Bab 4

1106 Words
Sepeninggalan Mia, Lili masih terdiam diruangan yang memang disiapkan untuknya. Satu tangannya terlipat didada dan tangan yang lain memijat dahinya yang mulai terasa pusing. Apakah Theo tahu semua ini? Jika iya, Lili tak perlu pusing untuk memikirkan alasan selanjutnya. Tapi jika tidak, ini akan jadi masalah besar. Lelaki itu pasti akan mengamuk karena tak mendapati dirinya ada dirumah. Semakin dipikirkan, Lili selalu menemukan jalan buntu. Tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, Lili lebih memilih untuk mendekati makanan yang sudah disiapkan oleh Mia untuknya. Lili pun berpesan untuk tak mengantarkan makanan lagi kekamarnya. Biar ia yang menyiapkan makanannya sendiri. Untungnya untuk yang satu ini Mia menurut dan tak memaksa lagi. Tak membutuhkan waktu lama Lili sudah selesai melahap habis semua makanannya. Perempuan itu berpikir ia harus punya energi yang banyak untuk menghadapi Nico yang menurutnya banyak tingkah. Baru saja dirinya bekerja sudah diperintah ini dan itu. Wajar jika tidak tahu, namanya juga anak baru, tapi sepertinya Nico bukanlah orang yang bisa dengan mudah menerima kesalahan orang lain. Meski tak marah secara langsung, tapi semua orang tahu jika hanya dengan tatapannya saja Nico bisa membunuh. Lili bukanlah orang yang terbiasa dengan kemewahan dalam hidupnya. Jika menginginkan sesuatu maka harus berusaha. Risih hanya diam memandang piring kotor sisa makannya tadi, Mila berdiri dan membereskan semua yang ada disana. Dengan perlahan, Lili membawa sisa makannya tadi keluar dari kamar. Sungguh, pakaian itu tak membuatnya merasa nyaman. Selain berhati-hati membawa piring agar tidak terjatuh, Lili juga harus berhati-hati dalam melangkah agar tidak terjatuh mengingat rok yang ia kenakan sangat ketat. “Nona Lili, tinggalkan saja piring kotornya dikamar. Biar saya yang membereskannya.” Mia segera berlari menghampiri Lili yang sedang menuruni tangga dengan tangan membawa nampan berisi piring bekas makannya tadi. Gadis itu mengerucutkan bibirnya sambil mengomel dengan volume suara yang sangat rendah tetapi masih bisa didengar dengan baik oleh Lili. “Ah, tak apa.” Lili berucap dengan suara terdengar nyaring. Meski melihat Mia berlari menghampirinya, namun Lili tetap saja merasa terkejut saat gadis itu ada dihadapannya dan langsung mengambil nampan dari tangannya. Terlihat gerakan kepala kekiri dan kekanan. Mia tak berkenan jika Lili membuatnya terkena masalah dengan mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya. “Jangan! Tuan akan marah pada saya jika saya tidak melaksanakan perintahnya,” tukas Mia sembari berjalan menuju dapur dan meletakkan piring kotor ke pantri cucian piring. Lili yang mengikuti Mia merasa penasaran. Dahi mungilnya tertaut saking herannya dengan ucapan Mia. “Memangnya apa yang tuan tugaskan padamu, Mia?” Pertanyaan itu dilontarkan dengan berbisik. Sempat pula Lili mengamati seseorang disekitar mereka supaya tidak didengar oleh orang lain. “Memangnya tugas Nona Lili apa?” Bukan menjawab pertanyaan Lili, Mia justru membalikan pertanyaan itu pada Lili tanpa mengalihkan pandangannya dari piring yang tengah dibilasnya. “Membantu Tuan Nico,” jawab Lili tak yakin. Wanita itu kembali berpikir dan mengkaji ulang jawabannya sendiri. Benarkah ia disini membantu Nico, atau hanya dijadikan alat bayar oleh Theo yang kalah dalam berjudi. Ya, Lili akan selalu menjadi w************n yang akan diperjual belikan semau Theo. Jahat sekali lelaki itu sampai melakukan hal tersebut padanya. Semakin dipikirkan semakin membuat Lili pusing. Tentang Theo yang tak pernah habis-habisnya membuat dirinya sengsara dan Nico yang begitu misterius. “Sama, saya juga.” Mia mengeringkan tangannya setelah membilas piring terakhir kemudian menatap Lili lembut. “Saya membantu Nona supaya pekerjaan Nona tidak terhambat.” Senyuman gadis dengan porsi tubuh lebih besar dari Lili ini terlihat tersenyum hangat. Mia benar. Mereka disini bertugas untuk membantu Nico. Hanya saja posisi Mia berada dibagian dapur, menyiapkan makanan dan segala t***k bengeknya. Sedangkan Lili mengurusi secara pribadi keperluan Nico. Setidaknya Lili selangkah lebih dekat dengan Nico dari pada Mia. Seharusnya pula Lili yang tahu bagai mana harus bersikap dengan tuannya itu. Lili mengangguk. Apa yang diucapkan Mia sepenuhnya terserap oleh Lili. “Jadi setelah ini, apa yang harus aku lakukan? Maaf ya kalau aku banyak bertanya padamu.” Lili takut jika dirinya mengganggu Mia dan ia tak ingin Mia menjadi merasa terbenani. Lagi-lagi Lili dapat melihat senyuman manis dibibir Mia. “Wajar saja Nona banyak tanya, dan memang seharusnya seperti itu. Saya lebih senang Nona Lili yang banyak tanya. Jujur saja saya bingung memulainya dari mana kalau Nona Lili hanya diam saja," kata Mia jujur. “Nona harus pelajari dulu seperti apa Tuan Nico. Mulai dari makanan apa yang paling tuan sukai, menyiapkan pakaian sesuai dengan moodnya, hmmm... Apa lagi ya?” Diketukkan jari telunjuknya ke dagu oleh Mia. Matanya menatap kelangit-langit dapur. Berpikir kira-kira apalagi yang bisa ia beritahu pada Lili. “Ah, ya... Nona Lili harus bisa mengembalikan mood tuan Nico jika sedang tidak baik-baik saja.” Jari telunjuk Mia terulur keatas saat menemukan hal-hal yang bisa membantu Lili dalam proses belajarnya. “Bagaimana caranya?” tanya Lili dengan dahi berkerut. Jangankan menjaga mood orang lain, mengatur moodnya yang sering jatuh terjun kedasar jurang yang paling dalam Dengan tak merasa bersalah, Mia menggelengkan kepala. Deretan gigi putihnya turut terlihat saat Mia tersenyum. “Nah, itu yang harus Nona Lili cari tahu. Karena saya pun tidak tahu jawabannya.” “Baiklah kalau begitu. Aku akan mempelajari siapa Tuan Nico sebenarnya dan melaksanakan seperti yang beliau inginkan," Ucap Lili pada akhirnya. Ia perlu pergi dari sana dan tak mengganggu Mia terus agar pekerjaan gadis itu juga bisa selesai. “Betul, Nona Lili harus semangat menghadapi Tuan Nico. Saya yakin Nona bisa beradaptasi dengan cepat disini. Semangat ya!” Mia menggepalkan tangannya. Memberi semangat pada Lili yang membalas tindakan konyolnya. Setelah Lili melihat tak ada lagi yang perlu dikerjakan, ia undur diri dari hadapan Mia dan menuju lantai atas dimana kamar yang disediakan khusus untuknya berada. Ditekannya handle pintu berwarna putih itu dengan perlahan. Kemudian menutupnya dengan cat berwarna putih itu. Disapunya sekitaran kamar sambil berjalan sampai ditengah ruangan tepat disamping ranjangnya. Seperti yang Mia ucapkan tadi jika dirinya pasti bisa dengan cepat beradaptasi dan menikmati apa yang sudah digariskan padanya. Untuk apa terus di pikirkan, tidak akan membuat beban Mia semakin bertambah dan ia tak ingin Mia mendapat hukuman karena dinilai tak becus menjalankan tugasnya. Diraih Lili kertas-kertas yang menumpuk. Kata lelaki itu Lili bisa mempelajari semua hal tentangnya. Seperti niat sekali menulis tentang data pribadinya sebanyak ini. Narsis juga kelihatannya. Lili membuka lembar demi lembar data diri Nico yang tertulis rapi. Menggarisi setiap kalimat atau kata yang ia menurutnya kurang dipahami. Nanti ia akan kembali bertanya pada Mia jika gadis itu datang padanya. Saking asyiknya mempelajari dengan siapa ia harus bekerja saat ini, Lili sampai tak sadar jika pintu kamarnya terbuka. Suara panthopel teredam karpet mulai memasuki ruangan serba putih itu. Dan mengamati wajah cantik Lili yang untuk pertama kalinya bisa membuatnya tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD