Nico yang baru saja menyelesaikan ritual paginya hendak mengambil ponsel diruang kerjanya. Namun sedikit merasa aneh ketika melihat pintu yang sebelumnya tertutup sempurna saat ia melewati ruangan itu, kini sedikit terbuka. Dan ketika ia masuk kedalam, seorang wanita dengan pakaian kumuhnya berdiri didalam sana.
Oh tidak, wanita itu tersandung karpet yang sebelumnya ia geser karena kabel yang ada disebaliknya. Dan untung saja Nicho berhasil menangkapnya.
Sedikit tak suka dengan kopi yang diletakkan diatas meja kerja membuat Nico meradang. Belum lagi pakaian kumuh itu.
Ah, sudahlah. Mungkin salahnya menerima permintaan seseorang yang menyebalkan itu.
Dan saat ini, wanita itu entah sedang melakukan apa didepan pakaiannya.
“Sampai kapan aku harus seperti ini?”
Nicho yang sejak tadi memperhatikan Lili akhirnya bersuara. Hari sudah mulai siang dan sampai beberapa menit ini Nico hanya menunggu pakaian mana yang Lili pilihkan untuknya.
Bisa saja Nico memilihnya sendiri, namun mulai saat ini ia akan memberikan tugas itu pada Lili. Menguji kemampuannya sejauh mana wanita yang ada dihadapannya itu bisa menjalankan apa yang ia perintahkan.
“Eh..” Lili terkejut. Lagi-lagi dengan kehadiran Nico yang tak diketahuinya. “Ini.. yang ini cocok untuk Tuan pakai hari ini.” Lili mengambil satu buah kemeja yang sejak tadi dipegangnya dan menyerahkannya pada Nico.
“Hem.. Letakkan disana.” Nico menunjuk tempat yang ia minta dengan menggunakan dagu. “Lalu celananya, dasinya, jasnya, jam tangannya? Kau harus menyiapkan pakaianku secara lengkap! Memangnya aku hanya pakai kemeja saja?”
Lili menelan salivanya. Seperti itukah pekerjaan yang diberikan untuknya?
Tanpa menunggu instruksi lagi, Lili menyiapkan semuanya. Apa yang disebutkan oleh Nicho. Setidaknya ia pernah melihat di beberapa film kesukaannya bagaimana seharusnya seorang bos berpakaian.
Setelah semuanya selesai disiapkan, Lili mempersilahkan Nico untuk memakainya.
“Ini tugasmu. Pakaikan aku semua yang kau ambil tadi. Apa kau tidak tahu?”
Dengan polos, Lili menggelengkan kepalanya. Benar-benar tidak tahu jika ia harus bekerja seperti ini.
“Tidak tahu, Tuan.”
Terdengar helaan napas dari mulut Nicho. Asisten barunya ini benar-benar uji nyali. Sabar bukanlah sebuah hal yang bisa ia kerjakan dalam kesehariannya. Siapapun yang berniat mengabdi padanya harus bekerja dengan sempurna.
Dan Lili bukan termasuk .
“Sekarang kau sudah tahu! Kerjakan apa yang sudah ku perintahkan tadi.” Nicho berucap penuh dengan penekanan. Tujuannya agar Lili paham jika dirinya tak suka yang namanya menunggu dan tak berbuat pula memberi kesempatan Lili untuk memikirkan hal lain selain dirinya.
Lili mendekati Tuannya dengan perasaan berkecamuk. Dari nada bicaranya saja Lili bisa tahu jika pria yang ada dihadapannya ini sedang marah tanpa dirinya melihat wajah Nico.
Dengan gerakan perlahan, Lili mulai memasangkan pakaian Nico satu persatu. Ditahannya napas dari sengatan kemaskulinan sang pria tampan. Parfum dengan khas seorang Jefri Nico menusuk indera penciumannya.
Pria ini begitu gagah dibalut dengan kemeja putih yang melekat dibadannya. Sungguh pemandangan yang tak akan pernah bisa Lili lupakan meski disandingkan dengan Theo sekalipun.
Ah, baru beberapa jam bersama Tuannya itu kenapa pikiran Lili menjelajah kemana-mana? bukankah ia datang kesini untuk bekerja?
“Dasinya..” perintah Nico lagi karena gerakan Lili yang lamban.
Lili mengambil dasi pilihannya dan memberikannya pada Nico. “Tuan, maafkan saya. Saya belum terlalu mahir memasangkan dasi.”
“Ah, sudah lah.. kau ambil saja buku itu dan pelajari apa yang ada disana.”
Nicho mengambil alih benda yang Lili serahkan padanya dengan kasar, membuat Lili terkejut. Tidak Theo, tidak Nicho. Kenapa duan pria ini selalu bersikap kasar padanya?
Dipalingkannya kearah yang ditunjuk Nico dan mendapati tumpukan draft disana. Ia tak tahu pasti isi yang ada didalamnya itu apa, namun Lili bisa menebak itu adalah semua hal tentang pria dingin ini.
Baru saja Lili merasa melepaskan tangannya dari dasi yang ia serahkan pada Nico, tahunya sudah selesai saja sang mata elang memasang dasinya.
“Aku akan sarapan dikantor. Setelah ini bereskan semuanya dan pelajari apa yang aku minta. Jangan lupa, ganti pakaianmu.”
Diliriknya tubuh Lili bak melihat sesuatu yang menjijikkan. Lili saja sampai terheran, apa yang salah dengan pakaiannya. Namun yang bisa Lili lakukan adalah mengangguk patuh tanpa banyak protes.
Ia tak ingin terkena banyak masalah, tak ingin pula Nico mengadukan ini semua pada Theo yang jelas akan membuat pria itu semakin murka.
Keluar dari lubang singa, masuk kedalam lubang buaya! Serba salah.
Tanpa Lili tahu, gerak geriknya selalu diawasi semenjak Theo memutuskan untuk menyarahkan dirinya pada Nicho. Tentu saja bukan sesuatu yang bisa kau bayangkan dengan logika. Seorang suami menyerahkan istrinya pada pria lain. Sungguh gila.
Sepeninggalan Nicho, Lili langsung menghampiri draft yang mungkin saja sudah disiapkan pria itu untuknya. Atau memang sudah ada sejak dulu, untuk dipelajari oleh Asisten pribadi Nicho sebelumnya.
Lili mengamati tulisan pertama yang berisikan tentang Nico. Tebakannya memang 100% benar.
“Tidak boleh memandang mata Tuan Nicho.” Lili mulai membacanya bagian kesekian larangan yang tidak boleh ia lakukan selama berada disamping Nicho.
“Tanpa ada larangan pun aku tidak berani memandang matanya,” gumam Lili mengingat betapa mengerikannya tatapan mata Nicho.
Meski begitu, Lili tak memungkiri mata Nicho adalah sepasang mata yang mampu menghipnotis dirinya. Tatapan yang begitu mendominasi dari Nicho selalu menaklukan Lili dan membuat wanita itu mengangguk patuh atas setiap perintah yang diberikan kepadanya.
Lili benar-benar menjalankan apa yang diminta Nico. Hampir seharian ia habiskan untuk mempelajari tentang pria misterius yang baru saja ditemuinya. Ia tak perduli deringan telfon yang menunjukkan nama Theo didepan layarnya. Jika boleh, ia berharap Theo segera enyah dari muka bumi ini agar tak mengurusi kehidupannya.
Dengan sangat yakin, jika pria itu sudah mendapatkan imbalan yang sangat banyak dengan mempekerjakan Lili disini.
Sebuah ketukan terdengar dari balik ruang ganti.
“Nona Lili, saya Mia. Boleh saya masuk?” sebuah suara seorang wanita terdengar dari balik pintu.
“Silahkan.”
Seorang wanita muda masuk kedalam kamar dengan satu setel pakaian ditangannya. Diikuti dengan seorang pria yang membawakan makanan yang disiapkan untuk Lili.
“Tuan meminta saya untuk membawakan ini untuk Nona. Dan karena Nona tak kunjung keluar kamar, jadi kami bawa saja makan siang Nona kesini.”
Lili sedikit terkejut dengan perlakuan wanita muda ini padanya. Bukankah ia juga seorang pelayan disini? Kenapa diperlakukan berbeda. Tadi Billy juga bersikap sama. Sebenarnya ada apa ini?
“Nona.. Saya bantu pasangkan ya?!”
Ucapan Mia menyadarkan lamunan Lili. Dan langsung dijawab dengan gelengan yang kuat. “Aku akan memakainya sendiri ,Mia. Letakkan saja disana.”
“Tapi Nona, saya harus memastikan Nona memakai pakaian ini.” Mia menatap pakaian yang ada dalam genggamannya kemudian beralih pada Lili dengan tatapan memohon.
Tak kuasa melihat Mia yang memohon padanya, Lili mengangguk pelan. Meski seribu pertanyaan mulai menggantung dalam benaknya, akhirnya Lili berkata, “Baiklah. Tunggu disini, aku akan mengganti pakaianku sekarang.”
Lili berjalan menuju kamar mandi setelah dirinya menerima pakaian yang harus ia kenakan. Segera Lili kenakan pakaian tersebut dan keluar dengan perlahan.
“Kamu yakin aku harus mengenakan pakaian ini?” Lili menatap tubuhnya sendiri. Kini kemeja pas badan serta rok mini membalut tubuhnya. Rasanya tidak nyaman sekali.
“Benar, Nona.”
“Tapi aku tidak nyaman.”
“Tuan memintaku untuk menyiapkan pakaian ini tadi. Oya, Nona bisa ikut denganku sebentar?” Tanpa menunggu jawaban Lili, Mia langsung menarik tangan wanita itu. Keluar dari kamar Nicho menuju sebuah ruangan yang berada disebelahnya.
“Kamar ini disiapkan untuk Nona Lili. Semua barang yang Nona butuhkan ada disana.”
Tanpa sadar, Lili bergerak mendekati lemari dan meja rias yang ada disebelah meja rias. Ia bisa melihat pakaian yang tersusun rapi ketika pintu lemarinya terbuka. Diatas meja rias pun terdapat banyak peralatan make up yang pastinya tidak mungkin disentuh oleh Lili karena memang selama ini dirinya tidak pernah memakai semua itu.
“Ini untukku?” tanya Lili, masih tak percaya dengan semua yang dilihatnya.
“Iya, Nona.”
“Tapi aku tidak tinggal disini, Mia. Dan aku tidak membutuhkan semua ini.”
“Tapi semua yang bekerja dengan Tuan Nicho memang harus tinggal disini, Nona. Apalagi Nona Lili adalah asisten pribadi Tuan Nico. Harus siap melayaninya 24 jam.”
Jawaban Mia membuat kepala Lili pusing seketika. Ia tak tahu jika bertemu dengan Nicho akan membuat harinya semakin rumit.
To Be Continue..