Lili tak sadar jika hari sudah begitu larut. Namun wanita itu begitu bersemangat dengan file diri Nico yang sedang ia baca. Sampai tak menyadari jika ada seseorang yang membuka pintu rahasia yang menghubungan antara kamarnya dengan kamar lain.
Lelaki itu berjalan dengan pelan. Bahkan langkahnya teredam oleh karpet hingga tak menimbulkan suara yang tidak begitu berarti. Nico yang melihat punggung mungil Lili tak kuasa menahan hasratnya untuk memeluk wanita itu dari belakang.
Merasakan ada sesuatu melingkar dipinggangnya. Lili berjengit dan hendak berteriak. Tapi Nico segera membungkamnya dengan mulut agar tak terjadi kegaduhan.
“Ssstttt...”
Dada Lili sesak seketika. Nico memeluknya. Lengan kekar itu seperti meremas otot perut yang ia lingkari. Dari kaca yang ada dihadapannya, Lili bisa melihat pantulan dirinya dengan Nico yang begitu intens. Menempel satu sama lain. Membuat Lili merasa tak nyaman dan ingin segera melepaskan diri.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan, Tuan?” tanya Lili terbata-bata. Buku-buku jarinya semakin memucat karena terlalu erat menggenggam.
Ia semakin penasaran dengan tujuan Nico membawanya kemari. Sebab sampai detik ini tak ada tulisan yang menyatakan keanehan sikap Nico padanya. Minimal memperlakukannya dengan baik selama mereka bersama.
Nico mendengus samar. Tangannya mengusap perut rata Lili dan mengenduri leher yang tepat berada didepan hidungnya.. Itu bukanlah hal yang pertama yang terlalu berrati, namun Nico patut waspada dengan usaha Lili yang tak kenal kata menyerah. “Aku ingin kamu patuh padaku. Itu saja.”
Keraguan masih tampak dimanik mata Lili. Didalam hatinya bertanya apakah setelah ini akan ada bahagia? Atau Nico semakin membawanya ke neraka?
Hembusan napas kasar keluar dari bibir ranum milik Lili. Meski ini adalah bukan hal yang mendesak tapi Lili tahu Nico akan terus merongrong kehidupannya jika tak langsung diselesaikan saat ini juga.
Dengan mencoba meyakini kelak ia akan bahagia dan demi kebahagiaannya, akhirnya Lili sudah memutuskan. Walapun ini adalah sebuah keputusan yang sangat sulit, tapi Lili harus menjalaninya. Menjadi pelayan seorang Nico meski masih menjadi istri seorang Theo. Pilihan yang cukup berat sebenarnya.
Lili menatap Nico dengan perasaan yang berkecamuk. Ia menganggukkan kepalanya disertai dengan mata yang terpejam saat menjawab hal yang sejak kemarin menggelayut dikepalanya. “Baik,” ujarnya tegas. “saya akan menjadi pelayan Tuan yang paling baik, yang paling setia. Saya tidak akan mengkhianati Tuan ataupun meninggalkan Tuan.”
Puas dengan jawaban Lili membuat Nico menganggukkan kepalanya. Senyuman tak lepas dari bibirnya karena rencananya berjalan dengan sempurna. “Aku tidak akan menyulitkanmu selama kamu patuh padaku dan memenuhi semua keinginanku, semua akan aman ditanganku.”
Nico berdiri dan mengambil kertas yang ada ditangan Lili. Wajahnya benar-benar mendekat pada wajah wanita itu untuk menggoda. “Terima kasih atas kerjasamanya, nona. Mari kita tidur.” Nico menyeringai, Kemudian melewati Lili menuju lemari. Nico melepaskan jasnya dan berjalan menuju ranjang.
Wanita itu bisa merasakan wangi woody dari tubuh Nico walau hanya melewatinya. ‘Kenapa seperti tidak asing?'
Miko tidur diatas ranjang Lili tanpa perduli wajah protes wanita itu. Lili tahu tugas seorang pelayan adalah patuh. Tapi Lili tidak yakin bisa menyanggupi masalah lain apalagi yang berurusan dengan ranjang.
Nico berdiam diri ditempatnya melihati aksi Lili yang masih berdiri dan memejamkan mata. Ia terpana dengan kecantikan pelayannya itu. Nico tidak mengucapkan sepatah katapun. Saat ini, ia sedang menahan hasratnya untuk tidak menabrak tubuh Lili lagi dan melumat habis bibir mungil itu.
Minuman alkohol yang sebelumnya sempat ia konsumsi bersemangat dengan teman- temannya, setidaknya membawa efek tersendiri bagi pikirannya.
Mata Lili terbuka dan bertatapan langsung dengan Nico. Ia terdiam sejenak melihat Nico yang tak bergeming ditempatnya. Ia tahu apa yang diinginkan Nico, tapi tentu saja enggan memberikannya.
“Apakah tuan akan tidur disana?” tanya Lili diam-diam. Matanya melirik kearah Miko yang masih menatapnya.
Melihat Lili yang tak bereaksi ditempatnya membuat Nico gemas dan mendekati wanita itu lagi dengan langkah mantap. Dipegangnya pipi Lili dan ditariknya sedikit kasar mendekat kewajahnya. “Jadilah pelayanku yang penurut, Lili. Aku tidak akan menyakitimu!"
Demi apapun saat ini Lili terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. Tangannya secara refleks menyentuh d**a bidang nan padat milik Nico. Nafas Lili tidak lagi beraturan. Wajah Lili begitu dekat dengan wajah Nico membuatnya bisa merasakan setiap hembusan nafas Nico.
Dari sini Lili dapat melihat betapa tampan lelaki dihadapannya itu. Matanya yang tajam, garis rahang yang tegas, bibir kemerahan, disekitar rahang tumbuh rambut yang membuat lelaki dihadapannya ini terlihat semakin sexy dan berkharisma. Tatapan mata mereka saling mengunci.
Hingga suara panggilan telepon membuyarkan segalanya.
Mata Lili mulai mengerjap. Sepertinya sudah kembali dari lamunan singkatnya. Kemudian menarik tangannya dari d**a bidang pria itu.
Nico pun mundur dan mencari Handponenya. Terpampang nama salah seorang teman menghubunginya ditengah suara yang begitu memekakan telinga.“Ya.” sapa Nico.
“Maaf jika menggangumu. Aku hanya memastikan apakah kau pulang dengan selamat? Apa kau baik-baik saja? Apa pilnya berjalan dengan baik?” Suara khas bariton itu menyapa indera pendengaran Nico. Ia menggeleng sejenak meski orang diseberang sana tak melihatnya.
“Hmmm... Semuanya baik-baik saja dan berjalan seperti yang kau inginkan,” jawab Nico sambil melirik Lili. “Sekarang aku sedang bersama seorang wanita cantik dan aku akan membuatnya berulang kali memanggil namaku malam ini.”
“Ah, syukurlah. Tandanya kamu masih normal,” ujar lelaki itu lagi sambil tergelak. “Besok siang, datanglah kepestaku. Akan ingin melihat pasangan barumu,” pinta lelaki itu dengan penuh harap.
“Ya. Besok aku akan membawanya datang,” jawab Nico tanpa pikir panjang.
“Aku tunggu. Salam buat calon kakak ipar. Ya sudah. Selamat melanjutkan aktivitas,” ucap sang penelpon dari seberang sana sambil menahan senyum.
“Bye..”
Tuut
Sambungan telefon mati. Kemudian Nico melirik Lili lagi. “Temanku meminta kita untuk datang keacara pestanya besok.”
Lili hanya mengangguk dan segera menjauh dari Nico. Berada didekat Nico membuat Lili sesak nafas. Aura yang dimiliki Nico sanggup meluluh lantahkan kewarasannya. Lagi pula ia tak ingin berdebat lagi dengan pria yang sangat menyebalkan itu.
Saat Lili membalikkan tubuhnya, ia melihat Nico berjalan kearah ranjang dan langsung berbaring disana. “Apakah tuan ingin tidur disini? Biar saya yang pindah kalau begitu.”
Merasa terusik, mata Nico yang sudah terpejam kini terbuka lagi. “Bodoh,” jawab Nico asal dan langsung mendapat tatapan protes dari Lili. “Tentu saja aku mau tidur,” jawab Nico dingin, kemudian memejamkan matanya kembali. “Dan kamu jangan macam-macam padaku. Aku lelah.”
Baru mendengar Apa yang Nico ucapkan saja sudah membuat bulu kuduk Lili berdiri. Berulang kali ia menggelengkan kepalanya supaya menghapus jejak Nico dari dalam benaknya.
'Apa yang aku pikirkan. Jelas-jelas ia tertidur disana. Tapi, haruskah kami tidur diranjang yang sama? Tidak bisakah dia tidur disofa saja. Saat tidur nanti, bagaimana kalau dia macam-macam?’ Lili terus bergelut dengan kata hatinya sambil terus menatap sosok yang sudah terbaring dihadapannya.
“Kemarilah. Tidur disampingku.” Tangan Nico menepuk sisi kosong ranjang disampingnya untuk Lili, ia menebak apa yang sejak tadi membuat Lili diam saja. “Aku tidak akan tidur dimanapun selain diatas ranjang yang empuk ini. Dan aku juga tidak akan memintamu untuk tidur ditempat lain.” Nico seperti tahu apa yang menjadi pikiran Lili. Kini Nico membelakangi Lili yang masih melongo mendengar pernyataannya.
'Bagaimana dia bisa tahu?
Sungguh? Diperjanjian tadi ada pernyataan seperti itu?
Ya ampun, aku mulai menyesal telah mempercayainya. lelaki ini sungguh licik dan menyebalkan sekali.’
Lili berjalan mendekati ranjang dengan kaki yang berjinjit agar tak terlalu terdengar suara hentakannya. Kemudian ia menarik selimut yang sudah menutupi tubuh Nico dan masuk kedalamnya.
Ia sudah berjanji untuk menjadi pelayan Nico yang setia. Meski bertentangan dengan hati nuraninya, tapi apa boleh buat. Terlalu sibuk dengan pikirannya membuat Lili lama-kelamaan tertidur.
Tapi tidak dengan Nico. Merasakan selimut ditarik membuat sebagian tubuhnya tak ada penghangat, ia mulai merasakan kedinginan. Kemudian ia sedikit melongok kebelakang, Lili sudah tidur disana dengan wajah yang begitu lugu. ‘Wanita ini sungguh penurut. Dia benar-benar tidur disampingku.’
Kemudian Nico berbalik dan menghadap langsung kearah Lili. Nico menatap lekat wajah wanita yang sudah menjadi abdinya itu. Nafasnya sudah teratur, menandakan ia sudah tertidur pulas. 'Cchhh see.. bahkan dia sudah tertidur pulas tak perduli dengan siapa disampingnya.’
Nico menarik selimut yang membungkus tubuh Lili. Dan ia melihat tubuh sexi Lili yang masih terbalut gaun pengantinnya. Paha mulus terpampang nyata disana, serta bagian bahu yang terbuka dengan tulang selangka yang semakin membuat wanita itu semakin terlihat seksi. Belum lagi bagian buah dadanya yang hampir menyembul keluar.
Nico menelan salivanya. Ia tertegun dengan pemandangan indah yang ada dihadapannya. Sejak tadi ia tidak benar-benar memperhatikan Lili sehingga tidak tahu apa yang sudah ia lewatkan. “Pantas saja pelayan lain dirumah ini menatapmu dengan tatapan seperti ingin melahapmu. Seharusnya kamu perlihatkan ini hanya untukku,” ucap Nico lirih.
Tangannya terulur menyentuh wajah Lili yang mulai terlelap. Malam ini sengaja ia biarkan Lili lolos dari terkamannya. Tapi Nico tak akan membiarkan hal itu terjadi dilain hari. Sesuai tujuan awalnya, ia akan membuat Lili menderita.