dia nikah karena nggak enak sama orang tuanya dan juga niat aku sudah mantap sama dia. Lagipula nggak selalu urusan itu kan, Ma?" "Deni, kamu pria. Kamu sudah menikah, kamu punya istri. Kamu punya hak untuk lakukann itu. Cuman Mama nggak mau kamu jajan diluar, maksud Mama kamu cari perempuan lain jadi pelampiasan nafsu kamu nanti. Mama selalu do'ain kamu sama Gea langgeng sampai selamanya," "Aku nggak apa-apa, Ma. Cuman jangan singgung perihal anak di depan Gea aja, Ma. Aku nggak mau dia sedih," dia memberikan pengertian kepada mamanya. Karena keduanya sudah sepakat menunda keturunan. Mamanya tersenyum dan mengangguk pelan, "Ya, Mama nggak bakalan singgung kok. Satu yang Mama pesan, jangan buat semuanya menjadi rumit. Akan ada banyak masalah yang akan kalian berdua hadapi, Mama yakin kamu sama Gea bisa lalui. Apalagi Gea masih muda, kamu harus didik dia. Jangan mengambil keputusan sepihak jika kalian bertengkar, mengalah nggak apa-apa walaupun kamu benar. Karena Mama bersyukur saat Gea rawat Kelana dan kakak kamu sangat baik. Walaupun dia jarang banget pulang ke sini," Kelana turun dari kamarnya dengan sangat hati-hati melewati tangga sambil berpegangan pada pegangan tangga. "Ya udah, Ma. Aku berangkat ya, aku ada meeting sebentar kok. Kayaknya Gea pulang siang atau sore deh. Soalnya tugas yang lain dikerjain di kampus sih tadi dia bilang," "Oh ya udah kalau begitu, kamu hati-hati ya!" Kata mamanya, Kelana menghampiri Deni. "Ayah mau berangkat?" Deni mengelus kepala keponakannya. "Iya, Ayah mau berangkat kerja dulu. Nanti kalau Mama pulang pasti bakalan main sama Kelana," "Oh gitu, Ayah hati-hati ya!" kata Kelana lalu dia berangkat untuk meeting. Ia telah memiliki janji dengan beberapa klien dan meeting mengenai proyek yang akan dikerjakan nantinya. Sampai malam dia mengerjakan beberapa permintaan kliennya bersama dengan beberapa anak buahnya. Semua konsep dia kerjakan hari itu juga. Jam sudah menunjukkan puku delapan malam. Dia memilih untuk pulang karena pasti istri dan juga keponakannya sudah menunggud di rumah. Dia telah makan malam tadi bersama anak buahnya dan merasa sangat kelelehan. Hari yang harusnya dia bisa istirahat. Tapi justru bekerja karena permintaan kliennya harus dia ikuti. Ketika dia melewati sebuah kelab malam, Deni melihat beberapa temank kampusnya. Di sana juga nampak ada Daffa dan juga Rangga dan beberapa perempuan yang tidak malu untuk berciuman saat mereka hendak pulang. Ini adalah teman-teman yang disebutkan oleh Gea tadi bahwa dia akan mengerjakan tugasnya di rumah. Dia juga mencoba menghubungi Gea sedari sore tapi tidak dijawab. Dibandingkan menanyakan teman-teman istrinya yang sedang mabuk itu, lebih baik dia pulang untuk mencari tahu. Tapi ini semua persis, dan juga ada seorang wanita yang masuk ke dalam mobil. Itu sama seperti penampilannya Gea. Tapi ia tidak bisa mengejar karena perempuan itu sangat jauh dari tempatnya sekarang. Ditambah lagi karena macet. Dia mencoba menghubungi lagi, tapi tidak ada jawaban. Perasaannya benar-benar kesal dengan kelakuan istrinya yang katanya akan mengerjakan tugas tapi justru ke kelab bersama dengan teman-temannya. Sampai di rumah, "Gea mana?" Dia yang terlihat kesal begitu langsung bertanya demikian. "Gea lagi beliin Kelana macaroon, kenapa?" Deni menggeleng, "Ya udah, aku mandi dulu. Aku udah makan kok, Ma," Benar bahwa yang tadi dilihat itu adalah istrinya. Dia selesai mandi dan mengganti pakainnya, istrinya masuk dengan ekspresi yang begitu bahagia. "Belajar bohong, dan sepertinya aku udah salah menilai kamu. Aku pikir kamu beda dari yang lainnya. Masa muda kamu memang nggak puas ya. Seandainya kamu bilang kamu nggak siap nikah nggak apa-apa, aku capek kerja. Tapi kamu malah keluyuran? Kamu jadikan Kelana sebagai alasan kamu untuk bohong," "Bohong? Aku bohong gimana?" Karena dia dalam keadaan sangat lelah. Ditambah lagi dengan cara Gea yang sudah membohonginya, dia kesal setengah mati dengan istrinya. "Kamu masih senang bergaul sama teman-teman kamu itu?" "Teman-teman yang mana?" "Pura-pura nggak tahu lagi sekarang ya. Hebat banget kamu, Gea," "Aku nggak ngerti yang kamu maksud," "Kamu ngapain ke kelab sama teman-teman kamu? Kamu mau ngerusak diri kamu? Sadar diri Gea! Kamu punya suami, kamu malah senang sama cowok lain di sana," "Kamu ngomong kok ngelantur," Gea berdiri didekat pintu. Braaaaaak Deni mendorong pintu dengan sangat kasar. "Kamu ngapain pergi sama teman-teman kamu ke kelab buat mabuk-mabukan hah? Yang jelas aku lihat kamu di sana," Gea terlihat sangat terkejut dengan ucapan Deni. Apalagi sampai membanting pintu dengan sangat keras. Mereka berdua tidak pernah bertengkar sampai seperti ini sebelumnya. "Kamu ngomong apa? Aku di kelab? Aku sadar diri kok, aku punya suami. Aku keluar barusan udah izin sama Mama beliin Kelana macaroon, dia pengin makan itu," Deni tertawa sinis, "Kamu jadikan Kelana sebagai alasan untuk sikap kamu yang udah keterlaluan itu. jangan jadikan Kelana alasan, aku nggak suka. Oke, nggak apa-apa. Kamu pinter bohong sekarang, kamu bilang ngerjain tugas. Kamu justru ke kelab," Deni bertepuk tangan kepada istrinya. Gea hendak menjelaskan, tapi dia meletakkan telunjuknya di depan bibir Gea. "Aku nggak butuh penjelasan dari kamu, Gea. Aku nggak butuh apa yang bakalan kamu ucapin. Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri kalau kamu keluar, Gea. Cukup, nggak usah dijelasin. Kalau kamu masihi mau muda, nggak apa-apa," kata Deni. Gea menangis, "Buat apa? Aku nggak butuh air mata kamu yang busuk itu," kata Deni lalu keluar membanting pintunya. "Kamu nggak mau dengerin penjelasan aku," kata Gea yang juga meninggikkan suaranya dan menangis di dalam kamar. Dia mendengar pintu itu dikunci dari dalam. Saat dia memilih pergi keluar ke ruang tamu. Dia menemui Kelana yang sedang makan macaroon dengan mamanya Deni. Di sana juga ada papanya yang duduk sambil membaca koran. "Deni, kenapa pulang-pulang berantem sih?" "Aku lihat Gea di kelab, Ma. Teman-temannya mabuk," Mamanya menghampirinya dan membiarkan Kelana duduk diatas karpet yang ada dilantai. "Gea nggak mungkin ke kelab, Deni," "Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri, Ma," "Kapan?" "Tadi waktu aku pulang," katanya dengan kesal. "Mama jangan belain dia, aku nggak suka perempuan yang main ke kelab, dia sama teman-temannya," Papanya menarik napas panjang dan mengambil bantalan sandaran sofa, "Lain kali kalau mau bertengkar cari topik yang bagus, jangan bikin istri kamu nangis kayak gitu. papa kasihan dengar kalian bertengkar," kata papanya. "Papa lagi, kenapa belain dia," "Papa nggak belain dia, papa cuman sedih lihat kamu. Gea nggak mungkin pergi secepat kilat pakai sepeda ke kelab, dia pakai sepeda beli macaroon ke depan. Kelana yang pengin makan itu karena kebetulan ada di film yang dia tonton. Tadi sore juga dia diantar sama kakaknya dan kakak iparnya ke sini lho. Kamu kalau belum bisa jaga emosi kamu, mending kamu nggak usah nikah dulu, Deni. Papa kasihan sama Gea. Dia perginya nggak lama lho," Mamanya mengelus bahu Deni. "Sabar sayang, nggak boleh kayak gitu. mama kasihan sama Gea apalagi dia sampai nangis kayak gitu. yang kamu lihat itu pasti salah paham, dengerin dulu penjelasan dia. Mama kan sudah bilang tadi pagi kalau kamu nggak apa-apa ngalah, malah sekarang kayak gini sama istri sendiri," kata mamanya.. "Mama bilang Gea di sini terus?" "Iya, dari sore dia di sini. Dia juga yang masak, beliin Kelana makanan. Kamu seenaknya banting pintu. Pulang-pulang emosian, nggak baik tahu nggak. Kasihan istri kamu," Deni memilih untuk menenangkan emosinya dulu. "Kasihan Kelana tadi nanya kenapa kamu bentak Gea kayak gitu. Mama sengaja nggak naik karena Mama tahu kalau kalian bisa selesaikan masalah. Tapi malah kamu bentak istri kamu kayak gitu. harusnya dengerin dulu penjelasan istri kamu jangan langsung marah gitu," "Aku ke kamar dulu, Ma," pamit Deni karena tidak tahan dengan penjelasan mamanya. "Kelana cepetan bobok ya!" "Abis ini Mama ajakin tidur kok," kata mamanya. Deni ke kamar untuk meminta maaf kepada Gea mengenai kesalahpahaman itu. "Ge, buka pintunya!" Suara tetap hening. "Aku minta maaf. Aku kira itu adalah kamu. Tadi aku lewat depan kelab lihat teman-teman kamu, aku pikir kamu juga ikutan," kata Deni lagi. Saat mamanya lewat, mamanya seolah bertanya dari tatapan itu. "Pelan-pelan aja, Deni ya!" ucap mamanya yang menggendong Kelana hendak tidur. Baru beberapa menit kemudian, Gea membuka pintu dan langsung naik ke atas ranjang lagi. Dia tidak bisa terus seperti ini. Gea membelakanginnya walaupun beberapa kali dia mencoba untuk memanggil istrinya. Deni memeluk istrinya dari belakang. "Maafin aku," "Kenapa kamu bisa jadi orang keras kepala tanpa dengerin aku?" ucap Gea. "Aku belum sempat ngomong apa-apa tapi kamu malah main tuduh-tuduh segala. Aku punya perasaan, Deni. Aku ngerti punya suami, aku nggak pernah nongkrong sama teman-teman aku," isak Gea. Tapi dia tetap memeluk istrinya dengan sangat erat sambil mencium belakang kepala istrinya. "Aku capek, terus lihat teman-teman kamu mabuk cewek sama cowok. Aku kenal banget sama mereka semua," "Nggak harus nuduh kan bisa?" "Maaf, aku nggak bisa kendalikan emosi aku," kata Deni yang tanpa melepaskan istrinya. Mereka mengobrol sepanjang malam itu sampai jam menunjukkan pukul dua belas lebih. Rumah juga sudah nampak begitu sepi. Saat Deni membalikkan Gea, perempuan itu tersenyum. Ia mencium istrinya, dibalas lagi oleh Gea Sampai posisinya berubah dan kali ini berada di atas istrinya dan menurun ke leher. Sampai kemudian dia membuka kaos istrinya dan membuka kaitan bra yang digunakan oleh Gea. Ia memulai aksinya dan mencium serta menggigit p****g Gea dengan pelan. Saat dia meremas d**a Gea. Dia menatap istrinya, "Boleh?" Gea mengangguk pelan. "Kalau aku lanjut, kita nggak bakalan berhenti. Kamu yakin?" Gea menganggukan kepalanya lagi sampai Deni yakin bahwa Gea kali ini sudah siap untuk disentuhnya. Lampu juga sudah mati semenjak dia masuk ke dalam kamar. Yang ada hanyalah lampu tidur yang dibiarkan menyala. Deni juga membuka kaosnya dan juga celananya dan terisa boxer berwarna abu-abu. dia mencium kening Gea, menurun lagi ke leher sampai dia mengecup leher istrinya. Terdengar juga suara desahan Gea saat dia mencium dan meremas d**a istrinya. Ia menurunkan celana kain yang digunakan oleh Gea dan juga celana dalam istrinya. Dia tidak pernah melihat ini sebelumnya. Jangankan Gea, dia juga jauh lebih gugup untuk hal ini. dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Mencium d**a Gea juga baru sekali dilakukan oleh Deni. Itu sudah terjadi beberapa waktu lalu ketika dia dan Gea bercanda perihal itu. tapi justru keterusan dan tidak berani lanjut lagi. Gea terlihat sedikit gugup saat dia hendak menyatukan milik mereka. "Haaah," desah Deni saat dia mencoba menyatukan mereka. "Pelan-pelan, sayang!" Deni tahu kalau istrinya masih perawan, maka dari itu dia harus hati-hati saat membuat Gea nyaman dengannya. "Aaaaakkkhhh," Gea menggeliat dan memegang sprei saat mereka berdua telah menyatu sempurna. Deni tahu kalau dia bergerak Gea akan sangat kesakitan. Maka dari itu dia harus berhenti sejenak membiarkan miliknya juga terbiasa di sana. Dia menciumi pipi, kening dan meremas d**a Gea. "Aku pelan-pelan,"kata Deni saat dia mulai bergerak dan menaruh tangan kiri dan kanan disebelah Gea. Dia menjadikan posisi Gea berada dibawahnya. Gea mendesah sambil menggigit bibir bawahnya. Ia masih belum berhenti melakukannya, "Kapan udahannya sayang? Sakit," rengek Gea. Deni benar-benar merasa kasihan dengan istrinya. Tapi ini semua belum selesai. Dia juga mencoba berganti posisi. Sampai pada akhirnya ia menjadikan Gea berada dibawahnya lagi ke posisi semula karena merasa akan keluar. "Aaah, Deni, pelan sayang!" Gea mencoba menjauhkan Deni dengan cara mendorng pria itu sedikit menjauh. Tapi Deni tetap melanjutkan aktivitasnya sampai ia merasa sangat bahagia saat pelepasan pertamanya. Bahagia juga bahwa dia adalah orang pertama bagi Gea dan istrinya sangat pandai menjaga kehormatannya. "Makasih sayang," ucapnya kepada Gea lalu mencium kening istrinya. Beberapa lama kemudian dia mencabut miliknya dari penyatuan mereka dan memeluk Gea. "Ayo tidur sayang," kata Deni berpelukan dan Gea juga membalas pelukannya. "Jangan main tuduh-tuduhan lagi ya!" Deni mengelus punggung istrinya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya bersama sang istri. Keesokan paginya. "Ma, yang dua ini masih berantem kayaknya, makanya nggak keluar kamar," Mama Deni begitu khawatir saat mereka masih bertengkar karena belum juga keluar sampai sekarang ini. mengingat pertengkaran mereka juga bukan hal main-main saat Deni membanting pintu dengan keras semalam. Mamanya berinisiatif untuk ke kamar keduanya. Takut jika pertengkaran itu berlarut-larut. "Deni, Gea, ayo bangun sarapan dulu, Nak!" panggil mamanya. Tapi tak ada jawaban. Kemudian ia membuka pintu kamar dan tidak terkunci. "Astaga," kata mamanya saat melihat keduanya berpelukan dengan pakaian berserakan di lantai. Mamanya segera menutup pintu lagi, "Akhirnya ngerasain juga kalian berdua," katanya lalu turun lagi. "Lho, kok nggak dibangunin?" "Udah, Pa biarin aja," "Papa yang bangunin deh. Kasihan mereka berantem," Mamanya menggeleng, kemudian berdiri dan membisikkan papanya Deni. "Mereka berdua malam pertama semalam, Pa. kemarin Deni cerita kalau dia belum ngapa-ngapain sama Gea. Tapi barusan Mama lihat mereka kayaknya beneran ngelakuinnya," Mamanya terkekeh. "Ya ampun, bisa tahan juga tuh anak. kita dulu nikah, malamnya langsung sikat, Ma," "Nah iya. Tapi jangan diledek kalau mereka turun nanti, Pa. kasihan sih udah pada nahan gitu," kata mamanya," Sedangkan di dalam kamar, Deni terbangun terlebih dahulu. Gea bergerak pelan. "Udah pagi, sayang?" "Hmmm, ayo mandi sekarang. Kita telat bangun kayaknya," Gea bangun dari tempat tidurnya dan meringis kesakitan. "Sakit sayang," rengek Gea. Deni tersenyum, "Nggak apa-apa, nanti juga biasa kok. Kamu mandi duluan atau bareng?" godanya pagi-pagi kepada istrinya. "Aku mandi duluan," kata Gea. "Kamu hadap lain!" "Semalam mendesah, sekarang suruh mengalihkan pandangan," kata Deni mendumel. Gea pergi dari sana dan masuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan Deni memasang jubah mandinya menunggu Gea selesai mandi. Saat dia baru selesai mengikat tali jubahnya. "Ya Tuhan," kata Deni mendekati pintu lalu ia sadar pintunya tidak dikunci semalaman. Deni mengacak rambutnya, "Kalau Mama masuk gimana? Dia biasa manggil kalau sarapan," kata Deni lalu dia mencari keberadaan mamanya. Mamanya ada di dapur membuat kopi. "Duh, ini anak udah keluar aja, nggak apa-apa mau lanjut tidur juga nggak masalah," Deni curiga dengan ucapan mamanya barusan. "Jangan bilang kalau Mama masuk ke kamar aku tadi?" "Pintunya nggak dikunci, Mama mau bangunin. Kamu bilang kalau kamu sama Gea belum begituan. Makanya Mama berani untuk masuk, eeleeeeh, bentar lagi gendong cucu lagi nih, Mama," Deni mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya dengan gusar. "Mama kok masuk sih?" "Mama mana tahu sih kalau kalian begituan. Semalam kan perang," "Oke, Mama jangan singgung di depan Gea," "Mama tahu kali Deni bagaimana perasaan dia," kata mamanya. Deni mengangguk pelan. "Please banget, Ma. Jangan nyindir nanti," ucapnya kemudian kembali ke kamar. Bagaimana bisa dia dengan cerobohnya lupa mengunci pintu saat tadi pagi dia melihat pakaiannya dengan Gea berserakan dilantai, bra Gea bahkan masih bergelantungan dipinggir ranjang. Dengan bercak noda darah yang ada sprei miliknya. Deni berusaha untuk tidak ketahuan karena keteledorannya tidak mengunci pintu semalam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD