Penghuni kamar yang baru

1525 Words
Catatan: Glosarium/Footnote ada di bagian akhir cerita. Tulisan bold sekaligus italic menandakan kata tersebut ada di Glosarium/Footnote. Contohnya: Player Januari, 2013, Rumah Tuan Taylor San Francisco, Negara bagian California, Amerika Serikat.. Aku dan Tuan Taylor terus berjalan, menapaki lidah jalan yang bermuara di mulut rumah. Sebuah rumah besar, yang disemaraki kelap-kelip lampu taman di pesisir berandanya. Ada pula satu air mancur yang bermukim lancang di sudut kanan. Jiwaku terperangah sejenak, terpaku akan semua kemewahan ini. Tuan Taylor memang bisnisman sukses, buktinya ia mampu membeli rumah angkuh ini. Sambil menggeret koper bawaan, kami berdua mulai memasuki bangunan rumah. Aku terlucuti tatap pada setiap relief rumah yang terukir indah. Dua pelayan datang, mereka lekas meneruskan koper kami ke kamar masing-masing. Seorang pemuda turun dari tangga, menyambut kedatangan kami dengan sukacita. Pemuda itu memiliki topeng wajah yang serupa dengan Tuan Taylor. Tubuhnya lebih tinggi sedikit dari ayahnya. Bahkan, sama-sama memiliki bercak luka kecil di tulang bajinya. Tatapan pemuda itu menepi padaku, lantas ia segera menghampiriku. "Oh, jadi kau Galih. Kenalkan, namaku Joseph." sapanya cepat, kami berjabat tangan untuk perkenalan diri. Tuan Taylor menggiringku pelan menuju sebuah kamar kecil di bawah anak tangga. Memang, ruangannya tidak sebesar punyaku dulu, namun ini lebih dari cukup. Setidaknya kini aku punya tempat tinggal, dan juga sebuah keluarga baru, yakni keluarga Hall. Ketika tengah membenahi kamar, suara pekikan pintu berdesah pelan, tanda seseorang dari luar menyibak pintu kamarku. Seorang gadis menatapku curiga, mungkin ia heran atas kehadiranku disini. "Oh, jadi kau penghuni baru?" tebak gadis berambut sebahu sambil bersangga pada bingkai pintu, "Kukira ayah tidak menemukan penghuni kamar selanjutnya." "Penghuni kamar selanjutnya?" tepisku tak mengerti. "Ya, setiap beberapa tahun ia selalu membawa orang ke kamar ini." "Lalu, kemana mereka?" sambungku lebih lanjut. Mendadak Tuan Taylor menyembul dari balik bayangan gadis itu, "Mereka semua sudah mandiri. Nanti juga kau akan seperti mereka, membangun kastil bisnis kalian sendiri." sela Tuan Taylor sekejap. Tetapi matanya malah mengusik gadis kecil itu, " Grace, ayo kita ke kamar." ajak Tuan Taylor pada anak perempuannya. Perlahan, mereka lesap dari pandangan mataku. Aku kembali lekat pada pekerjaanku, membenahi kamar. Saat membuka laci meja, kudapati sebuah ID Mahasiswa bernama Kei Murami. Hmm, pasti dia anak asuh Tuan Taylor yang tinggal di kamar ini sebelum aku. Tak sangka, pria itu telah banyak membantu orang-orang kesusahan semacam diriku. Benakku terkencar pelan, ia pun berpikir sejenak. Kei, apakah ia senasib denganku? Harus menanggung beban keluarga, wajib membayar tumpukan hutang. Setelah berkutat lama, aku beranjak dari sana untuk beradaptasi dengan keluarga ini. Aku keluar, beringsut pelan melintasi ruang tengah. Pandanganku lesat menerjang beberapa foto dinding. Siapa gadis cantik itu, gadis yang warna wajahnya amat serupa dengan Joseph? Rambutnya pirang emas, senyum manis meleleh kuasai bibir merahnya. Tiba-tiba Joseph datang, sontak mengagetkanku. Perlahan, sorot matanya ikut menunjuk bingkai foto itu. "Oh, dia kakakku. Stephanie Hall." tanggap Joseph memperkenalkan. Mukanya mendadak berganti kusut, ia pun berucap layu padaku, "Tapi dia baru saja meninggal." Ia hanya bungkam, tenggelam dalam kenangan masa lalu. Langkah kakinya mendesakku cepat menuju ruang balkon. Di lantai atas, pandanganku berpapasan langsung dengan taman-taman hijau penyegar mata. Posisi balkon ini tepat menatap mulut gerbang. Indah, sungguh menawan. Kapan ya aku punya rumah seperti ini? Mungkinkah itu hanya ilusiku saja? "Inilah tempat kesukaanku. Kau juga harus punya rumah seperti ini. Apa kau janji?" tutur Joseph padaku. Perkataanya mengingatkanku pada ucapan Tuan Taylor tempo lalu. Dari tutur bicaranya, mereka berdua benar-benar mirip. Bahkan, Joseph memiliki pancaran karisma yang sama dengan ayahnya. "Baik, aku janji!" lantangku sigap, persis ketika membalas Tuan Taylor sebulan yang lalu. Tatapanku menunjuk bentangan karton di atas permukaan meja. Bukan karton biasa, sebab di dalamnya berisi semua hamparan lahan-lahan bisnis, yakni permainan monopoli. Sebuah bidak monopoli tersenyum padaku, menghasut inginku untuk lekas memainkannya. Sesaat, aku pun terbuai akan bisikannya, "Ayo kita main monopoli!" ajakku cepat. Kejap berikutnya, semua serakan peralatan main kami benahi. Setelah menggulirkan dadu, rupanya Joseph yang jalan duluan. "Bisnis seperti permainan monopoli. Semakin banyak lahan dikuasai, semakin banyak pula peluang meraih keuntungan. Belilah lokasi strategis sebagai investasi, karenanya kamu akan dapatkan keuntungan besar." jelas Joseph di intro permainan. Jarinya memindahkan bidak ke lahan yang baru saja dibelinya. "Gotcha!" ujar Joseph setiapkali lahanku dirampas olehnya. Setelah begitu lama bertikai dalam ladang kekuasaan, akhirnya satu lahan terakhirku tumbang jua. Joseph dapat bermain dengan sangat baik, buktinya ia berhasil merebut paksa satu demi satu lahan-lahan bisnisku. Kupikir permainan ini hanya mengandalkan keberuntungan saja, ternyata dibutuhkan juga analisis pemikiran jangka panjang. Senja telah pudar, berganti malam. Tak terasa, permainan panjang ini sudah menguras waktu. Dari atas balkon, kulihat sebuah sedan merah mulai memasuki gerbang utama. Sesaat, seorang wanita muda keluar dari sana, beringsut cepat menuju kediaman kami. Wanita itu mengenakan busana rapi, berbalut jas mewah yang dikenakan di tubuhnya. Siapa itu? Mungkinkah Joseph punya kakak perempuan lainnya? "Maaf, siapa dia?" tunjukku ke arah wanita cantik itu. "Oh, dia ibu tiriku. Anak kecil yang ke kamarmu tadi adalah anaknya." bebernya bernada geram. Terpancar dari wajah buramnya, ia tampak tak senang dengan kedua orang itu, adik tiri dan ibunya. Paras Joseph menoleh padaku, "Ibuku sudah lama meninggal, lalu ayahku menikah lagi dua tahun silam. Apa kau mau berjanji?" "Berjanji untuk apa?" ujarku kebingungan. "Untuk menjadi sahabatku. Apapun yang terjadi kau harus menerimaku." Kulambungkan senyum kecil padanya, tanda bahwa kami sepaham. Aku heran, mengapa ayah dan anak selalu berkata hal yang serupa. Janji, janji, dan janji. Namun bila ditilik, mereka berdua mempunyai perbedaan pola pandang. Mungkinkah mereka menyembunyikan sesuatu di balik janji-janji itu? Mendadak, suara pintu di sudut kiri kami meringkik, memenggal benakku sekejap. Kepala mungil Grace mencuat dari balik pintu, "Mami sudah datang, ayo makan malam." Bidak monopoli di tangan kananku aku lepas. Panggilan Grace mendesak kami untuk berpaling dari permainan ini. Sekejap, aku dan Joseph melaju ke tempat tujuan. Ruang makan ini begitu menawan, bahkan bagiku ini seperti sebuah restoran saja. Bagaimana tidak, jenis-jenis hidangan terpampang jelas dalam menu-menu masakan. Hidangan itu disajikan langsung oleh seorang koki handal. Tidak hanya itu, pesanan makanan dapat diantar cepat ke meja makan. "Pilihlah menu yang kau inginkan. Tenang saja, semua bahan baku sudah tersedia. Jadi kau tak perlu khawatir kehabisan." sahut Joseph yang sudah bosan menungguku karena tak kunjung memesan. "Aku pilih ayam bakar!" cetusku saat melihat gambar di pojok lembar menu. Tuan Taylor dan istrinya tiba, mereka duduk berseberangan dengan kami bertiga. Sedangkan Grace bersandar pada wajah bangku di sebelah kiriku. Sejak tadi, gadis itu hanya ternganga menatapku. Aku tak paham apa yang ia pikirkan, namun ia terus-menerus mencermati wajahku. "Jadi kau anak Arya Santoso? Kenalkan namaku Hellen, ibu dari Joseph dan juga Grace. Kini aku bekerja sebagai dewan notaris tertinggi di sektor barat," sapa wanita berambut hitam itu, "Kalian akan masuk kuliah seminggu lagi. Jadi, kau tolong jaga Joseph ya." pinta Nyonya Hellen padaku. Nyonya Hellen menggapai belanjaan yang disandarkan di kaki meja, "Lihatlah, ini hadiah untuk kalian karena resmi menjadi mahasiswa International Business Institute. Terlebih untuk merayakan Joseph karena telah mendapatkan beasiswa!" "Kau mendapatkan beasiswa?" decakku kagum pada Joseph. "Ya," jawabnya berparas redup. Kami berlima berbincang hebat, dengan topik pembicaraan yang selalu berganti arah. Seringkali Nyonya Hellen tambahkan makanan lezat ke atas piring kami. Malam ini aku gembira. Dibalik musibah yang menjeratku, nyatanya kini tersua sebuah pendaran cahaya. Ya, bahkan aku dapat sebuah keluarga baru yang membukakan pintunya lebar-lebar padaku. Namun aku tak mengerti, mengapa Joseph bisa sedingin hati seperti itu. Tampaknya sekujur jiwanya masih diliputi kenangan lama. Semua memoar tentang ibunya, sehingga ia belum bisa terima Nyonya Hellen sebagai ibu barunya. International Business Institute (IBI), Masa orientasi sekolah.. Semua barisan mahasiswa berhimpun menjadi satu, beratapkan langit dan beralaskan bumi. Sejak tadi pagi kami masih berdiri disini, di tengah lapangan di sebelah selatan bangunan sekolah. Sorot cahaya mentari terus menyorotiku. Seringkali kuseka air peluh yang mengucur deras di kening. Mataku bergulir ke kiri, kudapati Joseph yang memandang nakal ke barisan lain. "Kau lihat apa?" bisikku pada Joseph karena penasaran. "Lihatlah cewe itu." mata Joseph menunjuk gadis di lapisan barisan depan, "Aku bertaruh. Jika aku berpacaran dengannya dalam waktu sebulan maka kau harus menjajaniku selama seminggu penuh. Bagaimana, pengecut?" "Apa, pengecut? Baiklah, kita deal!" kataku membalas tantangannya, "Jika kau kalah, kau harus mengerjakan tugasku selama seminggu penuh. Bagaimana, pengecut?" tambahku balik menyerangnya. Mendadak, semua mata tertuju padaku. Ucapanku itu berhasil menarik banyak telinga. Tak sangka, ketua BEM yang berkoar di depan pun beralih pandang, kemudian ia malah menghampiriku. "Majulah ke depan, sepertinya ucapanmu itu lebih berharga dariku." desak pria berpostur tinggi besar itu. "Apa yang harus kulakukan?" tanyaku kian gemetar. "Pidato selamat datang untuk mahasiswa baru." geger ketua BEM padaku. Aku beranjak ke atas panggung, sambil membawa semua rasa gugup. Arrgghh!! Perkataan Joseph tadi malah menyulutkanku pada sebuah permasalahan. Di depan podium, kibaran mata semua mahasiswa tertancap padaku. Sungguh, aku bingung, harus berpidato seperti apa di depan sini. Baru masuk sekolah saja sudah mengukir bencana, apalagi kalau sudah lama bersekolah. Tapi ada satu perkara yang kini baru kusadari. Karena secara sadar, aku telah termakan hasutan Joseph. Ikut bertaruh dalam sebuah permainan kecil, perjudian hati seorang gadis. Aku tak paham, apa ia hanya bermain-main, atau benar-benar menyukai gadis tersebut? Namun yang jelas aku mulai menyukainya. Terpesona oleh senyuman si gadis berbondu. Glosarium/Footnote: BEM (Badan Eksekutif mahasiswa) : Organisasi perguruan tinggi semacam OSIS.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD