ENAM BELAS

1048 Words
Follow dulu dong gays.  Di acara makan malam, rumah yang sudah dihias juga menjadi jauh lebih indah karena proses lamaran yang akan berjalan dengan sangat baik nantinya. Deni yang tak kalah gugupnya, bagaimana tidak? Yang dia lamar adalah mahasiswinya sendiri untuk menjadi istrinya. Bahkan, mahasiswinya itu belum lulus kuliah. Gea keluar dengan dress berwarna gold ditambah dengan riasan yang baru pertama kali dilihatnya berdandan seperti itu. 'Cantik' gumamnya dalam hati saat melihat gadis yang berjalan mendekati mereka yang ada di ruang tamu. Raut wajahnya sedikit tersipu, tapi Deni senang melihat itu. Ketika dia tersenyum, Gea juga membalas senyumannya. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri untuk memuji kecantikan Gea. Sayangnya di sana ada orang tua yang menyaksikan mereka. Gea kemudian memilih duduk di dekat Kelana yang saat itu tersenyum ke arahnya. "Tante cantik," puji Kelana yang kemudian Gea mengusap kepala bocah itu. "Terima kasih sayangnya Tante. Kelana juga cantik banget malam ini," puji Gea juga. Sesaat kemudian mereka berbincang, "Jadi gimana? Mau langsung nikah atau gimana?" Tanya papanya Gea. "Langsung aja, Om, Tante," jawab Deni dengan antusias. Saat itu papanya menyenggol perutnya, "Kamu kelihatan nggak tahan, Den," "Cantik, Pa. Jadi nggak mau nunda," kata Deni dengan penuh semangat. "Gea, kamu yakin mau menikah?" "Kamu juga yakin, Deni?" Sambung Reno saat tadi mamanya Gea bertanya demikian. Deni sudah yakin dengan pilihan hatinya. Begitu juga saat dia memutuskan untuk mengajak Gea menikah. Ditambah lagi dengan dukungan dari kedua orang tua yang mendukungnya menikah dengan Gea. Mengingat bahwa Kelana juga sangat ingin berada di sisi Gea setiap saat. Tak bisa dipungkiri bahwa saat dia bertemu dengan Gea, ada perasaan yang jauh lebih baik dia rasakan. Ada kehangatan yang teramat sulit dijelaskan. Jika di kelas mereka bisa saling mengabaikan. Berbeda halnya dengan cerita mereka saat mereka berada di luar kampus. Deni juga yang selalu bisa mengimbangi dirinya untuk tidak terlalu memamerkan hubungannya dengan Gea saat berada di kampus. Mereka masih bisa seperti dosen dan mahasiswi di sana. Deni juga akan menyalahkan Gea jika salah. Tak ingin membeda-bedakan karena dia sadar jika di kampus Gea adalah mahasiswinya. Jika di luar, Gea adalah kekasihnya. Namun, baru kali ini dia melihat penampilan Gea yang terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan biasanya. Gea yang memang tak pernah berdandan berlebihan. Tapi tidak dengan sekarang ini bahwa gadis itu terlihat sangat menawan. Senyuman simpul tercipta saat tatapan mereka bertemu. "Ya udah, kan nggak ada yang perlu di basa-basiin lagi. Kamu juga bawa cincin untuk lamaran kamu kan? Kamu pasangin tuh ke calon kamu! Kemarin kamu ngotot ajak Papa sama Mama lamarin kamu calon bini," kata mamanya yang seketika raut wajah Deni berubah seperti kepiting rebus menahan malu. Ia akui bahwa dirinya memang sampai merengek meminta kepada orang tuanya mengenai lamaran yang begitu ingin dia lakukan untuk Gea. Baru sekarang orang tuanya setuju dengan permintaan Deni. Deni berdiri mengajak Gea ke tempat di mana sudah disediakan. Yaitu di depan ruang tamu dengan gorden yang sudah dihias sedemikian rupa untuk yang sedang ditunggu-tunggu. "Cium dong!" Kata Reno yang semakin memanasi suasana yang sekarang ini. Sedangkan Gea memandangi Deni mengartikan bahwa gadis itu tidak setuju. "Ge," "Jangan ya! Please," pinta Gea kepada Deni yang kemudian dibalas dengan senyuman oleh pria itu. Mereka berdua kembali duduk ke tempat semula. Satu jam berikutnya, Kelana minta untuk pulang karena sudah mengantuk dan jam tidur untuknya memang sudah sangat lewat. "Den, ikut pulang?" Kata sang mama. Deni menoleh, "Mama duluan aja sama Papa. Mungkin aku belakangan," "Ya sudah, asal jangan nginap kamu ya!" Kata papanya menimpali. Deni justru tersenyum mendengar ucapan sang papa yang berkata demikian. Kali ini mereka berada di halaman belakang rumahnya Gea. Awalnya Deni ingin pulang juga tapi Gea menggeleng saat dia berpamitan. Barangkali ada yang ingin dibicarakan oleh Gea. "Seperti yang aku bilang, kalau aku nggak mau ketahuan sama yang lainnya," kata Gea saat duduk di kursi belakang rumah berdua. "Kamu tenang saja. Kita menikah diam-diam kok. Jadi nggak bakalan bocor, saya sudah positif pergi dari kampus saat kita nikah," "Kok malah begitu?" "Kita tinggal berdua, jadi nanti takut ada yang lihat kita. Kamu nggak mau ketahuan kan," "Kelana gimana?" "Kamu kuliah, "Tapi kita juga bisa tinggal sama Kelana,"  "Kamu ngga keberatan soal itu?"  Gea menggelengkan kepalanya, Deni merasa bersyukur jika pada akhirnya Kelana bisa tinggal bersama mereka nantinya.  "Kita perlu pengasuh?"  "Tentu saja sayang, kita butuh pengaasuh buat dia. aku kuliah, dia dijaga sama pengasuhnya nanti. Tapi kalau sudah pulang beda lagi ceritanya," kata Gea yang kemudian Deni setuju dengan ucapan calon istrinya itu. "Tapi seperti yang pernah kita bahas waktu itu kalau kita harus tunda punya anak dulu sayang,"  Deni tahu bahwa Gea memang selalu memanggilnya sayang sama seperti dirinya. Tapi bedanya, Gea memang masih malu-malu untuk mengatakan hal itu. Bedanya juga, Gea yang paling menerima keberadaan Kelana dan bahkan mau tinggal bersama dengan mereka. Itu adalah alasan kuat Deni tak ingin menunda pernikahan bersama dengan Gea mengingat bahwa gadis itu memang sangat baik. Berbeda dengan gadis yang sudah pernah dikenalkan oleh mamanya. Rata-rata Kelana adalah alasan terbesar mereka untuk berpisah, yaitu karena perempuan yang dikenalkan oleh mamanya menolak untuk tinggal dengan Kelana yang katanya bukan menjadi tanggungjawab.  "Ge, kamu nggak masalah kita nikah muda? Maksud aku, usia kamu yang belum terlalu dewasa menurut kamu,"  "Selama kamu bisa mendampingi, kenapa enggak?"  Deni tersenyum yang kemudian menyatukan tangannya dengan Gea. "Cium boleh?" kata Deni yang seketika membuat Gea merona malam itu. "Nggak ada yang lihat kok, semuanya kan tertutup," kata Deni menjelaskan kepada Gea. Dia tidak pernah melihat Gea seperti ini sebelumnya, dia memang ingin mencium Gea sedari tadi, tapi Gea menolak karena alasan ada di depan orang tua.  Saat Gea menganggukkan kepalanya, Deni langsung memegang kedua pipi Gea dan mendekatkan wajahnya lalu mencium Gea dengan perlahan. Semakin dalam dan terus semakin dalam hingga membuat Deni merasa bahwa ciuman itu memang terasa penuh makna. Di akhir ciuman, Deni mencium kening Gea. "Semoga perasaan kamu nggak berubah, Gea,"  "Semoga saja, kamu juga. semoga perasaan kamu nggak berubah nantinya,"  "Aku sih, nggak bakalan berubah. Karena bisa kamu lihat sendiri kalau aku lamar dan mau nikahin kamu seminggu lagi. Jadi, setelah ini kita nggak ketemu lagi, Gea,"  "Kamu tahu alasan aku mau nikah sama kamu?" tanya Gea yang dibalas dengan gelengan Deni.  "Kenapa sayang?"  "Karena alasannya adalah kamu yang paling serius, yang paling baik dalam sayang sama aku. Jadi nggak ada alasan aku nolak kamu sayang,"  Deni tersenyum lalu mengacak rambut Gea dengan sangat senang mendengar jawaban dari calon istrinya. "Pernikahan kita sangat tertutup, jadi jangan khawatir kalau nantinya pasti bakalan ketahuan. Tapi aku berani jamin, ini nggak bakalan ketahuan kok," kata Deni meyakinkan calon istrinya yang selalu menanyakan perihal ketahuan atau tidaknya nanti mereka ketika menikah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD